SARIPUDDIN
Lahir: Sulawesi Selatan, 3 Mei 1977
Istri: Hapita (34)
Anak:
- Rahmat (7)
- Ahmad Setiar (4)
Pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah Kalimbua, Sulawesi Selatan
- Madrasah Aliyah Ak Khairat, Tarakan, Kalimantan Timur
Melakoni pekerjaan sebagai petani barangkali tidak menarik jika kondisi tanahnya kurang cocok, seperti di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Namun, bagi Saripuddin (35), bekerja keras untuk mencari solusi dari keterbatasan tersebut justru menjadi tantangan tersendiri. Hasilnya, sekarang dia menjadi petani organik dan bangga dengan pekerjaannya.
OLEH LUKAS ADI PRASETYA
"Memang jika dirasa-rasa, awalnya pekerjaan ini, ya berat. Namun, ketika kita ada keinginan untuk maju, entah bagaimana, kesempatan itu selalu terbuka dan tinggal bagaimana menjalaninya. Hal yang penting, jangan sampai kita patah semangat," ujar Saripuddin.
Tidak berbeda dengan petani-petani lain, Saripuddin, warga RT 007 Kelurahan Mamburungan, Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Timur, itu dulu juga petani konvensional. Dia mengikuti jejak orangtuanya yang juga bermata pencarian sebagai petani konvensional.
Bertahun-tahun mereka bergantung pada pupuk kimia buatan pabrik. Mereka pun selalu menghadapi kondisi tanah yang kesuburannya terus menurun tanpa tahu apa sebabnya.
Saripuddin dan teman-teman sesama petani pun hanya bisa saling berkeluh kesah tentang nasib mereka yang tak kunjung membaik. Tanah garapan mereka semakin bantat, hasil panenan pun terus menurun.
Di sisi lain, harga pupuk semakin mahal dan semakin banyak pula jumlah pupuk yang harus mereka beli. Cacing di dalam tanah sebagai penanda kesuburan juga semakin menghilang dari tanah garapan mereka.
"Sekitar 50 karung urea sudah cukup untuk sekali tanam. Namun, untuk masa tanam berikutnya, jumlah pupuk itu sudah tidak cukup lagi. Cacing di tanah kami menghilang, sementara hama justru bertambah banyak. Tanah kami sedang sekarat. Kami berpikir, ada apa dengan tanah kami? Padahal, setiap musim tanam, kami harus mengeluarkan biaya banyak. Uang diperlukan untuk membeli pupuk sampai obat tanaman," cerita Saripuddin.
Tanah di Kelurahan Mamburungan, seperti umumnya tanah di Tarakan, juga berupa lempung berpasir. Menurut Saripuddin, kondisi tanah itu sebenarnya kurang bagus untuk padi. Tingkat PH-nya pun 4,1.
"Di (Pulau) Jawa, tanah yang dipakai untuk pertanian juga berupa lempung, tetapi PH-nya ideal, yakni 6-7.
Jadi, tanah itu cocok untuk bertanam padi dan sayur-mayur. Saya lalu berpikir, tanah di sini (Tarakan) semestinya juga bisa dibuat agar cocok untuk bertanam (padi dan sayur), tentunya dengan perlakuan yang berbeda (dengan tanah di Pulau Jawa)," katanya.
Mencari tahu
Pengetahuan itu membuat Saripuddin mengetahui ada yang salah dari cara bertani mereka selama ini. Dia kemudian mulai berusaha mencari tahu tentang bagaimana memperlakukan tanah lempung berpasir agar bisa mereka gunakan untuk pertanian.
Setelah emncari informasi ke berbagai pihak, sampailah Saripuddin pada kesimpulan bahwa penggunaan pupuk kimia harus dihentikan. Namun, tak semua temannya sesama petani sekaligus anggota Kelompok Tani Mapan Sejahtera sepakat dengan kesimpulannya itu. Dia lalu memilih melakukan sendiri.
"Saya bertanya kepada aparat pemerintah daerah dan disarankan untuk meminta bantuan kepada perusahaan migas (minyak dan gas) yang ada di Tarakan," katanya.
Saripuddin kemudian mendatangi salah satu perusahaan migas itu dan dia diterima dengan baik. Dari perusahaan migas tersebut, dia malah diberi bantuan bibit dan pupuk kandang.
"Namun, bukan bantuan seperti itu yang kami inginkan. Petani menginginkan ada pelatihan dan pendampingan agar kami mampu mandiri dengan menerapkan pertanian organik," ujar Saripuddin.
Keinginannya itu kemudian terwujud. Pada 2008, petani setempat mendapatkan pelatihan cara bercocok tanam secara organik. Meski begitu, seusai pelatihan, masih banyak petani yang merasa ragu menerapkan pertanian organik.
Sementara itu, Saripuddin langsung menerapkan apa yang diperolehnya selama pelatihan. Pupuk dari pabrik berangsur-angsur dihilangkan. Dia merasa mantap menanam padi dan sayuran secara organik.
"Sekarang padi dan sayuran saya sudah bebas dari pupuk kimia," katanya meyakinkan.
Ragu-ragu
Di satu sisi, Saripuddin bisa memahami jika sebagian petani rekannya tidak yakin dengan cara bertanam organik. Sebab, pada awal menerapkan pertanian organik, umumnya terjadi penurunan hasil panen.
"Hal itulah yang membuat banyak petani di sini (Tarakan) ragu-ragu menerapkan pertanian organik. Saya coba meyakinkan mereka, kondisi itu hanya terjadi pada awal kita memulai (pertanian organik). Namun, setelah itu, hasil panen kita akan lebih baik. Istilahnya, kita rugi dulu, untungnya nanti," kata lelaki yang merantau ke Tarakan selepas tamat dari madrasah tsanawiyah di Sulawesi Selatan ini.
Kini, Saripuddin bisa panen padi tiga kali setahun, padahal sebelumnya hanya satu hingga dua kali. Awalnya per hektar tanah hanya menghasilkan 2 ton padi sekali panen, tetapi lalu meningkat menjadi 4 ton dan kini 8 ton. Tanahnya mulai kembali gembur, cacing-cacing datang, dan hama mulai enggan datang.
"Dulu, untuk 1 hektar lahan sekali musim tanam, kami mengeluarkan sampai Rp 7 juta. Sekarang biaya itu bisa dipangkas lebih dari 40 persen. Dalam setahun kami panen 2-3 kai, tak lagi hanya sekali. hasil panen kami meningkat 2-3 kali dari sebelumnya," tuturnya.
Dulu, ia membutuhkan modal Rp 5 juta untuk menanam cabai dan membeli pupuk, dengan hasil panen Rp 12 juta. Kini, ia hanya butuh modal Rp 300.000 dan hasil panennya Rp 17 juta.
"Cabai dan sayuran yang kami tanam juga lebih sehat dan enak rasanya," kata Saripuddin sambil menunjukkan hamparan sawahnya.
Apa yang dicapai Saripuddin itu membuat anggota lain Kelompok Tani Mapan Sejahtera penasaran. Mereka mulai tertarik, jadilah Saripuddin dan sejumlah teman mendirikan Pusat Studi Organik Terpadu.
"Awalnya, kami tak terpikir membuat semacam pusat studi. Namun, ini bisa menjadi tempat bagi mereka yang ingin mempelajari pertanian organik. ada lahan milik kelompok di sini, mari kita sama-sama belajar.
Melihat semakin banyak petani yang mau menerapkan pertanian organik, saya ssenang," ujarnya.
Di pusat studi itu, sejumlah petani, antara lain, mengolah kotoran dan urine sapi serta kambing dan dedaunan untuk pupuk. Mereka juga membuat pupuk cair dan pestisida cair alami berbahan buah-buahan, dedaunan, dan gula merah.
Saripuddin mengakui, tak mudah mengajak semua petani mau menerapkan pertanian organik. "Saya dan teman-teman yang sudah mencoba (pertanian organik) tak bisa memaksakannya. Namun, saya yakin, gerakan pertanian organik ini akan menyebar. Satu per satu petani akan beralih pada pertanian organik jika mereka tahu keuntungannya," ujarnya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 28 FEBRUARI 2013
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 28 FEBRUARI 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar