Senin, 08 April 2013

Cak Fu Menerjang Keterbatasan

BAHRUL FUAD 
Lahir: Kediri, 17 Agustus 1975
Pendidikan:
- S-1 Psikologi dari Universitas Darul Ulum, Jombang
- Master of Humanitarian Assistance, universitas Groningen, Belanda
Kegiatan, antara lain: Riset terkait disabilitas, menulis di media massa, merawat blog www.cakfu.info, fasilitator berbagai pelatihan komunitas inklusif, dan membangun koperasi kaum difabel, Paguyuban Daya Mandiri, Surabaya.

Siang itu, seorang jemaah shalat Jumat di Masjid Raya Al-Mashun, Medan, Sumatera Utara, menyodorkan selembar uang Rp 20.000 kepada Bahrul Fuad, MA (37). Bahrul menerima dengan senyum. Setelah si pemberi berlalu, uang itu dia berikan kepada yang dikatakannya lebih berhak.

OLEH MARIA HARTININGSIH

"Saya berikan kepada teman difabel tunanetra di halaman masjid," kata Cak Fu, sapaan Bahrul, di depan teman-temannya, anggota The Indonesian Social Justice Network (ISJN). Sebanyak 25 alumnus-dari 361 alumus dari fellows asal Indonesia-penerima beasiswa International Fellowship Programme (IFP) The Ford Foundation berkumpul di Medan untuk merumuskan langkah ISJN ke depan.
   Sebagai difabel dan pemakai alat penopang untuk berjalan, Cak Fu terbiasa menerima perlakuan seperti itu.
   Pernah, suatu hari saat menunggui istri belanja, oleh pemilik toko ia diberi uang Rp 2.000. Pernah pula teman-temannya anggota Koperasi Paguyuban Daya Mandiri di Surabaya dipaksa menerima Rp 200.000 dari seorang pengendara motor. Untuk sedekah, katanya. Mereka menolak, tetapi si pengendara motor terus memaksa.
   "Saya melarang teman-teman menengadahkan tangan agar stigma ketidakberdayaan bisa ditipiskan," ujar Cak Fu. "Namun, dalam kasus itu, saya bilang terima saja untuk koperasi," ungkapnya.

Stigma itu....

   "Tak mudah menjadi difabel di negeri ini," kata Cak Fu. Kekurangan atau perbedaan yang dimiliki difabel sering diartikan sebagai ketidaksempurnaan oleh mayoritas manusia yang merasa dirinya sempurna. "Akibatnya, perlakuan mereka terhadap kami di bawah standar."
   Ia melanjutkan, "Hampir seluruh sistem tak ramah terhadap difabel. Infrastruktur dan bangunan, termasuk rumah ibadah, tidak akomodatif dan terasa diskriminatif pada kaum difabel. Di sini, orang seperti kami menjadi tontonan, dianggap tak berdaya."
   Persoalan itu menjadi salah satu bahasan dalam Asian People Forum on Defending Rights of Development, di Bangkok, 10-12 Maret 2013. Pertemuan yang diselenggarakan Bank Information Center (BIC) Amerika Serikat itu mengkritisi Safeguard Policies Bank Dunia.
   "Bank Dunia lebih banyak membantu proyek   pembangunan yang justru menutup akses kaum marjinal, melanggar hak-hak mereka, dan semakin memarjinalkannya," ujar Cak Fu yang berangkat sebagai wakil kaum difabel Indonesia.
   Penghargaan kkepada kaum difabel justru ia dapatkan saat menempuh pendidikan lanjutan di Universitas Groningen, Belanda. "Pembimbing saya, Prof Joost Herman, selalu mengantar saya sampai keluar lift untuk memastikan semua baik-baik saja."
   Banyak pengalaman berkesan selama 20 bulan ia belajar di Belanda. "Kalau saya mau keluar kota, telepon stasiun kereta api, kasih tahu jam keberangkatan. Tepat jam itu, gerbong dengan fasilitas khusus tiba. Semua akses mudah dan nyaman," kenangnya.
   Padahal, orangtuanya sempat khawatir ketika dia hendak berangkat ke Belanda. "Ibu takut saya diapa-apain orang. Ibu bilang, itu kan negara bekas penjajah, he-he-he..."

"Nrima ing pandum"

   Cak Fu dilahirkan di Desa Klenderan, Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga guru madrasah. Ia adalah bayi yang sehat, sebelum terserang demam tinggi pada usia setahun. Panasnya turun setelah disuntik, tetapi lalu tak bisa jalan. Sampai usia delapan tahun, ia hanya merangkak.
   Orangtuanya melakukan berbagai upaya, medis dan nonmedis, agar Cak Fu sembuh. "Pernah ada 'orang pintar' nyuruh orangtua kasih saya minum gotri sepeda setiap hari. Dukun lain menyuruh saya minum   pala sampai saya lemas. Ada pula dukun yang mengikat kaki saya dengan kayu dan bambu, digantung di tempat tidur, katanya supaya lurus."
   Cak Fu bisa berjalan ketika main hujan-hujanan dengan sang adik. Tanpa disadari, gandengan adiknya terlepas dan ia tertatih-tatih melangkah. Sang ayah terus menyemangatinya.
   Meski sempat berontak, Cak Fu tak mau meratapi nasib. Perjalanan memaknai konsep Jawa, nrima ing pandum, dalam hidupnya, dimulai. Masa belajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, dikenang sebagai periode paling kritis dalam pergulatan spiritualnya.
   "Itulah masa transisi dari penolakan kondisi difabel ke penerimaan," tuturnya.
   Inspirasi sang kiai tentang konsep syukur yang bersifat dinamis dan progresif mengantar dia memahami konsep nrima ing pandum sebagai penerimaan tulus atas semua anugerah dan karunia-Nya, selalu bergerak maju untuk mencapai keadaan lebih baik dengan keterbatasan.
   "Tubuh yang difabel ini adalah pandum yang diberikan Tuhan kepada sya," tuturnya. "dengan kondisi fisik seperti ini, saya berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup, berbagi dengan sesama, bekerja menafkahi keluarga, berkarya untuk membantu mewujudkan kebahagiaan orang lain, dan beribadah untuk memelihara rasa syukur atas karunia-Nya."

Penuh berkah

   Dari pesantren, Cak Fu memutuskan kuliah. "Banyak suara yang bilang, orang normal lulus sarjana belum tentu bisa kerja, apalagi cacat. Ayah saya bergeming."
   Saat kuliah, Cak Fu aktif dalam organisasi kaum difabel, banyak ikut pertemuan dan pelatihan yang kaadang diadakan di hotel mewah. "Namun, naik pesawat pertama kali, ya, waktu ke Belanda," ungkapnya.
   Kesempatan mendapat beasiswa yang memberi akses studi lanjutan ke luar negeri-setelah melamar berbagai program beasiswa tetapi ditolak karena cacat-dia dapat dari pengumuman di televisi.
   "Ibu Irid Agoes dari The Indonesian International Education Foundation, IIEF, menjelaskan tentang program beasiswa IFP,"kenang Cak Fu.
   "Beasiswa itu berbeda," ujarnya. "Prinsipnya, memperluas akses ke perguruan tinggi, khususnya bagi kelompok yang aksesnya ke pendidikan lanjutan sangat kecil, menjunjung nilai keberagaman dan mengembangkan pengetahuan yang menuju pada keadilan sosial."
   Cak Fu lalu menulis surat ke IIEF,menceritakan tentang keluarganya, kondisinya, aktivitasnya, dan cita-citanya. "IIEF merespons dengan mengirim formulir pendaftaran. Setelah melalui beberapa tes, saya lolos."
   Beasiswa itu membuka banyak akses untuk menerjang keterbatasan. "Tuhan Mahaadil. Justru karena cacat, saya sampai pada kondisi sekarang."
   Cak Fu yang hobi membaca, berkebun, traveling, dan tekun mendalami teologi kecacatan itu terus aktif dalam upaya pemberdayaan dan perjuangan hak-hak kaum difabel. Ia juga menjadi konsultan pada program disabilitas dan rehabilitas Netherlands Leprosy Relief.
   Didampingi istrinya, Ulfa Azimatul Khoitiyah, dan putri mereka, Ameera Ayesa (2,5), Cak Fu merasakan hidup yang penuh. "I'm so blessed," gumamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 MARET 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar