Senin, 01 Februari 2010

Akbar Dahali, Menumbuhkan Kepedulian

Jangan iba atau mengasihani penyandang cacat, tetapi bantulah para penyandang cacat. Kembangkan potensi dirinya sehingga mereka juga berkesempatan menjalani hidup seperti orang-orang normal lainnya.

AKBAR DAHALI

Lahir : Makassar, 12 Januari 1966
Pendidikan : - Pondok Pesantren, Maros, Sulawesi Selatan
- SMP Sari Buana, Makasar
- SMAN I Jakarta, 1987
Istri : Suryani (39)
Anak : 1. Maulana (14)
2. Mutmainah (13)
3. Musadiq (3)
Organisasi : - Ketua PPCI Kabupaten Enekang, Sulawesi Selatan, 2006 - kini
- Pembina Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Enrekang
- Ketua Umum Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, 2004

oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Pesan itu senantiasa ditanamkan Akbar Dahili, setelah lulus SMA, setiap kali ia bertemu orang lain. Akbar yang menjabat Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bertekad membangun kepedulian masyarakat untuk terus membantu penyandang cacat berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat.
"Saya suka kesal kalau datang ke pejabat yang sering memberi uang ke saku saya. Bukan saya menolak rejeki, tetapi saya ingin ditanya dulu apa program untuk memberdayakan penyandang cacat, bukan untuk meminta-minta. Jangan saat menghadapi orang cacat yang ditonjolkan rasa kasihan. Saya mau ubah pemikiran masyarakat yang demikian itu," kata Akbar.
Selama ini program-program pemerintah di daerahnya bagi penyandang cacat lebih didorong rasa kasihan atau iba. Ketika ada bantuan yang disalurkan dinas sosial, misalnya, tidak ada pendampingan dan pelatihan kepada penyandang cacat supaya bantuan itu membuahkan hasil kemandirian secara sosial dan ekonomi.
Penyandang tunanetra yang masih mampu melihat setitik cahaya itu tidak lelah terjun ke kampung-kampung guna menyadarkan masyarakat agar memberikan pendidikan buat penyandang cacat. Dia gigih beraudensi dengan para petinggi di Kabupaten Enrekang, anggota DPRD, hingga pengurus partai politik untuk menumbuhkan kepedulian. Dengan cara ini dia berharap agar dalam kebijakan, mereka berpihak pada pemberdayaan para penyandang cacat.
Buah perjuangan Akbar setidaknya terlihat dari mulai terbukanya sekolah-sekolah umum di Enrekang bagi anak-anak penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama anak-anak normal.
"Hanya ada satu sekolah luar biasa (SLB) yang lokasinya di ibukota kabupaten. Tidak semua anak cacat bisa bersekolah disana karena jauh dan butuh biaya besar. Saya senang karena sekolah-sekolah umum sudah mau menerima anak-anak cacat. Dinas pendidikan dan guru disini semakin terbuka soal pendidikan inklusi dengan pelatihan dari Hellen Keller Internasional," ujarnya bersemangat.
Akbar memaklumi jika masih bnyak guru di sekolah reguler yang mengeluh harus memberi perhatian ekstra untuk ABK dikelasnya.
"Saya cuma bisa menyentuh hati para guru itu. Saya selalu bilang kepada para guru supaya jangan menganggap para ABK itu beban," tutur Akbar, yang menopang kehidupan keluarganya dengan menjadi penyalur seprai di Enrekang dan sekitarnya dari sebuah toko di Jakarta.
Tak jarang Akbar juga mesti membujuk orang tua yang punya anak cacat untuk menyekolahkan anaknya. Dia memberikan pemahaman, anak-anak cacat juga berhak bersekolah dan bisa menjadi orang yang berhasil.
Perlahan-lahan kesaaran masyarakat untuk menghargai hak-hak penyandang cacat dan mendukung mereka mandiri tumbuh. Di desanya di Bolang, yang jumlah penyandang cacat cukup banyak, Akbar sering mendatangkan temannya penyandang cacat yang sukses menjadi sarjana dan pegawai.
Akbar ingin selalu ada contoh bahwa keterbatasan seseorang tetap bisa diatasi dengan kegigihan. Meski tunanetra dan bekerja dengan meraba-raba, Akbar mengelola tanaman coklat. Dia juga menjual air dari sungan untuk disalurkan kerumah-rumah warga.
"Saya juga mau memotivasi masyarakat supaya terdorong maju, enggak malas-malasan. Mereka akhirnya bisa melihat, jika orang cacat saja bisa mandiri, apalagi yang normal," jelas Akbar.


Tersadar dan berbuat

Tak pernah terbersit dalam pikiran Akbar jika dirinya harus ambil bagian untuk memperjuangkan hak-hak penyandang cacat. Pria yang memiliki masalah penglihatan sejak lama ini tidak menduga dirinya akan buta, sebab, dari pemeriksaan rutin yang dia lakukan ke rumah sakit di Makassar dan Jakarta, dokter menyatakan bahwa dia tak terancam buta.
Kenyataan berubah sekitar dua tahun setelah dia tamat SMA di Jakarta. Penglihatannya semakin buruk dan hanya mampu melihat setitik cahaya.
Merasa tak yakin mampu meraih cita-citanya menjadi tentara, Akbar memilih kembali ke kampung halamannya, Enrekang. Dia berencana menjalani pengobatan alternatif agar kedua matanya berfungsi kembali.
Meski menjadi buta, Akbar tak membiarkan dirinya depresi. Dia memilih untuk membantu ibunya berjualan pakaian di Toraja dan Enrekang.
Kesadarannya untuk membentuk organisasi penyandang cacat bermula dari terdatanya Akbar oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagi penyandang cacat penerima bantuan dinas sosial setempat tahun 2002. Ia termasuk penyandang cacat yang berhak menerima 10 ekor ayam.
"Ada 40 penyandang cacat yang menerima bantuan. Tiba-tiba saya merasa terdorong untuk menghimpun penyandang cacat supaya bisa diperhatikan dan diakui hak-haknya, jadi tak sekedar diberi bantuan begitu saja," katanya.
Sebagai langkah awal, Akbar membuktikan dirinya mampu mengembangkan bantuan dinas sosial. Dia serius mengurus ayamnya hingga berkembang menjadi 50 ayam petelur.
"Saya cuma mau menunjukkan, penyendang cacat bisa mandiri. Yang penting, penyandang cacat diberi pendidikan dan pembekalan, pasti bisa memanfaatkan bantuan dengan baik," katanya.
Keinginan Akbar untuk menghimpun para penyandang cacat dalam suatu organisasi semakin besar. Dia mencari-cari informasi. Pada tahun 2004 dia diberitahu tentang keberadaan PPCI Sulawesi Selatan yang diketua Bambang Permadi.
Dengan bersemangat, Akbar menemui Bambang Permadi di Makassar. Ia semakin mantap untuk membuka PPCI di Enrekang. Apalagi dari data statistik diperkirakan ada sekitar 2.000 penyandang cacat dan baru 300 orang yang tergabung di PPCI.
Aktivitas dan advokasi kepada berbagai pihak dia lakukan. Dia berhasil meminta bantuan bupati di Enrekang untuk menggelontorkan dana guna mendukung keberangkatan atlet cacat yang tergabung dalam Badan Pembina Olahraga Cacat Enrekang untuk bertanding di Bone.
Akbar ingin mengawal keberpihakan pada penghilangan sikap diskrininatif terhadap penyandang cacat itu, dengan cara apapun.
"Saya ingin kepedulian untuk membantu penyandang cacat berkembang sesuai potensinya itu, tumbuh di hati semua orang," ujarnya lirih.


Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 12 NOPEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar