Jumat, 04 Mei 2012

dr M Sofyanto, SpBS: Edukasi Tiada Henti


DR M SOFYANTO SPBS
Lahir: Malang, Jawa Timur (Jatim), 29 November 1965
Istri: Nunuk Yulia Arsiyanti
Pendidikan antara lain:
- Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,1989
- Bedah Saraf Universitas Airlangga Surabaya, 2001
- Minimally Invasive, Stereo Taxis and Gamma Knife, Singapore General
  Hospital, 1996
- Pascasarjana Bedah Saraf di Institut Kedokteran Singapore General Hospital,
  1998
- Penyakit Neuro Vaskular, Sekolah Kedokteran Paris-Sud University, Bicetre,
  Perancis, 2005-2006
Pengalaman:
- Kepala Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pulau Bawean, Gresik, Jatim,
  1990-1994
- Departemen Bedah Saraf RS Dr Soebandi, Jember, Jatim, 2001
- Departemen Bedah Saraf RS Prof Johanes, Kupang, Nusa Tenggara Timur,
  2002
- Departemen Bedah Saraf RSAL Dr Ramelan, Surabaya, 2003
- Dokter Bedah Saraf di RS Husada Utama Surabaya, 2006-kini
  
Setelah menyelesaikan pendidikan di Nagoya University Hospital, Jepang, tahun 2003, dr M Sofyanto SpBS tidak membuang-buang waktu. Bersama almarhum Profesor Yoshio Suzuki, Sofyanto mengembangkan bedah mikro di Surabaya.

OLEH FABIOLA PONTO

Kasus-kasus pun berdatangan kepada Sofyanto. Salah satunya ketika seseorang datang memeriksakan diri karena menderita sakit kepala tak berkesudahan. Untuk mencari penyebab, penderita itu disarankan menjalani magnetic resonance imaging (MRI).
     Ternyata hasil MRI tidak memberi petunjuk apa pun. Sofyanto penasaran. Ia membeli laptop dengan spesifikasi tertentu untuk disambungkan dengan mesin MRI. Ia lalu menggunakan perangkat lunak untuk merekonstruksi gambar dari MRI.
     "Dari sana baru terlihat bahwa ada pembuluh darah kecil yang menyentuh saraf nomor lima di batang otak," tutur Sofyanto.
     Artinya, penderita itu terdiagnosis trigeminal neuralgia, rasa nyeri luar biasa pada wajah, gusi, dan gigi. Kebanyakan penderita ini kerap mengira sedang sakit gigi.
     Trigeminal neuralgia terjadi karena pembuluh darah pada saraf nomor lima bersentuhan sehingga menjadi lengket. Saraf ini yang mengatur perasa wajah di sekitar batang otak.
     "Sifatnya insidental. Jadi trigeminal neuralgia sebenarnya bukan penyakit," kata Sofyanto yang juga menangani penderita dari berbagai negara di antaranya Qatar, Malaysia, dan China.
     Ia mengingatkan, trigeminal neuralgia sama sekali bukan disebabkan sakit gigi, seseorang dalam keadaan stres, ataupun kelelahan. Hanya saja bila penderita mengalami gangguan psikis, reaksi pada penderita akan semakin parah.
     "Rasa sakitnya sangat hebat sampai beberapa penderita ingin mati karena tak tahan lagi," kata Sofyanto ambil menambahkan bahwa trigeminal neuralgia juga kerap dijuluki penyakit bunuh diri.
     Meski beberapa pengobatan ditempuh, tetapi rasa sakit tidak lenyap bila tak tertangani dengan tepat. Tidak sedikit pasien yang membiarkan giginya dicabut, tetapi rasa sakit tak kunjung hilang. Kondisi demikian ternyata cukup banyak terjadi.
     Untuk gambaran, trigeminal neuralgia menimpa delapan dari sekitar 100.000 orang. Penderita di Indonesia pun cukup banyak, tetapi rata-rata mereka tak mengetahui penyebab sakitnya itu. "Dari statistik, jumlah penderita trigeminal neuralgia di Indonesia kira-kira 30.000 orang," ujar Sofyanto.
     "Persoalannya, banyak dokter yang juga tak mengetahui tentang trigeminal neuralgia, baik dokter umum, spesialis, dokter gigi, maupun saraf," katanya.
     Sejauh ini, trigeminal neuralgia hanya bisa ditangani dengan bedah mikro. Belum ada tindakan medis lain yang mampu memisahkan pembuluh darah yang lengket.
    Cara alternatif, seperti tusuk jarum, pijat, dan injeksi,pun tak akan berguna untuk penderita trigeminal neuralgia. "Jangan percaya mitos apapun, termasuk dengan merelakan diri ditampar, berendam dikotoran babi, atau tusuk jarum mulai ujung rambut sampai kaki," katanya mengingatkan.

Sempurnakan teknik

     Tanpa terasa, sembilan tahun berlalu sejak Sofyanto mulai mengembangkan bedah mikro. Pada tahun-tahun awal, ia membedah lubang berukuran sekitar 2 sentimeter (cm) di batang otak.
     Kini ukuran lubang yang dibedah mengecil, sekitar 1 cm. "Masa bedah yang semula memerlukan waktu sampai tiga jam kini lebih singkat menjadi 1,5 jam," kata Sofyanto.
     Bagaimanapun berbagai jenis bedah mempunyai risiko. Demikian pula bedah mikro. Beberapa kemungkinan di antaranya penderita mengalami stroke  karena pembiusan dan manipulasi. "Bisa juga terjadi seusai bedah tekanan darah penderita naik-turun," ujarnya.
     Selain itu, setiap pembedahan juga berisiko menyebabkan infeksi. Namun, sembilan tahun melakukan bedah mikro berbagai risiko tersebut bisa diminimalkan.
     Sampai kini tidak ada penderita yang mengalami kebutaan, lumpuh, ataupun risiko fisik lain. "Kira-kira tingkat keberhasilan bedah mikro terhadap penderita mencapai 97 persen," cerita Sofyanto.
     Selain trigeminal neuralgia, insiden serupa juga bisa terjadi pada wajah dan menyebabkan hemifacial spasm. Bedanya, di sini penekanan pembuluh darah terjadi pada saraf fasialis, yaitu saraf ketujuh (motoris).
     Dalam konteks itu, bedah mikro juga harus dilakukan pada penderita hemifacial spasm. "Penderita tidak mengalami kesakitan, tetapi wajahnya berkedut terus-menerus," papar ayah empat anak ini.

Menyebarluaskan informasi

     Sayangnya, pengetahuan masyarakat dan dokter terhadap trigeminal neuralgia masih minim. Oleh karena itu, mantan penderita trigeminal neuralgia dan hemifacial spasm bersepakat membentuk komunitas sejak tahun 2009.
   Bersama Komunitas Trigeminal Neuralgia Indonesia dan Komunitas Hemifacial Spasm Indonesia, Sofyanto berupaya menyebarluaskan informasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Kedua komunitas menerbitkan buletin minimal setahun sekali.
      Para anggota bergerak, baik bagi penderita maupun dokter dengan mengirim majalah yang mereka terbitkan. "Majalah dikirimkan kepada dokter spesialis, lembaga dan institusi kesehatan, laboratorium medis, fakultas kedokteran, sampai dokter gigi. Ini bagian dari edukasi," papar dokter yang setiap bulan menangani 20-40 bedah mikro ini.
     Selain itu, anggota komunitas juga menggelar bakti sosial melalui pengobatan gratis ke berbagai kota. Hanya saja, karena sehari-hari berpraktik di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya, ia berupaya meluangkan waktu pada akhir pekan rata-rata sekali dalam sebulan.
     "Pengobatan gratis kami prioritaskan bagi penderita dari kalangan tidak mampu, guru, serta TNI dan Polri," tutur Sofyanto.
     Dia berharap ada pusat-pusat kesehatan yang mau mengembangkan bedah mikro, terutama bagi penderita trigeminal neuralgia dan hemifacial spasm. Dia akan membantu edukasi kepada semua pihak agar penderita tertangani dengan tepat.
     "Saya bersedia memberi pelayanan dan mendampingi rekan sejawat," kata Sofyanto.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 3 MEI 2012

3 komentar:

  1. boleh saya minta no hp dr sofyanto....kebetulan suami saya sedang menderita sakit dengan gejala yg sama seperti trigeminal neuralgia.....saya mohon dengan sangat ...terima kasih

    BalasHapus
  2. Sy mengidap penyakit ini sdh 4 th.sy tggal d kota makassar.. Adakah yg bs bantu saya utk bs komunikasi dgn dr.sofyanto..help

    BalasHapus
  3. Sy ingin tny 2 hal

    1)klo stlh operasi kmd bbrp bln/tahun kmd tjd teflon granuloma apakah berarti kepalanya di bor lg?

    2)kmd klo stlh 20 th misal kambuh lg apakah kepalanya hrs di bor lg?

    Thx

    BalasHapus