Senin, 20 Juni 2011

Edi Rusyana : Hijaukan Kalbu Murid Sekolah


DRS EDI RUSYANA, MPD

Usia : 47 tahun
Pendidikan :
- S-1 Bahasa Indonesia, Universitas Galuh Ciamis, 1990
- S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Galuh Ciamis, 2005
- Masih menempuh S-3 Jurusan Administrasi Pendidikan UPI, Bandung, 2011
Istri : Diah Rusliani
Anak:
- Ayu Berliani PR
- Gilang Raja PR
Pekerjaan : Kepala SMPN 7 Ciamis, Jawa Barat

"....Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran ('intellect'), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita....." Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Itulah yang menjadi dasar Edi Rusyana menjabarkan wacana sekolah hijau atau "green School" yang berkembang belakangan ini. Pikirannya sederhana, bukan hanya lingkungan sekolah yang harus dihijaukan, melainkan juga kalbu anak didiknya.

OLEH CORNELIUS HELMY & DEDI MUHTADI

Edi, Kepala SMP Negeri 7 Ciamis, Jabar, ini menyadari, pendidik harus menanamkan kecintaan lingkungan hidup kepada jiwa para murid dengan memperlihatkan fenomena yang terjadi secara langsung. Dengan begitu, jika kelak lulus sekolah, mereka akan mempunyai komitmen, kepedulian, dan rasa memiliki lingkungan sekitarnya. Sebab, mereka paham, lingkungan itu mendukung kehidupannya.
Maka, mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup selain diterapkan pada mata pelajaran Biologi dan Muatan Lokal, sejak dua tahun yang lalu juga diterapkan Edi dengan membuat demplot pertanian sekaligus menghutankan sekolah.
"Ramah lingkungan dan perilaku sehat saja tak cukup untuk memenuhi kurikulum. Yang penting adalah menjadikannya kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari," ujar Sekretaris Jenderal KementerianPendidikan Nasional Dodi Nandika.
Hal itu pula yang memperkuat tekad Edi membangun persemaian tanaman keras di sekolah yang terletak di pinggiran Ciamis tersebut. Persemaian ini berisi sekitar 100.000 tanaman seperti jati, albasia, akasia, suren, dan manglid.
Di lingkungan sekolah seluas 2 hektar itu, Edi juga membangun arboretum mini. Di arboretum multifungsi ini terdapat jenis pohon khas Indonesia seperti gaharu, merbau, meranti atau kayu ulin. Ia juga membangun taman buah. ada rrambutan, mangga, dan dilengkapi tanaman pangan seperti cabai, terung, dan jagung.
"Ketika harga cabai Rp 100.000, para guru di sekolah itu malah panen cabai," cerita Anang Sudarna, staf ahli Gubernur Jabar, yang meninjau sekolah itu beberapa waktu lalu.

Pembuktian lapangan

Laboratorium alam itu sekaligus ajang pembuktian mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup dan Biologi. Dengan melihat langsung, siswa memahami manfaat ekosistem hutan. Terlebih lagi hutan kecil itu terletak di daerah aliran sungai kecil sekaligus anak Sungai Citanduy.
Sungai Citanduy yang bermuara ke Segara Anakan di perbatasan jabar dan Jawa Tengah itu airnya berwarna coklat karena termasuk sungai kritis di republik ini.
Pada musim kemarau, sungai kecil di pinggir sekolah itu sering kering. Fenomena ini juga dimanfaatkan Edi untuk mengambil pelajaran bahwa semua itu akibat wilayah tangkapan air yang tak berfungsi. Misalnya, di daerah tandon air, sebuah pohon cukup besar yang tumbuh dengan baik bisa menghasilkan sekitar 7 meter kubik air terus menerus.
Manfaat langsung bagi manusia, pohon besar itu mampu menyediakan oksigen bagi 14 orang setiap hari. Melalui pemahaman itu, murid sekolah langsung bereaksi jika di lingkungannya terdapat penebangan pohon yang tak benar.
Apalagi, pohon yang ditebang itu terletak di daerah mata air yang menghidupi lingkungan tempat tinggal mereka. Untuk memperkuat pemahaman tersebut, lingkungan sekolah dibiarkan tak berpagar tembok, tetapi diberi tanaman hidup pohon mahoni dan jati. Oleh karena lingkungannya dinilai hijau lestari, tahun 2009/2010 sekolah ini mendapat penghargaan adiwiyata sebagai sekolah hijau terbaik Provinsi Jabar.
"(Sekolah ini) kami pilih karena sekolah yang berkomitmen langsung terhadap lingkungan bisa dihitung dengan jari," ujar Anang Sudarna, mantan Kepala Dinas Kehutanan Jabar.
Sebelum penghijauan di lingkungan sekolah itu dilakukan, Edi berguru kepada Dinas Kehutanan Perkebunan, Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Ciamis. Tujuannya, ruang hijau di lingkungan sekolah tertata apik.
ddari hasil kreativitasnya itu terbangun kawasan hijau sekitar 1,5 hektar. Bangunan sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar 11 kelas sekitar 5.500 meter persegi. Satu kelas di SMPN 7 Ciamis rata-rata berisi 25 murid.
hijau itu mutlak harus dilihat, tak hanya imanjinasi dalam mata pelajaran di ruang kelas. Lewat metode ini, murid pun senang bermain dan berkeliling mengamati pepohonan di luar kelas. Mereka tak "tersiksa" lagi menerima pelajaran karena tidak terkungkung di ruangan.
Pemaknaan dari perspektif budaya hijau itu dinilai lebih dalam karena sebelumnya mereka sudah mengenal berbagai jenis pohon di sekitar kampungnya. "Sebagian besar murid adalah anak-anak petani di pedesaan," ujar Edi.
Hasil proses belajar-mengajar seperti itu terbukti membuat banyak alumnus tertarik bidang pertanian. Tak sedikit dari mereka melanjutkan ke sekolah kejuruan bidang pertanian. Padahal, sebelumnya, lulusan SMP itu dipaksa pun tak banyak yang tertarik melanjutkan ke jurusan pertanian.

Mendapat perhatian

Sekolah hijau menjadi sekolah yang "seksi" dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di Bandung, pada Selasa (24/5), misalnya, muncul Deklarasi Sekolah Hijau Jabar (Jabar Go Green School) yang diprakarsai Yayasan Hijau Buana Sejahtera didukung berbagai pihak termasuk Pemprov Jabar. Deklarasi yang disaksikan Sekjen Kementerian Pendidikan Nasional ini bertujuan memperkuat upaya menumbuhkembangkan budaya ramah lingkungan.
Mengembangkan sekolah bagai persemaian nilai-nilai ramah lingkungan bagi putra-putri bangsa, meningkatkan fungsi ekologis sekolah sehingga tercipta lingkungan yang asri, nyaman, dan sehat. Lalu, tercipta lingkungan sekolah yang mendukung penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan.
Program penanaman pohon di sekolah dinilai tepat sehubungan rusaknya lingkungan. Tentu ini tak sekadar menjadikan sekolah berwawasan lingkungan dalam arti fisik, tetapi juga berarti tindakan. Pembentukan mental setiap sivitas sekolah ini yang justru tak mudah.
Pendidikan tak sekadar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur insani bagi kemajuan peradaban bangsa, termasuk kecintaan terhadap lingkungan. Di Indonesia terdapat sekitar 57 juta tunas bangsa disertai 2,7 juta guru yang potensial menunjang pembentukan budaya ramah lingkungan itu.

Dikutip dari KOMPAS , KAMIS, 9 JUNI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar