Minggu, 07 Oktober 2012

Yang Saing Koma: Perjuangan untuk Petani Kamboja

YANG SAING KOMA

Lahir: 18 Juli 1966
Pendidikan: PhD bidang pertanian dari Universitas Leipzig, Jerman, beasiswa Friedrich Naumann Foundation, 1995 
Pekerjaan: Presiden Pusat Studi dan Pengembangan Agrikultur Kamboja (CEDAC), 1997-kini
Penghargaan: SEED Award untuk SRI, 2005

Saat pertama kali memperkenalkan metode penanaman padi alternatif kepada petani di negerinya tahun 2000, Yang Saing Koma (46), salah seorang peraih penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2012, mengaku kesulitan.

OLEH WISNU DEWABRATA

Metode dan teknik bercocok tanam yang ditemukan dan dikembangkan seorang pendeta Perancis di Madagaskar tahun 1980-an itu memang berbeda dari kebiasaan bercocok tanam yang turun-temurun dijalankan petani di kamboja.
   Namun, hanya lima menit setelah pertama kali membaca artikel tentang metode sistem intensifikasi padi (system of rice intensification/SRI) tersebut, Koma meyakini, metode ini yang dibutuhkan petani negerinya untuk mengubah nasib mereka.
   Bukan perkara gampang untuk meyakinkan petani. Dari 28 petani yang diperkenalkannya pada metode yang sama sekali baru buat mereka itu, hanya satu orang yang bersedia menjalankan.
   Sisanya, kenang Koma, menertawakan. Metode dan teknik menanam SRI memang aneh buat mereka. Cara itu tak membutuhkan pasokan air banyak, seperti yang biasa mereka lakukan untuk tanaman padi.
   Selain itu, hanya diperlukan sedikit tunas padi yang ditancapkan tak terlalu dalam ke tanah. Ini kebalikan dari metode yang biasa mereka lakukan, yakni dalam setiap petak, petani menancapkan serumpun tunas. Ini mengakibatkan tunas-tunas itu berebut "makanan" dari tanah.
   Alhasil, mereka lalu tergantung pada pupuk kimiawi dan obat pembunuh hama untuk "membantu" pertumbuhan. Semua itu, menurut Koma, tak perlu dilakukan dengan metode SRI.
   "Padi pada dasarnya tanaman akuatik. Padi tidak memerlukan banyak air untuk tumbuh, secukupnya saja. Dengan sedikit tunas di setiap petak, itu membantu tanaman tak berebut makanan," kata Koma.
   Walau awalnya hanya seorang dari 28 petani yang diperkenalkannya dengan SRI mengerti dan mau menerapkan, tak lama kemudian petani lain yang sebelumnya malas dan meragukan metode itu justru terkesima dengn hasil panen petani yang menerapkan SRI.

Kiat unik

   Dalam wawancara video yang direkam Manori Wijesekera dari TVE Asia Pasifik tahun 2010, Koma mengilustrasikan salah satu kiat unik tetapi efektifnya untuk merangkul petani agar mau menerapkan SRI.
   "Cara ini penting diingat dan diterapkan. tak perlu banyak bicara dan membuat banyak pertemuan, cukup kita lakukan saja. Kita turun ke sawah, menemui petani, diskusikan, lalu terapkan. Bekerja dan kunjungi petani terus-menerus, lalu evaluasi dan diskusikan proses dan hasilnya bersama mereka," papar Koma.
   Ia sedikit "menasihati" peneliti yang sering duduk di laboratorium meneliti sesuatu tentang pertanian. Namun, mereka malah tak memiliki pengalaman bertani. Bagi Koma, mereka juga harus mengubah cara berpikir dan kebiasaan itu.
   "Petani bergelut sehari-hari sepanjang hidupnya dengan tanaman dan ternak mereka. Sudah seharusnya peneliti seperti saya mengajarkan kepada mereka bagaimana bisa belajar dari apa yang mereka alami setiap hari," ujarnya.

Awal ketertarikan

   Tahun 2000, Koma tertarik metode SRI dari artikel yang dibacanya di majalah pertanian. Metode SRI ditemukan dan dikembangkan seorang pendeta Perancis, yang menyempurnakan dan menerapkan metode itu di Madagaskar.
   "Awalnya, mereka menertawai dan mengkritik cara baru yang saya diskusikan. Mereka paham, tetapi malas menerapkan. Tetapi, begitu melihat langsung ada yang berhasil, mereka tertarik sendiri. Memang tak mudah mengubah cara berpikir orang, ibarat memaksa seorang kidal memakai tangan kanan," ungkapnya.
   Kini, sekitar 140.000 petani Kamboja di 21 provinsi menerapkan metode SRI. Dampaknya mengejutkan. Total produksi nasional 3,82 juta ton pada tahun 2002 meningkat menjadi 7,97 ton sewindu kemudian.
   Tahun 1997, Koma mendirikan organisasi nonprofit, Pusat studi dan Pengembangan Agrikultur Kamboja (CEDAC). Lembaga ini berupaya menghubungkan dan membuka akses bagi petani langsung ke pasar.
   Dia mengembangkan CEDAC menjadi perusahaan sosial yang kini memiliki dan menjalankan sedikitnya 13 toko untuk menjual hasil beras organik yang ditanam sekitar 5.000 petani. Mereka bahkan telah mengekspor beras organik ke negara tetangga.
   CEDAC juga memiliki tabungan senilai 8 juta dollar AS. Mulai tahun 2005, Pemerintah Kamboja mengakui dan menjadikan metode SRI yang dikembangkan Koma sebagai salah satu strategi nasional pengembangan pertanian negeri itu.

Masa kecil

   Mendapat penghargaan seperti Ramon Magsaysay bukan tujuan Koma. Apa yang dia lakukan semata-mata keinginan untuk memperbaiki nasib negeri dan rakyat Kamboja, yang 65 persen hidup dari sektor pertanian.
   "Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi negara, terutama untuk petani. Saya tak berharap mendapat penghargaan apapun. Penghargaan itu hanya nilai tambah serta sepenuhnya untuk petani dan mereka yang terlibat membantu usaha ini," ujarnya.
   Koma mengaku, masih banyak yang harus dilakukan. Meski begitu, dia senang dan bangga dengan apa yang telah berhasil dicapai selama ini. Kerja keras dan semangat pantang mundur menjadi modal utama Koma, selain otak yang cerdas.
   Terlahir sebagai putra guru di desa miskin, kehidupan Koma memprihatinkan. Saat rezim brutal Khmer Merah pimpinan Pol Pot berkuasa, Koma dan saudaranya terpaksa menjadi yatim saat tentara Khmer Merah membunuh ayahnya.
   Pada waktu itu, Khmer Merah membunuh mereka yang dicap sebagai intelektual dan memaksa orang menjadi petani demi menciptakan negeri utopia komunis ala Pol Pot.
Tak lama setelah ayahnya tewas, Koma juga kehilangan kakak lelaki yang kelaparan di kamp konsentrasi dan kerja paksa Khmer Merah.
   Koma kecil terpaksa mengungsi dari kampung asalnya di daerah terpencil di Provinsi Takeo ke ibu kota Phnom Penh. Pada 1979, tentara Vietnam masuk dan mengalahkan rezim Pol Pot.
   Saat itu, Koma berusia 13 tahun. Dia bertekad kembali bersekolah. "Saya bersekolah pagi hari, lalu berjualan beras dan sayur di sore hari," kata Koma mengenang.
   Berbekal kecerdasan dan kemauan keras, ia mendapat beasiswa penuh pada 1984. Koma melanjutkan studi ke Jerman, tempat ia mengantongi gelar master dan doktor bidang pertanian.
   Tahun 1995, Koma kembali ke Kamboja dan mengajar di Royal University of Agriculture, Phnom Penh. Kesibukan mengajar tidak membuat tekad dan semangatnya majal. Dia tetap tergerak turun ke dunia nyata dari "menara gadingnya."

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 8 OKTOBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar