Kamis, 10 Desember 2009

Sarni, berbuat untuk contoh

SARNI
Lahir : Magetan, 19 Juni 1953
Pendidikan : SD Negeri Bulugunung, Plaosan Magetan
Alamat : Dusun Claket, Bulugunung, Plaosan, Magetan
Istri : Kasi
Anak : 2 orang
Penghargaan : 1. Kalpataru bagi Pengabdi Lingkungan (5 Juni 1998)
2. Tanda Kehormatan Karya Satya Lencana Pembangunan ( 5 November 2009)

Oleh : A. PONCO ANGGORO

"Ojo ngomong tok (jangan ngomong saja), tunjukkan dengan perbuatan. Dengan begitu orang akan mengikuti."
Inilah prinsip Sarni saat menjaga kelestarian Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dan sumber air di lereng Gunung Lawu sejak 29 tahun silam.
Prinsip itu tanpa dinyana mampu menggerakkan warga yang tinggal disekitar Telaga Sarangan lebih peduli akan kelestarian lingkungannya.
Bukan itu saja, Sarni pun menerima dua kali penghargaan dibidang lingkungan. Pertama penghargaan Kalpataru Bidang Pengabdi Lingkungan yang diserahkan oleh Presiden BJ. Habibie (1998), Kedua, Sarni menerima tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang diserahkan oleh Wakil Presiden Boediono sebagai penghargaan atas konsistensinya menjaga lingkungan hidup setelah menerima Kalpataru sebelas tahun silam.
"Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya yang hanya lulusan sekolah dasar bisa ketemu pejabat-pejabat penting di Indonesia," tuturnya.
Kiprah Sarni sebagai pelestari lingkungan disekitar Telaga Sarangan dan sumber-sumber air yang airnya masuk ke telaga tujuan wisata utama di Kabupaten Magetan itu dimulai tahun 1980. Saat itu dia menjadi tenaga harian di Dinas Pengairan Magetan.
Tugasnya berat. Untuk menuju Sarangan, dia harus berjalan kaki 8 kilometer dari rumahnya di Dusun Claket, Desa Bulugunung, Kecamatan Plaosan, Magetan. Saat itu belum ada angkutan umum atau kendaraan bermotor lainnya.
Setelah di Sarangan, dia harus berjalan kaki lagi sejauh 2,5 kilometer menyusuri saluran air dari sumber-sumber air di lereng Gunung Lawu ke sarangan. Tugasnya menjaga kondisi saluran air.
Pekerjaannya ini masih dilakoninya meskipun pada tahun 1985, Sarni telah diangkat menjadi penjaga pintu air di Telaga Sarangan, bahkan sampai pensiun sebagai penjaga pintu air pada Juli 2009.
Tugas itu membuatnya sering berinteraksi dengan warga di sekitar Telaga Sarangan. Maklum saja karena mayoritas warga bekerja sebagai petani membutuhkan pasokan air dari telaga Sarangan untuk mengairi tanamannya.
Sebaliknya Sarni sangat membutuhkan warga saat longsor menutup saluran air menuju ke Sarangan. "Longsor ini sering terjadi setiapkali musim hujan, tidak mungkin saya sendiri membersihkan longsoran itu," ujarnya.
Dari seringnya interaksi itulah dia memulai mengajak dan menyadarkan warga akan pentingnya menjaga kelestarian Telaga Sarangan.
Mereka bekerjasama membersihkan saluran air peninggalan Belanda yang posisinya berada di bawah tanah, Ada dua titik saluran yang seperti ini, masing-masing memiliki panjang 30 meter dan 20 meter, tinggi saluran ini sekitar 2 meter.
Saat itu tidak ada satupun orang yang berani masuk karena gelap, padahal pembersihan kedua titik saluran air ini penting untuk mengembalikan volume air yang masuk ke telaga yang kala itu berkurang banyak.
"Saya lalu masuk sendiri kesaluran itu dan memasang sepuluh lampu didalamnya, saya sambungkan lampu-lampu itu dengan tiang listrik terdekat agar bisa menyala," katanya. Setelah kondisi saluran terang dan terlihat saluran tertutup oleh bebatuan, sampah kayu dan pasir, barulah warga mau membantu Sarni membersihkannya.
Sisihkan uang panen
Selanjutnya, dia mulai menyadarkan warga akan pentingnya membenahi saluran air menuju areal pertanian warga. Saluran air yang sebelumnya hanya terbuat dari tanah membuat air sering merembes keluar saluran. Volume air yang sampai ke pertanian pun tidak cukup memenuhi kebutuhan.
"Setiap panen, mereka mau menyisihkan uang untuk membangun saluran agar disemen. Butuh waktu lima tahun untuk melapisi seluruh saluran dengan semen," katanya. Saluran ini panjangnya sekitar 2 kilometer sampai dengan 3 kilometer.
Begitu pula pemasangan selang dan paralon dari sumber air ke permukiman warga di Desa Sarangan dan Ngancar. "Warga juga mau menyisihkan uangnya agar pasokan air bersih kedesanya lancar," ujarnya.
Kemudian, tahun 2007, dia juga memotivasi warga agar membatasi penggunaan air dengan menggunakan sprinkler. Dengan penggunaan alat ini, air untuk mengairi 1 hektar tanaman sayuran, mayoritas tanaman yang ditanam di sekitar Sarangan, cukup 600 liter, padahal jika menggunakan saluran irigasi, air yang terpakai seringkali berlebihan hingga sampai 1.000 liter untuk setiap 1 hektarnya.
Tidak hanya itu, dia mengajak warga untuk menanm bibit pohon di sekitar Telaga Sarangan dan empat sumber air besar yang memasok air ke telaga, tak lain untuk menjaga lingkungan tetap lestari sehingga air yang begitu penting untuk penghidupan warga itupun tetap lestari.
Bibit-bibit pohon ini dibuat Sarni sendiri memanfaatkan botol air kemadan plastik yang sering ditemukannya di saluran air ataupun di sekitar telaga. "Saya sengaja memungut botol-botol bekas itu untuk dijadikan tempat bagi bibit pohon," ujarnya.
Cara membuat bibit-bibit pohon memanfaatkan botol kemasan plastik ini lalu ditularkan Sarni kepada Warga lainnya sehingga sekarang banyak warga yang menjual bibit pohon untuk menambah penghasilan mereka.
Selain memungut sampah plastik, sampah-sampah non plastik yang sering dipungutnya di saluran air dan sekitar telaga pun diolah. Sampah-sampah ini diolahnya menjadi pupuk kompos dicampur dengan kotoran ternak. Sama seperti cara pembuatan bibit pohon, Sarni menularkan cara pembuatan pupuk ini kepada warga lainnya.
"Tanah menjadi lebih subur dan produksi tanaman warga meningkat setelah menggunakan pupuk tersebut," katanya.
Seluruh upaya ini bisa berhasil setelah dirinya sendiri ikut menerapkannya. Tanpa itu, dia yakin tidak akan bisa mengubah warga. "Kalau tidak ada contoh, orang lain tidak akan mau mengikutinya," ujarnya.
Sekarang setelah dia pensiun dari pekerjaannya dan memperoleh sejumlah penghargaan atas apa yang dilakukannya, dia tidak berhenti untuk mengajak warga menjaga lingkungannya dan tentunya membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Saat ini, dia sedang berupaya mengolah kotoran ternak di desanya menjadi biogas. Mengubah kotoran ternak menjadi biogas ini diketahuinya saat dia menghadiri peringatan Hari Lingkungan Hidup di Malang beberapa tahun lalu.

Dikutip dari KOMPAS, Senin 7 Desember 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar