Rabu, 26 Mei 2010

Rafendi Djamin, Hidupkan HAM ASEAN

Berdirinya Komisi antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia atau AIHRC memberikan bobot baru bagi ASEAN. Akan tetapi, banyak orang meragukan kinerja badan ini yang dikhawatirkan hanya menjadi "macan ompong". Tugas Rafendi Djamin lah, sebagai salah satu komisioner di AIHRC, untuk menghidupkan badan HAM ASEAN itu.

RAFENDI DJAMIN

Lahir : Padang, Sumatera Barat, 7 November 1957
Status : Menikah
Pendidikan : - Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (tidak selesai)
- Master di Institut of Social Studies, Den Haag, Belanda, 1984-1986
Aktivitas : - Pendiri Indonesia's Forum for Human Dignity (InFoHD), Amsterdam, Belanda
dan menjadi Ketua pada tahun 1992-2003
- Pendiri dan koordinator di Human Rights Working Group,2003 sampai sekarang
- Sejak Oktober 2009 menjadi komisioner di Komisi Antarpemerintah ASEAN
untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Intergovernmental Human Rights Comission/
(AIHRC)

Oleh RAKARYAN SUKARJAPUTRA

Terpilihnya Rafendi sebagai komisioner HAM dari Indonesia di AIHRC memberikan nilai plus tersendiri kepada Indonesia karenadialah satu-satunya komisioner di komisi tersebut yang murni berasal dari masyarakat sipil. Sembilan komisioner lainnya mempunyai latar belakang pemerintahan, meskipun tidak semuanya kini adalah pegawai pemerintah. Rafendi mengungguli calon-calon lain, yang diantaranya pernah duduk di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI.
Rafendi bukan orang baru di bidang HAM. Aktivis kelahiran Padang ini bahkan merupakan salah seorang spesialis di bidang HAM dan demokrasi. Dia adalah pendiri sekaligus Ketua Indonesia's Foruk for Human Dignity (InFoHD) tahun 1992 hingga 2003. InFoHD adalah forum untuk HAM di Indonesia yang berbasis di Amsterdam, Belanda, dan didirikan untuk memperkuat dan memfasilitasi pengembangan HAM di Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2003, dia juga ikut mendirikan koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk advokasi HAM, yaitu Human Rights Working Group. Tugas utamanya adalah mengkoordinasikan dan mengimplementasikan advokasi aturan-aturan HAM Internasional di Indonesia.
Kegiatan itu melibatkan tidak kurang dari 20 lembaga swadaya masyarakat di bidang HAM, antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Korban HAM

Rafendi sesungguhnya adalah korban HAM, dan hal itu sangat berbekas dalam dirinya. "Saya dikeluarkan dari Universitas Indonesia pada tahun 1981 hanya karena membuat diskusi dengan mengundang Pramudya (Ananta Toer, penulis yang pernah di penjara pada masa Orde Baru). Sejak itu saya luntang lantung mencari kerja di sana-sini," ungkap lelaki keturunan Jawa-Minang yang masuk jurusan Sosiologi Universitas Indonesia pada tahun 1977 itu.
Rafendi pun menceburkan diri untuk membangun LSM-LSM di Indonesia tahun 1983-1984. Dia juga sempat bekerja dalam kontrak pendek dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk program pengembangan masyarakat perkotaan di Jakarta.
Pada tahun 1984 Rafendi mendapat beasiswa dari Yayasan Pendukung Kekuatan Demokrasi (Stifting Democratische Krachten) Belanda untuk belajar di Belanda. Maka, pada tahun itu pula dia terbang ke Belanda dan berjuang untuk menempuh pendidikan master di Institute of Social Studies, Den Haag, dengan spesialisasi studi pembangunan.
Lulus master, Rafendi kemudian ikut mendirikan organisasi pelobi HAM di Indonesia yang diberi nama Indonesia's Forum for Human Dignity, dengan jaringan di sejumlah kota besar di Indonesia dan Eropa. Pengetahuannya di bidang HAM terus bertambah setelah mengikuti pelatihan-pelatihan dan kursus HAM di Swiss dan Filipina.
"Spesialisasi saya melobi, jadi tidak berhubungan langsung dengan para korban HAM. Tetapi, saya mengikuti dan membantu berbagai kasus dari belakang," ungkap Rafendi yang tinggal di Belanda hingga tahun 2003 dan ikut menyuarakan perjuangan reformasi Indoneia di luar negeri.
Pulang dari Belanda, di Human rights Working Group, Rafendi terus berkiprah dan membangun jembatan dialog dengan masyarakat sipil dan pemerintah, yang kemudian meluas hingga ke tingkat ASEAN dan Asia Pasifik.

Diterima ASEAN

Kemampuan Rafendi dalam lobi di tingkat regional maupun internasional membuat dia luwes diterima berbagai pihak. Hal itu pula yang membuat dia termasuk sosok yang "diterima" di ASEAN, baik oleh kalangan LSM maupun pemerintahan.
Dibandingkan dengan sejumlah calon lain, Rafendi terbilang paling terbebas dari motif-motif lain, karena dia bukan politisi, bukan pula pebisnis. Kepentingan dia adalah memajukan penghargaan atas HAM, demokrasi di Indonesia dan di kawasan ASEAN.
Di lingkungan ASEAN, nama Rafendi juga tidak asing lagi. Dia hampir selalu hadir pada pertemuan ASEAN dalam lima tahun terakhir. Keterlibatannya membangun Forum Rakyat ASEAN (ASEAN People's Forum) maupun mendorong diterimanya HAM sebagai salah satu tata nilai penting di ASEAN tidak kecil. Sangat wajar bila Rafendi yang terpilih sebagai komisioner dari Indonesia di AIHRC.
"Masih susah ditebak apakah komisioner bisa bekerja sama atau tidak karenakebanyakan dari mereka itu diplomat, saya sendiri yang bukan," ungkapnya seusai pertemuan pertama para komisioner AIHRC di Hua Hin, Thailand, 24 Oktober 2009.
Acara itu diisi dengan perkenalan, berbagai pandangan soal politik dan HAM, sekaligus bertemu dengan para anggota panel tingkat tinggi yang menyusun kerangka acuan AIHRC.
Rafendi juga menyadari, harapan rakyat ASEAN yang tinggi terhadap komisi HAM ASEAN, ini kemungkinan belum akan bisa bisa dipenuhi pada masa-masa awal berjalannya komisi ini. Hal itu karena pada masa-masa awal ini adalah proses pembelajaran untuk saling mengenal dan berbagi pengalaman terlebih dahulu. Terlebih lagi dalam kerangka acuan AIHRC yang ada saat ini memang lebih banyak penekanan kepada fungsi pemajuan (promosi) HAM ketimbang fungsi perlindungannya.
Berdasarkan kesepakatan para pemimpin ASEAN, evaluasi atas kerangka acuan AIHRC dengan menyeimbangkan fungsi pemajuan dan perlindungan itu akan dilakukan dalam waktu lima tahun setelah AIHRC berjalan.
"Kita mempunyai modal yang besar sebagai bangsa dan negara di bidang Hak Asasi manusia karena dengan segala hal yang kita miliki, kita terbaik di ASEAN. Jadi, kita tidak akan rugi berada di komisi ini. Ini suatu proses membagi pengalaman yang harus dikembangkan dalam komisi HAM ASEAN itu," paparnya.
Dengan standar HAM Indonesia yang sudah lebih tinggi daripada standar HAM ASEAN, diakui Rafendi, tidak terhindarkan bahwa dia sebagai komisioner AIHRC memang harus sedikit menurunkan standar-standarpatokannya dalam diskusi-diskusi di komisi HAM ASeAN tersebut.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 4 NOVEMBER 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar