Senin, 27 September 2010

Heny Yudea, Rujukan Jamu Tradisional

Lembaga Studi Kesehatan Masyarakat (Lessan) telah menjadi rujukan pemuda dari berbagai negara untuk datang ke Indonesia dan belajar mengenai jamu tradisional secara gratis. Selama 20 tahun terakhir Lessan aktif mengumpulkan resep pengobatan tradisional berdasarkan kearifan lokal dari penduduk lanjut usia di pedesaan.

BIODATA
Nama : Heny Yudea
Lahir : Karanganyar, 9 November 1971
Penghargaan : Salah satu dari 1.000 Perempuan Perdamaian Dunia 2005
Jabatan : Pendiri dan Ketua yayasan Lessan

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN

Resep mengenai jamu tersebut dibukukan dan dibagikan secara gratis sebagai wahana tukar pengetahuan sekaligus melestarikan resep jamu tradisional.
Hingga kini telah terbit tiga buku resep pengobatan tradisional yang dikumpulkan dari 13 dusun di pelosok lereng Gunung Semeru, Kabupaten Sleman, dan Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Upaya pendokumentasian kekayaan obat tradisional ini telah membawa pendiri Lessan, Heny Yudea (38), sebagai salah satu dari 1.000 Perempuan Perdamaian Dunia pada 2005.
Kantor Lessan di Jalan Kaliurang Nomor 10, Ngaglik, Sleman, sekaligus menjadi toko obat tradisional dan rumah tinggal Heny. Saat berbincang dengan Kompas, dia ditemani oleh Ketua Lessan Dewo Broto (47) dan Ira Cahyono (38). Mereka begitu antusias memperbincangkan pelestarian obat tradisional. Menurut istilah mereka, pekerjaan itu tidak ada uangnya dan membutuhkan idealisme tinggi.
Di ruang tamu kantor Lessan, foto-foto para lansia berusia diatas 70 tahun menghiasi seluruh dinding ruangan seluas 20 meter persegi itu. Dari merekalah Lessan menimba ilmu tentang pemanfaatan obat-obatan tradisional yang kemudian diwariskan kepada warga di dusun lain. Tiap wilayah memiliki keunikan resep tradisional yang cenderung makin hilang karena tak lagi terwariskan kepada generasi muda.

Dikira dukun

Kini 526 petani di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dibina untuk menanam tanaman obat tradisional, 153 diantaranya telah mampu meramu tanaman obat. Mayoritas dari mereka adalah kaum perempuan yang diajak kembali ke pengobatan tradisional. "Kami prihatin karena citra jamu masih marjinal dan terkesan illegal, padahal telah ratusan tahun digunakan nenek moyang. bahkan kami sempat dikira dukun tiban," kata Heny, sabtu (29/8) lalu.
Tak sekedar mendokumentasikan dalam bentuk buku. Heny dan rekan-rekannya juga getol mengkampanyekan pemanfaatan obat tradisional kepada masyarakat. Kampanye ini telah menjangkau seluruh warga di kelompok masyarakat yang menjadi binaan Lessan. Beberapa sekolah dasar pun turut menjadi sasaran kampanye.
Heny acap kali diundang menjadi pembicara di berbagai seminar, lembaga pendidikan, gereja, dan organisasi masyarakat di Jerman, Thailand, dan negara lain. Di seminar-seminar terebut Heny mengenalkan kekayaan hayati Indonesia serta mengkampanyekan antipencurian berupa pematenan obat tradisional oleh perusahaan besar. Saat ini sebanyak 42 resep tradisional telah dipatenkan perusahaan di Amerika dan Jepang.
Sejak tiga tahun terakhir hasil panen tanaman obat tradisional dari wilayah binaan Lessan telah diekspor ke Austria. Meskipun skala ekspornya masih kecil, 2 ton pertahun, seluruh tahapan ekspor diterangkan ke petani secara transparan sehingga mereka belajar tentang konsep perdagangan yang adil. Tawaran ekspansi ekspor jamu tradisional telah mulai berdatangan dari berbagai negara, termasuk dari Jepang.
Heny mengakui, warga di kelompok binaan lembaganya belum sanggup memproduksi dalam jumlah massal dengan tuntutan standar kualitas tinggi.
Apalagi, mereka menghindari sistem pertanaman monokultur yang justru akan merusak keseimbangan alam. Pertanaman obat tradisional terus dipertahankan dengan menggunakan sistem tumpang sari.
Lembaga tersebut telah membuka empat klinik pengobatan tradisional di lereng Merapi. awalnya klinik ini sempat dicurigai oleh masyarakat sebagai tempat praktik "dukun tiban".
Di sela saling membagi ilmu kesehatan tradisional, Lessan juga memperkuat pengorganisasian masyarakat di 13 dusun yang dibina. Anak muda dari berbagai negara, seperti dari Kanada, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Belgia, Australia, dan Jepang yang datang untuk belajar ke Lessan pun selalu diajak belajar dari warga di dusun-dusun tersebut.
Umumnya mereka itu dikirim oleh lembaga pendidikan atau organisasi untuk penulisan skripsi maupun karya tulis. Di Jerman bahkan telah terbentuk kelompok anak muda yang menamakan diri sebagai "Sahabat Lessan".

Menolak bantuan

Heny berulangkali menegaskan bahwa kerja bertahun-tahun yang dirintissnya sepenuhnya merupakan kerja kelompok. Namun, ibu satu anak ini menolak berbincang lebih jauh tentang seluk beluk kehidupan pribadi, termassuk riwayat pendidikannya. Baginya, berbincang tentang pelestarian obat tradisional tidak bisa menonjolkan peran satu orang. "Ini karya masyarakat, kami hanya mengumpulkan resep dari mereka," ungkapnya.
Heny yang selalu enggan menonjolkan diri ini mengaku ingin membawa Lessan menjadi lembaga kecil, tetapi berkualitas. Beberapa kali Lessan menolak pendanaan dalam jumlah yang dinilai terlalu besar yang diberikan oleh lembaga dari luar negeri. Dana yang ditolak itu antara lain berupa bantuan hibah senilai Rp.500 juta per enam bulan.
Sejak berdiri pada tahun 1990 Lessan memperoleh dana hibah dari TdH Jerman. Lembaga itu juga menghidupi dirinya sendiri dari bagi hasil ekspor jamu tradisional serta penjualan padi organik dari lahan seluas 1.500 meter persegi. "Jika terlalu banyak dana, takutnya nanti kami malah ngiler melihat tumpukan uang. Kami tidak ingin bergantung pada funding. Ini kekayaan negara kita, jadi harus kita yang pegang kendali," kata Heny.
Bagi orang-orang seperti mereka, uang memang bukan tujuan utama, Heny mengatakan seluruh kerja kerasnya terbayar ketika warga mulai kembali ke obat-obatan tradisional dan bisa mendapat kesembuhan. Di Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, seorang warga desa yang telah menjual satu sapi untuk pengobatan migren justru sembuh setelah mengkonsumsi ramuan tradisional.
Lessan sendiri lahir dari keprihatinan terhadap kesulitan masyarakat pedesaan untuk mengakses obat kimia. Apalagi, harga obat semakin mahal dan tidak ramah lingkungan. Bersama tujuh orang anggota tim nya, Lessan terus berupaya memandirikan masyarakat dengan obat sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa setiap penyakit pasti dilengkapi dengan obat-obatan yang tumbuh disekitarnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 SEPTEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar