TONTON PARYONO
Lahir: Bandung, 31 Juli 1973
Pendidikan:
- SD Gumuruh 2, Bandung, lulus 1989
- SMP Muslimin 2 Bandung, 1992
DEWI KUSMIANTI
Lahir: Bandung, 20 Juni 1975
Pendidikan:
- SD Bandung Raya, 1988
- SMP Pasundan 7 Bandung, 1991
- SMA Muslimin 1 Pagi Bandung, 1994
Anak:
- Ayu Dwi Yanti (17)
- Muhammad Yusuf Mauliawan (14)
- Tri Septiani (11)
Penghargaan:
- Pengelola sampah Konsep 3 R Hari Lingkungan Sedunia Kota Bandung untuk
My Darling, 2011
- Penghargaan Msyarakat Peduli Lingkungan 2012
- Tokoh Dewi Sartika sebagai Ibu Teladan Lingkungan 2012 Jabar
- Pikiran Rakyat Award Kategori Lingkungan, 2013
Suatu hari delapan tahun lalu, corat-coret sisa rapat tentang pemilahan sampah di papan tulis di lembaga swadaya masyarakat Studi Mitra Lingkungan membuat Dewi Kusmianti (38) penasaran. Sebelum dihapus, ia membacanya sampai tuntas. Beberapa inti tulisan dicatatnya.
OLEH CORNELIUS HELMY
Pikiran Dewi lantas melayang pada keluhan suaminya, Tonton Paryono (40). Pengangkut sampah di RW 011 Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung, itu kewalahan mengelola timbunan sampah seorang diri.
"Sampah plastik dipilah dan dibuat kerajinan tangan. Selain meringankan beban suami, juga bisa memberi keuntungan ekonomi," pikir Dewi yang kala itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Studi Mitra Lingkungan.
Setelah dibicarakan dengan suaminya, konsep itu mulai mereka kerjakan pada April 2005. Saat itu, di tempat pembuangan sampah (TPS), timbunan sampah mencapai 4 meter. Sampah berasal dari sekitar 9.000 warga RW 011 yang tak pernah diangkut sejak tahun 1996.
Selain memilah plastik di TPS RW 011, mereka juga membeli langsung dari warga. Modal untuk itu disisihkan dari penghasilan keduanya sekitar Rp 600.000 per bulan. Sampah anorganik dibeli Rp 400 per kilogram dan sampah plastik bermotif Rp 50-Rp 100 per lembar. Pembayaran dilakukan saat tagihan mencapai Rp 50.000 per orang.
Cara itu membuahkan hasil manis. Kemampuannya menganyam dari bahan bungkus plastik bekas memberikan penghasilan tambahan. Dalam sebulan Dewi bisa menjual 30 dompet atau tas kecil Rp 5.000-Rp 10.000 per buah. Kerja suaminya sebagai pengangkut sampah juga lebih ringan karena volume sampah berkurang hingga 40 persen setiap hari.
Peluang ekonomi itu juga dilirik oleh 12 ibu tetangganya di RW 011. Tahun 2009, mereka lantas bergabung dan menamakan diri Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling) untuk memudahkan pembelian sampah dan pemasaran hasil kerajinan.
"Kelompok My darling terus berkembang. Saat pertama berdiri, keuntungannya hanya Rp 800.000 per 12 orang per tahun. Sekarang setiap anggota bisa untung Rp 500.000 per tahun," ujar Dewi.
Tak lama kemudian My Darling mendaftar menjadi peserta program Bandung Clean and Green yang digagas Pemerintah Kota Bandung pada 2010. Awalnya hanya ingin memperkenalkan diri, tak disangka konsep My Darling dinobatkan menjadi 15 peserta terbaik.
Sukses itu membuat Yayasan Sumbangsih Nuansa Indonesia kepincut. Dana bantuan Rp 15 juta digelontorkan untuk memilah sampah. Namun, karena minim pengalaman, uang itu hanya digunakan untuk mengangkut sampah dari TPS.
Oleh karena tak ada mobil khusus pengangkut sampah, Dewi dan Tonton harus mengeluarkan Rp 450.000 sekali angkut. Sampah masih menggunung, sedangkan uang bantuan ludes dalam enam bulan.
"Saya banyak belajar. Banyak uang tanpa program yang benar tidak akan menghasilkan apa-apa," katanya.
Kesempatan kedua datang. Beragam tawaran bantuan mengalir kembali untuk mereka. Tak ingin mengulang kesalahan, anggota My Darling kali ini menolak uang tunai. Mereka meminta bantuan ilmu teknologi dan alat pendukungnya.
"Sikap itu mendapat apresiasi pemerintah dan kalangan swasta. Kami diberi ilmu pembuatan kompos, energi sampah, hingga mengurangi residu sampah bersama alat pendukung. Total mungkin Rp 100 juta. Tumpukan sampah setinggi 3 meter itu diangkut gratis," kata Dewi yang juga menjadi tukang ojek.
Berbagi
Bumi seperti runtuh saat Dewi dan Tonton dipecat dari perusahaan konfeksi tahun 2003. Padahal, saat itu mereka butuh biaya besar untuk pengobatan tiga anaknya. Anak sulungnya sakit diabetes, anak kedua menderita autis, dan si bungsu digerogoti radang otak.
"Istri saya mengamen di lampu merah. Lamaran kerja yang saya ajukan tidak ada yang mau terima. Bahkan, untuk kontrak rumah saja saya tidak mampu. Kami sering tidur di jalan," kata tonton mengenang.
Titik balik terjadi saat orang tak dikenal membayar biaya perawatan rumah sakit untuk anak Dewi sebesar Rp 1 juta. Dermawan itu hanya mengatakan, saling membantu adalah kewajiban semua makhluk Tuhan.
"Saya lantas berpikir, kalau selama ini hanya meminta, suatu saat saya harus bisa memberi. Sampah ternyata jalan yang diberikan Tuhan agar saya bisa berbagi. Tak lama kemudian kami bekerja sebagai petugas kebersihan dan pengangkut sampah," ujar Tonton.
Teladan
Sukses bersama My Darling tak membuat Dewi dan Tonton berpuas diri. Mereka yakin, semangat ibu-ibu di RW 011 masih bisa dikembangkan.
Lewat perkenalan dengan beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu, Dewi menggagas sekolah ibu pada 2011.
Sekolah ini menjadi rumah pelatihan bagi ibu-ibu RW 011 mengelola keuangan, penataan lingkungan, pola hidup sehat, dan pelatihan usaha.
"Gurunya pakar lingkungan, dokter, hingga analis keuangan. Mereka mau datang tanpa dibayar dan membagi ilmu dengan 12 murid sekolah ibu," ujar Dewi.
Harapan mereka tak bertepuk sebelah tangan. Semangat ibu-ibu RW 011 membuat keberadaan sekolah ibu menjadi berarti. Tak sedikit ibu-ibu itu mulai membuka usaha pembuatan bakso sehat, penjualan baju, hingga tahu pentingnya hidup sehat dan higienis.
"Dari sebelumnya menganggur, mereka punya kegiatan positif yang menghasilkan uang untuk keluarga," ujarnya.
Keringat dan air mata Dewi dan Tonton perlahan menjadi teladan. Kini, ada empat kawasan di Kota Bandung yang sudah menerapkan konsep bank sampah. Ada pula kelompok masyarakat di Kepulauan Riau, Bali, dan Kalimantan Tengah yang juga tertarik mengembangkan hal serupa.
Puluhan skripsi dan tesis mahasiswa berbagai perguruan tinggi juga lahir dari sampah. Mahasiswa menilai konsep My Darling dan sekolah ibu itu sebagai kemandirian yang menyelamatkan Bandung dari lautan sampah.
Tak jarang mahasiswa pun menginap di rumah kontrakan Dewi dan Tonton yang berjarak sekitar 200 meter dari TPS selama mereka menyelesaikan tugas. Jarak rumah yang dekat dengan TPS memudahkan penelitian mereka pada My Darling dan sekolah ibu.
"Kami belum tahu apakah tahun depan masih di sini atau tidak. Pemiliknya mengatakan, saya harus membayar Rp 40 juta atau pindah karena rumah mau dijual. Mungkin saya belum punya uang saat ini, tetapi kalau mau berusaha pasti ada jalan," kata Dewi.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 APRIL 2013