Senin, 24 Mei 2010

Nur Fadilah, Pemberantas Buta Aksara

Ketika mendengar Kota Kediri, Jawa Timur, menyatakan diri bebas buta aksara, Nur Fadilah merasa sedih. Terbayang di benaknya wajah-wajah warga di kampungnya, Desa Lebak Tumpang, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, yang belum mengenal aksara Latin dan angka, harus menelan kekecawaan karena tidak lagi diakui keberadaannya.

NUR FADILAH

Lahir : Lebak Tumpang, Kec. Mojoroto, Kota Kediri, Jawa timur, 10 September 1969
Suami : Sukardi
Anak : - Era Ardira, Asla Zahria, Farid Akmal
Pendidikan : - SDN Lebak Tumpang
- MtsN Ngronggo, Kota Kediri
- PGAN Kediri
- IKIP PGRI Kediri, jurusan Bahasa Indonesia.
- Pascasarjana STIE Mahardika Kediri, Program Manajemen Pendidikan
Penghargaan : Juara Favorit Naasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan (2009).

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Kesempatan mereka untuk belajar menjadi tertutup seiring mandeknya kucuran dana dari pemerintah yang selama ini menyokong aktivitas di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), wadah bernaung murid-murid program pendidikan kesetaraan dan keaksaraan fungsional.
Nur Fadilah merasa dihadapkan kepada sebuah dilema. Disatu sisi ia bangga karena kota kelahirannya Kediri, berhasil menyandang predikat bebas buta aksara. Namun, disisi lain ia prihatin karena predikat bebas buta aksara itu tidak lebih dari kepentingan politis. faktanya program pemberantasan buta aksara belum tuntas.
"Murid-murid saya adalah realitas yang tidak terbantahkan. Di dusun Lebak saja ada 70 warga yang buta huruf dlam satu rukun tetangga (RT). Di Dusun Tumpang apalagi, jumlah nya mencapai ratusan orang. Apa jadinya mereka kalau program pemberantasan buta aksara dihentikan," ungkap ibu tiga anak ini.
Kendati tidadk mendapat pengakuan, semangatnya pantang mundur. Dia semakin giat memotivasi tetangganya untuk pergi ke PKBM Hidayatul Mubtadiin yang didirikannya.
PKBM Hidayatul Mubtadiin berdiri tahun 2004. Ada beberapa jenjang pendidikan yang diselenggarakan, yakni taman bacaan, taman kanak-kanak, pendidikan kesetaraan (Kejar Paket A,B, dan C), serta pendidikan keaksaraan fungsional.
Sebelum mendirikan PKBM, Nur Fadilah yang menjadi guru tetapdi SDN Lebak tumpang, telah mengajar untuk warga buta aksara di sekitarnya. Ia "bergerilya" dari satu rumah warga ke rumah warga lainnya.
Dia terkejut karena mayoritas warga di sekitarnya buta aksara latin dan angka. Umumnya warga lelaki bekerja sebagai buruh kasar, sementara kaum perempuannya menjaadi pemecah batu kali di tepi Sungai Brantas.
"Waktu itu saya menemukan 100 orang lebih (buta aksara) sehingga kewalahan jika mengajar seorang diri dari rumah ke rumah. Saya melaporkan temuan tersebut kepada dinas pendidikan," katanya.
Atas saran dari Dinas Pendidikan Kota Kediri, Nur, panggilannya, mendirikan PKBM dan diberi nama Hidayatul Mubtadiin. Awalnya ia tetap berkeliling mendatangi murid-muridnya. Tak hanya di rumah, tetapi ia juga mendatangi tepian sungai tempat para muridnya bekerja.
"Dimana ada kesempatan di situ kami belajar. Capek memecah batu, mereka beristirahat, y sambil belajar. Kalau mengandalkan belajar harus di kelas, tak akan pintar-pintar," ujarnya.

Malam hari

Seiring bertambahnya jumlah murid, Nur lalu merekrut sukarelawan sebagai tutor PKBM. Sedikitnya ada empat tutor yang bergabung. Mereka rela mengajar tanpa dibayar.
Kegiatan PKBM diadakan malam hari, di ruang kelas sebuah sekolah milik yayasan swasta. Waktu dipilih malam hari agar tak berbenturan dengan kegiatan belajar reguler sekolah itu. masalah waktu bagi para murid PKBM yang harus bekerja pada siang hari juga teratasi.
Namun, masalah lain muncul. Para murid yang umumnya bapak-bapak dan ibu-ibu rumah tangga itu enggan masuk sekolah . Mereka beralasan lelah setelah seharian bekerja. Sebagian lagi mengaku sakit mata sehingga sulit membaca buku. Ada juga yang terus terang menyatakan bosan.
Untuk mengatasinya, istri Sukardi ini memutar otak. Awalnya ia mengundang tukang kacamata ke desanya. Para murid dijanjikan akan diperiksa mata gratis apabila mau datang ke sekolah, mereka juga akan mendapatkan kacamata gratis.
Sebagian besar murid meminta kacamata untuk membaca, karena pandangannya kabur dimakan usia. Nur bekerjasama dengan penjual kacamata keliling yang menjual kacamata baca seharga Rp.10.000,-
"Tak perlu mahal, apalagi berstandar optik. Yang penting murid-murid senang dan tidak punya alasan lagi buat bolos sekolah karena sakit mata," ujarnya tersenyum.

Keterampilan memasak

Untuk meningkatkan pengetahuan para murid, Nur juga memberikan pelatihan keterampilan memasak. bahkan,untuk menarik murid agar datang ke sekolah, ia pun menonjolkan kegiatan keterampilannya daripada belajar membaca dan menulis.
Hati Nur berbunga saat melihat murid-muridnya kembali semangat masuk sekolah. Namun, kesenangan itu tak berlangsung lama. Ia mulai kehabisan "amunisi" untuk membiayai praktik memasak. Sebagai guru tidak tetap, penghasilannya tidak lebih dari Rp.200.000,- per bulan. Itupun harus dipotong biaya transportasi dari rumah ke tempat dia mengajar. Penghasilan suaminyasebagai pegawai negeri sipil habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ketiga anaknya.
Nur lalu membuat kegiatan yangmenghasilkan uang tambahan, caranya, dia menghimpun ibu-ibu untuk membuat geplak jahe (sejenis manisan) dan minuman sari kencur. Produk yang dihasilkan itu dipasarkan dan uangnya bisa diputar untuk modal usaha.
namun, masalah yang dihadapi Nur belum tuntas. Dia harus mulai memikirkan kelanjutan para tutor yang juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"kami punya empat tutor, kalau mereka bekerja terus menerus tanpa digaji, kasihanjuga, sementara menarik uang dari para murid tidak mungkin. Mereka mau masuk sekolah saja sudah syukur," ujarnya.
Untuk membiayai tutor, Nur memilih budidaya jamur tiram. Alasannya, modal usaha yang diperlukan tidak terlalu besar, sekitar Rp.2 juta per kelompok.
Selain melibatkan muridnya, Nur juga menggandeng kelompok ibu-ibu tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Maka terhimpun sedikitnya enam kelompok budidaya jamur, dengan setiap kelompok memiliki anggota 4-6 orang. Dari enam kelompok itu, empat diantaranya aktif. ada pun dua kelompok lainnya mati suri akibat kurangnya komunikasi, kerjasama, dan ketekunan dalam berusaha. Selain itu, modalnya sangat cekak sehingga sulit bernafas jika ada anggota yang ngebon dulu.
Perlahan tapi pasti,ketergantungan pada utang mulai terkurangi. Penghasilan tambahan dari budiddaya jamur mampu menambal kebutuhan hidup mereka, walaupun sedikit demi sedikit masyarakat pun mulai tergerak untuk bekerja dan hidup mandiri.

dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 NOVEMBER 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar