SAPTO SOPAWIRO
Lahir: Kampung Jumal, Distrik Saramacca, Suriname, 15 Juli 1940
Istri: Wagirah
Anak:
- Edi Sukarman
- Hartini Judy
- Haryati Jenny
Pekerjaan:
- Dalang wayang kulit
- Dosen Sejarah di Universitas Suriname
... Please release me, let me go. For I don't love you anymore. To waste our lives would be a sin. Release me, and let me love again....
Lirik lagu "Please Release Me" yang dipopulerkan penyanyi asal Inggris, Engelbert Humperdinck, itu mengalun lewat suara Sapto Sopawiro (73). Dia adalah dalang kelahiran Kampung Jumal, Distrik Saramacca, Suriname, 15 Juli 1940.
OLEH ALOYSIUS B KURNIAWAN
Bagi Sapto, menyanyikan lagu pop bukan hal tabu bagi seorang dalang. Sebab, di Suriname yang sangat plural itu, dia harus mampu membawakan cerita pewayangan dengan berbagai sudut pendekatan.
Sapto memang baru terjun total di dunia pedalangan lima tahun terakhir. Meski demikian, sejak kecil dia sudah akrab dengan pewayangan karena ayahnya, almarhum Ponco Sadeyo, adalah seorang dalang.
Dulu waktu masih kecil Sapto selalu ikut ayahnya mendalang di mana-mana. Kalau sudah mengantuk, biasanya Sapto tidur di samping kotak wayang.
Sapto adalah generasi kedua keturunan Jawa yang dikirim pemerintah kolonial Belanda ke Suriname pada periode 1890-1939 sebagai buruh perkebunan. Meski hidup di daerah dan negara baru, mereka tetap memelihara tradisi dan seni budaya Jawa.
Ayahnya, Ponco Sadeyo, adalah dalang asal Sleman yang diangkut Pemerintah Belanda menggunakan sebuah kapal bernama Jember ke Suriname. Sementara itu ibunya, Jumiyem, adalah warga Solo yang juga menggunakan kapal yang sama.
Bersama ribuan orang, mereka dibawa ke Suriname dalam perjalanan selama lima bulan melalui jalur laut. Selang dua tahun kemudian, Ponco dan Jumiyem menikah pada tahun 1932 di Suriname. Mereka pun hidup sebagai buruh di perkebunan buah-buahan,kopi, tebu, dan kakao di tempat baru itu.
Dari pasangan asal Pulau Jawa inilah lahir Sapto Sopawiro, bayi laki-laki kelahiran Suriname, yang pada kemudian hari mewarisi keterampilan ayahnya mendalang.
Sebelum aktif di dunia pewayangan, Sapto bekerja pada sebuah perusahaan kapal dan perusahaan tambang.
Akrab dengan wayang
Sejak pensiun sebagai karyawan mekanik pada sebuah perusahaan tambang di Suriname tahun 2000, Sapto mulai menekuni kembali seni wayang dan pedalangan. Pada 2000 dan 2005, ia menyempatkan diri belajar mendalang kepada Parjoyo, dalang asal Magelang yang singgah di Suriname selama beberapa bulan.
sejak tahun 2008, Sapto, bapak tiga anak ini, akhirnya total mendalang. "Beberapa waktu lalu di Suriname masih ada empat dalang selain saya, yaitu Pak Mintokaryo, Sukiban, Suliyo, dan Giman," ujarnya.
"Akan tetapi, mereka kemudian meninggal dan sekarang tinggal tersisa saya, satu-satunya dalang di Suriname," tutur Sapto dalam bahasa Jawa ngoko menambahkan.
Situasi inilah yang memunculkan kegelisahan dalam benaknya. Ia tidak ingin Suriname yang dihuni sekitar 40.000 warga keturunan Jawa itu harus kepaten atau kehilangan dalang. Apalagi, anak-anak muda di Suriname belakangan ini cenderung enggan belajar mendalang.
Oleh karena itulah, Sapto menyempatkan diri mudik ke kampung halamannya di Beran, Sleman, DI Yogyakarta, Sapto berharap bisa menimba sebanyak-banyaknya semangat seni serta motivasi untuk menumbuhkan kembali seni pewayangan di Suriname.
Kegelisahan ini pernah diungkapkan Sapto kepada Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat saat dia berkunjung ke Yogyakarta.
Dalam pembicaraan itu muncul dua opsi, yaitu mengirim dalang dari Yogyakarta untuk memberikan semacam kursus di Suriname. Kemungkinan kedua, Pemerintah Suriname mengirim calon-calon dalang ke Yogyakarta untuk menjalani kursus pedalangan.
"Kesimpulan pasti dari pembicaraan tersebut belum ada, tetapi minimal sudah ada jembatan untuk mengatasi persoalan regenerasi dalang di Suriname," papar Sapto.
Modifikasi
Meski minim dalang, antusiasme masyarakat Suriname terhadap seni wayang sangat besar. Setiap pementasan wayang disaksikan setidaknya 400-500 penonton. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan penonton wayang di beberapa tempat di indonesia.
Adapun penikmat wayang di Suriname tidak hanya warga keturunan Jawa, tetapi juga sejumlah etnis lain, seperti Tionghoa, India, inggris, Belanda, dan mereka yang berasal dari Afrika.
Agar mudah diterima berbagai kalangan masyarakat Suriname, sapto pun memodifikasi penampilannya dengan lagu-lagu di sela-sela kisah pewayangan. Ia juga menggunakan sejumlah bahasa, mulai bahasa Inggris, Hindustan, Jawa, hingga Sranan Tongo, bahasa khas Suriname setelah Belanda.
Meski ada modifikasi, dia tetap mempertahankan cerita pewayangan baku pada pementasan. Seperti dalang pada umunya, bagian babak pewayangan di mana dia bisa bebas berekspresi dan melakukan modifikasi adalah pada segmen goro-goro.
Seperti kebiasaan masyarakat Jawa pentas wayang kulit rutin pada upacara adat, mulai dari tujuh bulanan dan kelahiran bayi, pernikahan, sunatan, ulang tahun, sampai bersih desa. September mendatang, Sapto tampil sebulan penuh berkeliling Suriname untuk merayakan tradisi bersih desa.
Tak hanya mendalang, Sapto juga aktif memotivasi kaum muda keturunan Jawa di Suriname agar tak melupakan budaya dan tradisi Jawa.
Pesan-pesan budaya itu dia sampaikan dalam acara khusus di stasiun televisi lokal Suriname, Mustika, dalam rubrik Gumelaring Jagat.
Haus akan khazanah budaya Jawa, tahun 2000 Sapto menelusuri naskah kuno Jawa di perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Belanda. Selama dua minggu dia mempelajari manuskrip kuno Jawa yang ditulis dalam huruf Jawa. Pada masa penjajahan, naskah itu diangkut dari Indonesia ke Belanda.
"Saya tak bosan belajar dan memberi ajaran adat istiadat Jawa kepada siapa pun. Jika tak ada lagi yang melestarikan, kami yang berada di tanah perantauan akan lupa asal-usul dan adat istiadat leluhur," ungkap Sapto yang tinggal di Boxel Paraweg 15, Distrik Wanica, Suriname, ini.
Selain berusaha menarik minat kaum muda pada dunia pedalangan, Sapto juga berharap dirinya bukanlah dalang terakhir di Suriname.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 24 MEI 2013
Ayahnya, Ponco Sadeyo, adalah dalang asal Sleman yang diangkut Pemerintah Belanda menggunakan sebuah kapal bernama Jember ke Suriname. Sementara itu ibunya, Jumiyem, adalah warga Solo yang juga menggunakan kapal yang sama.
Bersama ribuan orang, mereka dibawa ke Suriname dalam perjalanan selama lima bulan melalui jalur laut. Selang dua tahun kemudian, Ponco dan Jumiyem menikah pada tahun 1932 di Suriname. Mereka pun hidup sebagai buruh di perkebunan buah-buahan,kopi, tebu, dan kakao di tempat baru itu.
Dari pasangan asal Pulau Jawa inilah lahir Sapto Sopawiro, bayi laki-laki kelahiran Suriname, yang pada kemudian hari mewarisi keterampilan ayahnya mendalang.
Sebelum aktif di dunia pewayangan, Sapto bekerja pada sebuah perusahaan kapal dan perusahaan tambang.
Akrab dengan wayang
Sejak pensiun sebagai karyawan mekanik pada sebuah perusahaan tambang di Suriname tahun 2000, Sapto mulai menekuni kembali seni wayang dan pedalangan. Pada 2000 dan 2005, ia menyempatkan diri belajar mendalang kepada Parjoyo, dalang asal Magelang yang singgah di Suriname selama beberapa bulan.
sejak tahun 2008, Sapto, bapak tiga anak ini, akhirnya total mendalang. "Beberapa waktu lalu di Suriname masih ada empat dalang selain saya, yaitu Pak Mintokaryo, Sukiban, Suliyo, dan Giman," ujarnya.
"Akan tetapi, mereka kemudian meninggal dan sekarang tinggal tersisa saya, satu-satunya dalang di Suriname," tutur Sapto dalam bahasa Jawa ngoko menambahkan.
Situasi inilah yang memunculkan kegelisahan dalam benaknya. Ia tidak ingin Suriname yang dihuni sekitar 40.000 warga keturunan Jawa itu harus kepaten atau kehilangan dalang. Apalagi, anak-anak muda di Suriname belakangan ini cenderung enggan belajar mendalang.
Oleh karena itulah, Sapto menyempatkan diri mudik ke kampung halamannya di Beran, Sleman, DI Yogyakarta, Sapto berharap bisa menimba sebanyak-banyaknya semangat seni serta motivasi untuk menumbuhkan kembali seni pewayangan di Suriname.
Kegelisahan ini pernah diungkapkan Sapto kepada Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat saat dia berkunjung ke Yogyakarta.
Dalam pembicaraan itu muncul dua opsi, yaitu mengirim dalang dari Yogyakarta untuk memberikan semacam kursus di Suriname. Kemungkinan kedua, Pemerintah Suriname mengirim calon-calon dalang ke Yogyakarta untuk menjalani kursus pedalangan.
"Kesimpulan pasti dari pembicaraan tersebut belum ada, tetapi minimal sudah ada jembatan untuk mengatasi persoalan regenerasi dalang di Suriname," papar Sapto.
Modifikasi
Meski minim dalang, antusiasme masyarakat Suriname terhadap seni wayang sangat besar. Setiap pementasan wayang disaksikan setidaknya 400-500 penonton. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan penonton wayang di beberapa tempat di indonesia.
Adapun penikmat wayang di Suriname tidak hanya warga keturunan Jawa, tetapi juga sejumlah etnis lain, seperti Tionghoa, India, inggris, Belanda, dan mereka yang berasal dari Afrika.
Agar mudah diterima berbagai kalangan masyarakat Suriname, sapto pun memodifikasi penampilannya dengan lagu-lagu di sela-sela kisah pewayangan. Ia juga menggunakan sejumlah bahasa, mulai bahasa Inggris, Hindustan, Jawa, hingga Sranan Tongo, bahasa khas Suriname setelah Belanda.
Meski ada modifikasi, dia tetap mempertahankan cerita pewayangan baku pada pementasan. Seperti dalang pada umunya, bagian babak pewayangan di mana dia bisa bebas berekspresi dan melakukan modifikasi adalah pada segmen goro-goro.
Seperti kebiasaan masyarakat Jawa pentas wayang kulit rutin pada upacara adat, mulai dari tujuh bulanan dan kelahiran bayi, pernikahan, sunatan, ulang tahun, sampai bersih desa. September mendatang, Sapto tampil sebulan penuh berkeliling Suriname untuk merayakan tradisi bersih desa.
Tak hanya mendalang, Sapto juga aktif memotivasi kaum muda keturunan Jawa di Suriname agar tak melupakan budaya dan tradisi Jawa.
Pesan-pesan budaya itu dia sampaikan dalam acara khusus di stasiun televisi lokal Suriname, Mustika, dalam rubrik Gumelaring Jagat.
Haus akan khazanah budaya Jawa, tahun 2000 Sapto menelusuri naskah kuno Jawa di perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Belanda. Selama dua minggu dia mempelajari manuskrip kuno Jawa yang ditulis dalam huruf Jawa. Pada masa penjajahan, naskah itu diangkut dari Indonesia ke Belanda.
"Saya tak bosan belajar dan memberi ajaran adat istiadat Jawa kepada siapa pun. Jika tak ada lagi yang melestarikan, kami yang berada di tanah perantauan akan lupa asal-usul dan adat istiadat leluhur," ungkap Sapto yang tinggal di Boxel Paraweg 15, Distrik Wanica, Suriname, ini.
Selain berusaha menarik minat kaum muda pada dunia pedalangan, Sapto juga berharap dirinya bukanlah dalang terakhir di Suriname.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 24 MEI 2013