Minggu, 05 Juni 2011

Apa Adanya ala Sabar


SABAR


Lahir : Surakarta, 9 September 1968
Pendidikan:
- SD Gulon Surakarta
- SMP Purnama, Surakarta
- SMA Wolter Monginsidi, Surakarta, sampai tahun ketiga tetapi tak lulus
Istri : Lenie Indria (34)
Anak : Novalia Eka Fadriani (9)
Prestasi :
- Atlet PON XIV di Jakarta 1996
- Juri PON XV Surabaya 2000
- Medali emas pada "18th Sport Climbing Asian Championship, Korea selatan"

Berdiri tegak di pelataran Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/5), Sabar tak merasa jengah apalagi rendah diri di samping Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng. Sabar tahu pasti, ia yang hanya memiliki satu kaki adalah bintang yang sebenarnya hari itu.

OLEH NELI TRIANA

Benar saja, meski sempat dihambat perizinan untuk kegiatannya pada hari Minggu pagi itu, niat Sabar memanjat Tugu Selamat Datang di Bundaran HI bisa dilaksanakan.
Menanggalkan besi penopang kaki kanannya, pukul 09.14 Sabar berenang di kolam Bundaran HI menuju Tugu Selamat Datang. Masih basah, dia langsung menggapai tali dan memasang peralatan di badannya. Dalam waktu 10 menit, puncak tugu dicapainya. Di ketinggian tugu di tengah Patung Selamat Datang, ia mengibarkan bendera Merah Putih.
Tugu Selamat Datang mungkin sepele bagi Sabar yang terbiasa mendaki gunung dan panjat dinding. Ia adalah peraih medali emas dalam kejuaraan "18th Sport Climbing Asian Championship" di kota Chun Cheon, Korea Selatan, 26-31 Agustus 2009.
Sabar menyandang juara pertama dalam kategori panjat cacat (para climbing). Kecepatannya menyelesaikan lomba hanya 54 detik, terpaut jauh dari juara kedua yang memakan waktu lebih dari tiga menit. bahkan, catatan waktu Sbar lebih baik daripada juara lomba panjat bagi peserta normal.
"Hidup saya jalani apa adanya" katanya.
Apa adanya ala Sabar adalah terus melakukan dan menekuni hal-hal yang disukainya. Apa yang disukainya? Mungkin semua kegiatan yang berbau alam bebas. Sebut saja, panjat dinding, mendaki gunung, bersepeda, dan membuat sendiri berbagai perlengkapan kegiatan yang butuh keberanian serta tekad kuat itu.
"Semua itu hobi. Kalau untuk hidup, saya mau kerja apa saja," katanya. Mencuci pakaian sampai peralatan untuk mendaki gunung, termasuk mendesain dan menjahit sendiri berbagai tas untuk kegiatan alam bebas, dia lakoni.
Keahliannya di bidang olahraga khususnya panjat dinding, membuat dia diperaya membuat papan panjat. Pesanan pembuatan papan panjat sudah banyak dipenuhinya.
Sabar juga memegang sertifikat resmi yang memungkinkan dia bisa mengerjakan proyek pembersihan gedung-gedung tinggi. "Saya biasa membersihkan kaca, atap, dinding gedung-gedung di Solo (Jawa Tengah) dan kota-kota lain, sesuai orderlah," katanya.

Petaka dan berkah

Hidup Sabar tidak mendadak penuh optimisme dan sukses. Pada 5 April 1990, usai mengunjungi teman di Jakarta, ia pulang menumpnag kereta barang menuju rumahnya di Solo. Saat kereta berhenti di Stasiun Karawang, Jawa Barat, Sabar turun membeli minuman. Naas, saat berusaha menggapai pegangan di salah satu gerbong, ia terjatuh tepat saat kereta bergerak. Kaki kanannya terlindas roda kereta.
"Kaki kanan saya diamputasi, nyaris sampai pangkal paha," ceritanya. Seminggu dirawat di Rumah Sakit Karawang, Sabar yang kala itu duduk di bangku kelas II SMA berkeras pulang meski dokter tak mengizinkan.
Dia terpuruk. Pada usia belasan tahun, kehidupan Sabar seperti dipangkas paksa. "Tetapi teman-teman terus meledek saya. Begini saja kok menyerah, kata mereka. Ini ngracuni pikiran saya untuk naik gunung lagi," ujarnya.
Tak sampai setahun pascakecelakaan, tahun 1991 Sabar mencoba mendaki Gunung Lawu yang tak jauh dari Solo. Dengan kaki kanan menggunakan penopang besi, di percobaan pertama itu ia mencapai Pos 3. Sepekan kemudian ia mendaki lagi dan berhasil mencapai puncak lawu.
Sederet gunung lain di Jawa di taklukkan Sabar tak lama setelah Lawu, seperti Gunung Merapi dan Merbabu. Bersama teman-temannya pencinta alam di Solo, ia melakukan penyusuran Sungai Bengawan Solo dari Wonogiri hingga Gresik. Sabar pun hobi bersepeda. Ia pernah bersepeda dari Solo ke Denpasar, bali, yang disebutnya "Tour Tunggal Si Kaki Tunggal".
Ketertarikan Sabar pada olahraga yang memacu adrenalin dimulai sejak kanak-kanak. Tempat tinggalnya berdekatan dengan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) di kawasan Jebres, Solo, menyebabkan dia sering melihat mahasiswa berlatih panjat dinding. Remaja Sabar terpesona dengan polah para pencinta alam itu yang menurut dia berani tetapi juga cermat dengan berbagai peralatan pengamannya.
Kedekatan lokasi menyebabkan Sabar akrab dengan para mahasiswa pencinta alam dan ia beberapa kali diajak serta dalam kegiatan mereka. Sabar pun ketagihan. Pergaulannya lalu tak terbatas dengan pencinta alam UNS saja. Teman-temannya menjadi penyemangat hidup.
"Ibaratnya, saya ikuti kemana Bengawan Solo mengalir. Saya nikmati saja," ucapnya.
Berpegang pada prinsip sederhana itu, Sabar mendapatkan kepuasan diri. Ia pun menemukan belahan jiwanya, Lenie Indria, tahun 2000. Lenie bertemu Sabar di Luweng (goa) Supen, Wonogiri. Waktu itu, mahasiswi yang aktif dalam kegiatan pencinta alam Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Surakarta itu mengikuti telusur goa dan Sabar menjadi salah seorang pelatihnya.
Selain hidup dari usaha Sabar, pasangan ini juga mengelola kedai yang disebut Mapala alias "makan pakai lauk saja" di rumah mereka di Jebres.

Ekspedisi Merdeka

Memiliki keluarga kecil yang membuat hari-harinya semakin berarti, dan mata pencarian yang bisa diandalkan, tak membuat Sabar berhenti menekuni hobinya.
Didukung tim yang terdiri dari teman-teman, beberapa orang yang mau repot mengurus berbagai hal, dan mumpuni di bidang kegiatan alam bebas, Sabar akan mendaki gunung-gunung tertinggi di dunia. Ia berencana mendaki Gunung Kilimanjaro di Tanzania dan Gunung Elbrus di Rusia.
Kegiatan tersebut dibungkus dalam Pendakian Gunung Tunadaksa Indonesia: Ekspedisi Merdeka 2011.
Memanjat Tugu Selamat Datang adalah salah satu upaya Sabar untuk menggalang dukungan termasuk pendanaan sekaligus bantuan pengurusan perizinan dari Pemerintah dan masyarakat luas.
"Rencananya, tim berangkat pertengahan Juli 2011. Ekspedisi akan memakan waktu sekitar satu bulan dan ditargetkan tepat pada 17 Agustus 2011 saya ada di Puncak Elbrus," kata Sabar.
Tujuan diadakannya Ekspedisi Merdeka tak lain untuk menunjukkan bahwa penyandang cacat bisa melakukan apa pun seperti saudara-saudara mereka yang normal.
"Untuk Indonesia, bangkitlah. Kita bisa!" kata Sabar tegas. Semoga sukses, Sabar.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 6 JUNI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar