Minggu, 07 Februari 2010

Ujang Sutisna, Melawan Kemiskinan

Ujangsutisna tahu betul rasanya menjadi orang miskin. Sewaktu kecil, warga Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu terbiasa makan dengan lauk hanya terasi goreng. Bahkan, tulang ikan pun dibakar dan ditumbuk untuk dijadikan teman nasi.


UJANG SUTISNA

Lahir : Bandung, 19 Agustus 1974
Istri : Teti Sugiarti (34)
Anak : - Wildan Mulkan Hakim (12)
- Ghulam Kamal Halim (10)
- Najah Najihatu Zahra (8)
- Salama Hanifatu Zahra (5)
Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri Santosa 1974-1980
- Sekolah Menengah Pertama Negeri Kertasari 1980-1983
- Sekolah Tehnik Menengah Muslimin Bandung 1984-1987
- Akademi Teknologi Pekerjaan Umum (ATPU) 1988-1991 (tidak selesai)


Oleh DWI BAYU RADIUS

Saat duduk di bangku sekolah dasar, Ujang harus berjalan kaki hingga enam jam pergi pulang setiap hari untuk belajar. "Sampai kelas tiga sekolah dasar, saya belum kenal yang namanya uang. Waktu itu, uang sebesar Rp.100 pun rasanya sudah paling besar," ujarnya.

Ayahnya yang hanya buruh perkebunan membuat Ujang sulit beranjak dari cengkeraman kemiskinan. "Saya pun bertekad, kemiskinan khususnya di pedesaan adalah musuh yang harus dilawan. Soalnya saya sudah merasakan sakitnya menjadi orang miskin," katanya.

Padahal, Ujang menganggap pedesaan sebenarnya memiliki potensi besar untuk menggerakkan perekonomian nasional.

"Indonesia negara pertanian yang sebagian besar terkonsentrasi di pedesaan. Kalau desa bisa diberdayakan, kemiskinan seharusnya tak akan separah saat ini," katanya.

Berpijak dari peluang tersebut, Ujang pun terpikir untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayahnya. Ia memulai program penggemukan sapi untuk qurban dengan jumlah awal sebanyak 20 ekor pada tahun 2007. Sapi-sapi itu didistribusikan kepada 10 peternak.

Setiap peternak mendapat dua sapi untuk digemukkan. Modal untuk membeli sapi dikumpulkan dari tabungan pribadi para anggota komunitas yang disebut Forum Agro. Awalnya, mereka kerap berdiskusi, lalu ditawari menjadi donatur.

Ujang pun berupaya meyakinkan anggota Forum Agro yang berjumlah sekitar 100 orang. Mereka akhirnya tertarik untuk terlibat dalam program tersebut. "Anggota Forum Agro memandang program ini cukup bagus. Bahkan ada pemimpin pondok pesantren (ponpes) dari Jawa Timur yang terlibat," katanya.

Program yang berjalan baik membuat jumlah sapi bertambah menjadi 80 ekor pada tahun 2008 dan 120 ekor pada tahun 2009. Jumlah sapi pada tahun 2008 itu termasuk ternak dengan program pengembangan baru, yakni non qurban atau penggemukkan biasa sebanyak 10 ekor.
Saat ini, jumlah sapi sudah mencapai 270 ekor yang terdiri dari 40 ekor untuk program qurban dan 230 ekor untuk penggemukkan biasa. Harga bibit sapi yang siap digemukkan sekitar Rp.5,2 juta per ekor dengan berat 150-170 kilogram. Setelah digemukkan selama sembilan bulan, harga sapi menjadi sekitar Rp.10 juta per ekor dengan berat empat kwintal.
Sistem bagi hasil
Program itu melibatkan masyarakat sekitar dengan menerapkan sistem bagi hasil.
Menurut Ujang, setiap warga yang menjadi peternak mitra Forum Agro mendapatkan penghasilan sekitar Rp.4 juta untuk dua sapi yang digemukkan. Mereka akan mendapatkan hasil lebih besar jika menggemukkan sapi untuk qurban dengan penghasilan sebesar Rp.5,6 juta.
"Kalau mau, peternak bisa membeli bibit sapi dari uang itu. Bedanya, sapi yang digemukkan milik warga sendiri. Jadi sifatnya berkelanjutan," ujar Ujang.
Program yang terus maju membuat Forum Agro sudah mampu menyediakan lemari pendingin untuk menyimpan daging. Tak hanya sapi, menurut Ujang, kemitraan Forum Agro juga merambah peternakan bebek, domba, serta penanaman pohon sengon dan albasia.
Peternak domba, mitra Forum Agro memperoleh penghasilan sekitar Rp.600.000,- untuk dua domba yang digemukkan sekitar sembilan bulan. Saat ini, terdapat sekitar 10 domba yang digemukkan. Berat domba sekitar 12 kilogram dan menjadi 40 kilogram jika sudah siap dijual seharga Rp.1,5 juta.
Sementara dalam program penanaman sengon, warga mulai mendapatkan penghasilan setelah 2,5 tahun. Saat itu, dilakukan penjarangan sengon dengan menebang sebagian pohon. Hasil penebangan dijual dan jika dikehendaki, kayu dapat dibelikan bibit untuk ditanam kembali sehingga menambah populasi pohon. Sengon yang tidak ditebang karena penjarangan dapat dipanen kembali setelah enam tahun.
"Harga kayu sengon yang dapat digunakan untuk kayu lapis dan pulp sebesar Rp.600.000,- per meter kubik. Sengon dipilih karena pemeliharaannya tidak susah," kata Ujang.
Tiga desa
Program Forum Agro di Kabupaten Bandung sudah menjangkau Kecamatan Ibun, Rancaekek, Cicalengka, Pacet, Pangalengan, Paseh, Cikancung, Banjaran, Arjasari, Cilengkrang, Cimaung dan Pasirrambu. Disetiap kecamatan, rata-rata ada tiga desa yang melakukan program itu.
"Jangkauannya bisa bervarisai, tapi kalau di Kecamatan Pacet, hampir semua desanya menjalankan program penggemukkan sapi," kata Ujang. Pada tahun 2010, ia berencana merambah tiga kecamatan lagi di kabupaten Bandung, yakni Kutawaringin, Cileunyi dan Baleendah.
"Di Kabupaten Bandung ada 31 kecamatan, jadi saya sangat optimis masih banyak peluang untuk mengembangkan program," ujarnya.
Program yang turut memberdayakan masyarakat itu dapat diterapkan tanpa bantuan pemerintah. Menurut Ujang, program justru dilakukan secara swadaya mengingat sulitnya mendapatkan dukungan dari pihak birokrasi. Pemohon harus menghadapi prosedur cukup berliku dan proses yang melibatkan banyak pihak. Belum lagi, pelaksana program harus membuat laporan pertanggung jawaban.
"Program pengentasan rakyat dari kemiskinan tak bisa seperti itu, bahkan harus dijauhkan dari prosedur melelahkan. Penerapan program juga harus melibatkan masyarakat," katanya.
Pengalaman Ujang yang pernah beberapa kali menetap di pondok pesantren turut membentuk pemikirannya untuk menerapkan aktivitas demi kemaslahatan umat. Selama dua tahun, ia sempat tinggal di Ponpes Hidayatullah di Balikpapan, Kalimantan Timur dan di Surabaya, Jawa Timur.
Sehari-hari, aktivitas Ujang diisi dengan mendengarkan ceramah. Ia kemudian kembali ke Jawa Barat pada tahun 1993 untuk menjadi pengurus Ponpes Hidayatullah di Bandung hingga tahun 1998. Ujang pernah menjadi kepala departemen dakwah dan manajer koperasi As-Sakinah.
Meskipun pengurusnya sehari-hari bergelut dengan program pengentasan rakyat dari kemiskinan, kondisi Sekretariat Forum Agro di Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, malah tampak tak begitu dihiraukan. Ketika hujan, atap sekretariat Forum Agro bocor, sehingga meneteskan air. Istri Ujang, Teti Sugiarti pun harus tergopoh-gopoh menadah tetesan air dengan baskom.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 8 FEBRUARI 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar