JUMALI WAHYONO PERWITO
Lahir: Sukoharjo, 19 Agustus 1966
Pendidikan:
- SD Trangsan 1
- SMP 1 Kartasura
- SMA 1 Kartasura
- Sarjana S-1 dari jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Istri: Galuh Kencana
Anak:
Kayla (kelas II SMP)
Anung (kelas II SD)
Usaha: Primuss Sumber Jaya, bergerak di bidang ekspor mebel dan kerajinan
Krisis finansial global tahun 2009 mengempaskan bisnisnya ke jurang kebangkrutan. Ketika berada di titik nadir itu, Jumali Wahyono Perwito pergi ke Dusun Pogog yang berjarak 105 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah, untuk menghibur jiwanya. Di dusun yang menjadi lokasi kuliah kerja nyata semasa kuliahnya dulu, lelaki yang dikenal juga dengan nama Mas Jiwo Pogog ini lantas mengajak warga menanam pepaya.
OLEH SRI REJEKI
Awalnya, Jiwo hanya ingin membantu seorang warga bernama Kang Rimo agar bisa mendapat penghasilan tanpa perlu merantau. Kang Rimo adalah salah satu panutan warga di dusun yang terletak di Desa Tengger, Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, Jateng, ini. Ia ketua kelompok tani dan takmir masjid yang suara azannya mampu memanggil penduduk untuk shalat di masjid setempat.
Menjelang tahun baru, warga Pogog akan berbondong-bondong merantau untuk berjualan trompet, termasuk Kang Rimo. Jiwo pun lantas teringat pengalamannya melihat budidaya pepaya di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Ia lalu mengusulkan tanam pepaya sebagai solusi agar Kang Rimo tak perlu merantau, tetapi tetap memperoleh penghasilan.
"Dusun Pogog itu unik, warga punya rumah dan tanah, tetapi tak bisa dibilang kaya karena jarang yang pegang uang tunai dalam jumlah besar. Meski hidup dengan uang pas-pasan, mereka tidak pernah mau meminta-minta. Semua harus diperoleh lewat kerja. aparat desa tidak malu kerja kasar jika tanaman mereka gagal panen," kata Jiwo yang sejak lulus kuliah bergerak di bidang ekspor mebel di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, akhir Agustus lalu.
Ia lantas mengundang petani pepaya dari Mojosongo yang dipanggil Pak Muslim untuk datang ke Pogog membagi ilmunya. Dari semula hendak membantu 200 bibit pepaya, Jiwo lantas menambahnya menjadi 2.000 benih atas saran Pak Muslim. Ini agar ada pengepul bersedia mengambil panen pepaya. Pada akhirnya Jiwo membeli hingga 4.000 benih karena antusiasme warga. Total ada 51 petani yang bergabung.
"Semula saya sulit meyakinkan petani lain untuk ikut menanam pepaya. Ternyata mereka khawatir saya pamrih, sebab ketika itu menjelang pemilu. Mereka mengira saya akan nyaleg. Stelah melihat sendiri saya tidak ada kepentingan, mereka berbondong-bondong datang meminta benih," kata ayah dua anak ini.
Sebelum Jiwo membagikan benih, para petani sempat dibawa ke beberapa tempat, seperti Boyolali dan Magelang, untuk belajar langsung budidaya pepaya. Mereka yang mengikuti betul pegetahuan yang diperoleh selama pembelajaran itu, seperti Mbah Tronjol, akhirnya berhasil memperoleh uang Rp 6 juta dari panen pepayanya. Hasil ini luar biasa untuk ukuran warga Pogog. Kang Rimo pun tidak perlu merantau lagi untuk mencari uang tambahan.
Menggerakkan warga
Dari sini Jiwo memperoleh keyakinan bahwa pemberdayaan desa bisa dilakukan seorang individu yang ia sebut teori The Power of One. Artinya, tidak perlu menunggu hingga mempunyai tim hebat atau modal besar untuk mulai terjun membangun desa. "Saya membuktikan sendiri, kita bisa membangun desa dengan dana senilai HP (handphone) yang saya sebut 'teori senilai HP di kantong kita'," kata Jiwo.
Tahun kedua mereka mencoba menanam pepaya jenis lain yang disebut pepaya hawaii, dibeli dari Prambanan. Petani tertarik karena di Yogyakrta harga pepaya jenis ini Rp 8.000 per buah dan masuk hotel bintang lima meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pepaya biasa. Namun, ternyata iklim dan tanah Pogog yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur kurang pas untuk tanaman pepaya hawaii.
Pada tahun ketiga, Jiwo kembali membantu 8.000 benih pepaya dari Mojosongo untuk menggantikan tanaman yang mati. Namun, sayang, banyak tanaman terserang penyakit kutu putih. Demikian pula pada tahun keempat, tanaman pepaya banyak terserang penyakit busuk akar. Meski begitu, masih cukup banyak tanaman yang bertahan hidup hingga kini dan menghasilkan uang.
Justru tiga orang dari Ponorogo yang diam-diam mengikuti kiprah Jiwo melalui internet telah menuai kesuksesan menanam pepaya. Bahkan, mendiang Prof Sriyani Sudjiprihati dari Institut Pertanian Bogor, penemu varietas pepaya callina yang populer disebut pepaya california, pernah datang ke Pogog dan memberikan bantuan benih saat para petani melakukan kunjungan balik ke Bogor. Jiwo yang punya nama maya Mas Jiwo Pogog rajin menuangkan pengalamannya melalui blog yang diikuti lebih dari 1.800 orang.
Durian montong
Rangkaian proses ini membangkitkan gairah warga untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Tak lama setelah bertanam pepaya, Jiwo mengajak warga menanam durian montong. Dia berharap, suatu hari Pogog bisa menjadi desa wisata durian. Dia pun membagikan 1.000 benih dengan sistem bagi hasil. Setelah dua tahun lebih ditanam, pada tahun 2012 pohon-pohon durian itu berbunga. Kini sudah ada beberapa yang bisa dipetik buahnya.
Jiwo berharap, tahun depan setidaknya 100 pohon durian bisa dipanen sehingga Pogog cukup layak menyebut diri sebagai desa wisata durian. Mereka sempat studi banding hingga ke Bogor untuk melihat pengelolaan desa wisata durian.
Kiprah Jiwo juga menggagas pembuatan sumur resapan dan pemasangan pipa paralon dari Kali Koang untuk mengalirkan air ke kebun bibit. Cita-citanya, setelah warga menanam pepaya dan durian, warga juga menguasai teknik pembibitan pohon buah. Mitra kerjanya yang paling andal untuk mengeksekusi ide adalah Kang Rimo dan Kang Guru, seorang guru SD yang juga tokoh warga setempat.
Sejumlah program lain juga ia kerjakan di Pogog, misalnya perbaikan perpustakaan dan menggalakkan hewan kurban. Ia sudah seperti warga kehormatan di dusun itu.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 SEPTEMBER 2013