Senin, 08 Oktober 2012

Ahmad Abdul Hadi: Mengantar Gedong Gincu ke Rimba Dunia

AHMAD ABDUL HADI

Lahir: Cirebon, 7 oktober 1984
Pendidikan:
- SD di Cirebon
- SMP-SMA di Darussalam gontor, Ponorogo, Jawa Timur 
- S-1 Ekonomi dari Universitas Gunung Jati, Cirebon
Istri: Fitri P Nurkamal (26)
Anak: Jihan Mazea Ramadhan (1)
Penghargaan antara lain:
- Pemenang Asia Pasific Entrepreneurship Awards, 2011 
- Pemenang Terbaik I Nasional Wirausahawan Mandiri, Kategori Jasa dan 
  Mandiri dari Bank Mandiri, 2010
- Penghargaan Ketahanan Pangan dari Pemerintah RI, 2009

Berbicara dengan Ahmad Abdul Hadi adalah berjumpa dengan sosok muda usia, tekun, dan suka mencoba. Ia menolak bicara soal omzet usaha. Ia juga tak betah bicara berpanjang-panjang. Bagi dia, lebih penting langsung bekerja.

OLEH RINI KUSTIASIH

"Saya mau bicara praktik di lapangan. Buah kita mampu bersaing di luar negeri. Itu semestinya terus ditingkatkan," kata Hadi, panggilannya, saat ditemui di gudang buah SAE yang dikelola keluarganya di Jalan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. 
   Lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara, Hadi rupanya yang paling berhasil mengembangkan usaha jual-beli buah yang dirintis orangtuanya, Sukarya (61) dan Entin (55). Nama SAE kependekan huruf depan nama mereka, S untuk Sukarya, A untuk Ahmad, dan E untuk Entin.
   Tak hanya menyuplai buah seperti mangga, manggis, dan rambutan untuk pasar domestik, Hadi mengembangkan usaha itu hingga pasar dunia. mangga jenis gedong gincu terutama menjadi andalan ekspornya.
   Di tangan Hadi, buah itu merambah Singapura, Hongkong, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, arab Saudi, dan Qatar. Permintaan mangga gedong gincu terus meningkat sejak pertama diekspor tahun 2008.
   Hadi sejatinya terlambat meneruskan usaha keluarga ini. "Waktu itu saya berpikir untuk kerja apapun, asal bisa mandiri dari orangtua," katanya.
   Awalnya ia ingin mencoba usaha selain berdagang buah. Saat menginjak bangku kuliah tahun 2005, Hadi membuka usaha bengkel kendaraan bermotor. Baru setahun berjalan, usaha itu ambruk. Di sela-sela kuliah, dia berdagang gula merah hingga cabai, tetapi gagal juga.
   Pada saat bersamaan, ada dorongan orangtua untuk meneruskan usaha keluarga. Hadi, yang awalnya merasa berat hati, kemudian berusaha menyiasati bagaimana mengembangkan usaha buah itu. Saat itu pasar domestik sudah kenyang dengan suplai mangga gedong gincu. Pengusaha buah di wilayah Cirebon hanya fokus di pasar dalam negeri.
   "Saya mencoba sesuatu yang belum dilakukan pengusaha lain. Saya manfaatkan internet untuk belajar membuat invoice. Klien pertama saya dari Singapura, kenalnya lewat internet," katanya.
   Usaha perdagangan lintas negara memang mensyaratkan keahlian berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang baik. Belakangan, klien Hadi meluas hingga ke Timur Tengah. Itu berkat kemampuannya berbahasa Arab.
   Soal kemampuan berbahasa itu, dia peroleh saat mengenyam pendidikan di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di pesantren itu, Hadi belajar bahasa inggris dan bahasa Arab secara intensif.
   Ia bercerita, paket ekspor pertamanya ke Singapura sudah dikemas dalam kardus dan dilengkapi merek SAE. "Saya ingat sekali, itu terjadi tanggal 13 Oktober 2008. Itu tanggal lahir ibu saya.'

Prospektif

   Keberhasilan Hadi tercium Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Cirebon. Pada tahun 2009, instansi itu memfasilitasi Hadi ikut dalam rangkaian pameran perdagangan buah dan hortikultura ke Hongkong, Kuwait, dan Bahrain.
   Dari pameran itu, dia tahu tingginya animo pasar dunia pada mangga gedong gincu. Pemesan terus berdatangan dari Timur Tengah meski pembeli terbesar tetap dari Singapura. Dari satu negara, ia bisa mendapat 10 pembeli dengan pesanan bervariasi, dari 1 ton mangga sampai 50 ton. Gudang SAE tak pernah sepi dari suplai mangga. Petani mangga di sejumlah sentra pun terangkat dengan kondisi ini.
   Ketua gabungan Kelompok Tani Mangga Sami Jaya di Desa Sedong Lor, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Haerudin (52), adalah salah satu yang menyuplai mangga kepada Hadi. Petani di kawasan itu memanen mangga gedong gincu minimal 125 ton dari lahan seluas 25 hektar. Di wilayah Sedong, ada 400 hektar lahan mangga gedong gincu, yang rata-rata menghasilkan 2.000 ton setahun.
   Dari tangan petani, mangga masak pohon dihargai Rp 10.000-Rp 25.000 per kilogram. Setiap satu hektar lahan rata-rata ditanami 100 pohon mangga, yang masing-masing menghasilkan 50 kilogram buah per tahun.
   "Jika petani punya satu hektar lahan, ia bisa dapat minimal Rp 50 juta per tahun dengan harga mangga terendah Rp 10.000 per kilogram," ungkap Haerudin.
   Selain Cirebon, Hadi juga menerima suplai buah mangga dari daerah lain, seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan di Jawa Barat, Tegal di Jawa Tengah, serta Probolinggo, Jawa Timur. Untuk ekspor saja, ia memerlukan ratusan ton mangga, belum termasuk untuk memenuhi pasar dalam negeri.

Bersaing ketat

   Di pasar dunia, gedong gincu bersaing dengan buah mangga dari Pakistan dan India. "Di luar (negeri), gedong gincu namanya mangga alfonso. Rasa gedong gincu asal Indonesia rasanya tak kalah enak dibandingkan mangga India dan Pakistan. Sayang, kita tak bisa bersaing dalam harga."
   Sebagai gambaran, harga dasar gedong gincu di pasar ekspor sekitar 1 dollar AS per kilogram. Sampai di luar negeri, harganya menjadi 3 dollar AS karena tambahan 2 dollar AS untuk biaya pengiriman. Alhasil, mangga asal Indonesia lebih mahal dua kali lipat dibandingkan India dan Pakistan.
   "Itu kendala terbesar saya karena biaya transportasi barang dari Indonesia lebih mahal dua kali lipat dari pada harga produknya," ujar Hadi.
   Dari sisi produksi, Indonesia lebih unggul. Pakistan dan India hanya panen selama tiga empat bulan, pada Maret-Juni. Indonesia pola panennya bisa sampai sembilan bulan.
   "Saat mangga mereka (Pakistan-India) habis, mangga kita masih ada. Kita bisa panen Maret sampai November, tetapi harganya tetap lebih mahal," katanya.
   Di luar kendala harga, ada problem yang perlu dipecahkan bersama antara petani, pengusaha, dan peneliti hortikultura, yakni masa simpan mangga gedong gincu yang terlalu singkat. Masa simpan mangga ini hanya 10 hari. Jika dikonsumsi lebih dari waktu itu, kualitasnya turun, sedangkan mangga dari Pakistan dan India masa simpannya sebulan.
   Tentang kesuksesan usahanya, Hadi mengutamakan jejaring yang dipelihara dan diperluas, selain menjaga kepercayaan konsumen. Tetapi, lanjut dia, "Saya pernah ditipu puluhan juta rupiah. Dia menolak membayar tagihan dengan alasan tidak jelas. Untuk orang macam itu, saya langsung tutup hubungan.


Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 4 OKTOBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar