Senin, 14 Mei 2012

Suryandoro dan Dewi Sulastri: Wayang untuk Masa Depan

SURYANDORO
Lahir: Surakarta, Jawa Tengah, 17 Juni 1966
Pekerjaan:
- Penanggung Jawab Drama Wayang Orang Swargaloka
- Manajer Informasi Taman Mini Indonesia Indah 
Pendidikan:
- SD Kasatriyan Surakarta
- Jurusan Tari SMKI Surakarta 
- Program Studi Komposisi Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta


DEWI SULASTRI
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, 15 Maret 1966
Pendidikan:
- SD Bumiharjo, Jepara
- Jurusan tari SMKI Surakarta
- Program Studi Komposisi Tari ISI Yogyakarta
Penghargaan antara lain:
- Juara Macapat Se-Kodya Surakarta, 1983
- Sutradara Terbaik Festival Wayang Orang Tingkat Nasional  (WOPA) I, 1988
- Pemeran Wanita Terbaik Festival WOPA II, 1989, WOPA III, 1990, dan 
  WOPA IV,1999
- Penari Istana Negara, 1997-1999

Bagaimana menghadirkan wayang orang di tengah kehidupan masyarakat Indonesia kini? Pasangan suami-istri Suryandoro dan Dewi Sulastri lewat kelompok Swargaloka konsisten menyuguhkan wayang orang dalam bahasa Indonesia selama 15 tahun terakhir.

OLEH MAWAR KUSUMA

"Menangislah Kunti, mengalirlah air matamu sebagaimana kulihat amarah mengalir di Kurusetra...."
     Itulah sebagian dari narasi yang diucapkan dalam pergelaran wayang orang Swargaloka. Ujaran atau suluk yang terbiasa dibawakan dalam bahasa Jawa itu dialihkan dalam bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan nilai sastranya.
     Begitulah Suryandoro (46) dan Dewi (46) menyuguhkan wayang bagi masyarakat. Pertunjukan wayang orang yang biasanya berdurasi  sekitar empat jam diringkas menjadi 90 menit. Tak sekadar mengalihbahasakan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, drama wayang juga mereka beri sentuhan garapan musik modern, yang sesekali diselipi irama rap hingga blues.
     "Kami ditantang untuk menghidupkan wayang. Kami ingin ada pembaruan dalam seni tradisional agar tak ditelan zaman. Melestarikan dalam pengertian selain menjaga nilai-nilai wayang, kami juga berusaha mengembangkannya," ujar Suryandoro.
     Wayang orang garapan Suryandoro dan Dewi rupanya mendapat tanggapan dari penonton di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sejak tahun 1997. Di sinilah Swargaloka berpentas secara rutin. Dengan berbahasa Indonesia, wayang orang terbukti bisa dinikmati semua orang Indonesia.
     Kini drama wayang Swargaloka tampil di TMII. Pada setiap pertunjukan mereka, lebih dari 50 persen kursi penonton terisi. Tiap kali pertunjukan digelar, Swargaloka didukung 60-75 pemain yang mayoritas kaum muda dari Yogyakarta dan Surakarta. Swargaloka bahkan pernah tampil di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan mendapat tepuk tangan lebih dari 2.000 penonton.
     Namun, pertunjukan wayang orang berbahasa Indonesia bukannya tanpa masalah. Kendala utama pemain adalah rasa kagok saat mereka harus berdialog dalam bahasa Indonesia. Sebab mayoritas pemeran wayang orang Swargaloka lekat dengan naskah wayang beserta cengkok bahasa Jawa.
     "Awalnya memang terkesan lucu," kata Suryandoro.
     Namun, seiring berjalannya waktu, kendala itu bisa diminimalkan. Kini pemain merasa terbiasa memerankan tokoh wayang dengan dialog bahasa Indonesia. Setelah masalah kebiasaan memainkan wayang orang berbahasa Indonesia teratasi, penguatan karakter peran masing-masing pemain pun diutamakan.
     Lakon yang diperankan dalam wayang orang Swargaloka umumnya disesuaikan dengan kondisi bangsa. Seusai peristiwa kerusuhan Mei 1998, misalnya, Swargaloka menampilkan karya dari naskah Sutasoma yang berkisah tentang pentingnya kerukunan.

Jual rumah

     Yayasan Swargaloka didirikan di Yogyakarta tahun 1993. Suryandoro dan Dewi membawa Swargaloka ke Jakarta dengan pementasan perdana berjudul "Api Dendam Aswatama" tahun 1997. Konsep pemanggungan wayang orang dibuat Suryandoro, sedangkan Dewi menjadi pemeran utama.
     Pada tahun yang sama, Dewi hijrah ke Jakarta setelah ia menyelesaikan perjalanan ke Jepang sebagai duta tari tradisional dalam tim Kesenian Pelangi Nusantara. Ia lalu aktif menjadi penari di Istana dan Suryandoro pun pindah ke Jakarta menjadi anggota staf bidang budaya di TMII.
     Setelah tahun 1999, pementasan Swargaloka sempat tersendat-sendat selama hampir sembilan tahun karena kendala dana. Suryandoro dan Dewi sampai harus menjual rumah mereka demi membiayai kelangsungan wayang orang Swargaloka.
     "Kami sempat vakum menampilkan karya besar, tetapi karya berbentuk fragmen, tetap ditampilkan," kata Suryandoro.
    Dewi menambahkan, hasil penjualan tiket pertunjukan senilai minimal Rp 100.000 per orang hanya bisa mencukupi sekitar 30 persen dari total kebutuhan dana operasional Swargaloka. "Biayanya Rp 100 juta untuk sekali naik panggung," ujarnya.
     Mereka pernah mendapat tawaran tampil di layar kaca, tetapi tawaran itu ditolak. Alasannya, konsep acara wayang orang yang ditawarkan kala itu dinilai merusak wibawa pertunjukan wayang orang.
     Swargaloka berusaha konsisten menampilkan wayang orang yang mengedepankan nilai luhur ajaran kehidupan. "Wayang itu punya wibawa sendiri. Wayang tak bisa dilecehkan karena ada ajarannya," kata Suryandoro.
     Baginya, wayang orang adalah pertunjukan yang mengandung unsur seni yang komplet, mulai dari seni tari, musik, seni suara (tembang), drama, tata rias, seni dekorasi, sampai tata busana.
     "Watak dan karakter wayang orang sejatinya mencerminkan kepribadian kita. Wayang memiliki makna sebagai wewayanging ngaurip atau gambaran kehidupan. Oleh karena itu, pentas wayang orang tak sekadar tontonan, tetapi mengandung tuntunan," katanya.
     
Sejak kecil

     Pertalian Suryandoro dengan wayang orang dimulai sejak masih kecil. Ia belajar menari dan menabuh gamelan. Selama 15 tahun sejak berusia tujuh tahun, ia terlibat pementasan di panggung terbuka Ramayana Prambanan, Jawa Tengah. Ia antara lain pernah tampil di depan Raja Thailand.
     Di Jurusan tari SMKI Surakarta, Suryandoro mulai tampil bareng Dewi dalam pergelaran wayang orang. Ia juga belajar menulis naskah, merancang kemasan, dan memproduksi wayang orang berjudul "Memolo Cupu Manik Astagina".
     Karyanya itu meraih penghargaan pada Festival Wayang Orang Tingkat Nasional (WOPA) pertama di Surakarta. Pada festival ini pula, Dewi menjadi sutradara terbaik.
     Sedangkan Dewi lekat dengan wayang, antara lain, karena ia adalah cucu seorang dalang di Jepara. Ia menjadi pesinden sejak duduk di kelas VI SD. Ia lalu menekuni tari saat melanjutkan sekolah  di SMKI Surakarta dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pada festival WOPA ke-2, ke-3, dan ke-4, Dewi meraih penghargaan sebagai pemain terbaik perempuan.
     Meski tak mudah, suami-istri ini kompak bahu-mebahu melestarikan wayang orang sesuai kebutuhan dan gaya hidup zaman. Bagi mereka, wayang orang tetap mempunyai dinamika dan kemampuan berdialog dengan zaman yang berubah. Wayang orang bukanlah milik masa lalu.
     "Cita-cita saya adalah menjadikan wayang orang sebagai opera terbaik di dunia," kata Suryandoro.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 14 MEI 2012

2 komentar:

  1. Bangga dengan mas Suryandoro dan mba Dewi Sulastri pelestari utama wayang orang,saya Hariyono dari Tulungagung Jawa timur

    BalasHapus
  2. Wayang orang swargoloka apa masih ada sekarang,kalau ada tolong kirim jadwal pentas

    BalasHapus