Senin, 14 Desember 2009

Susi dan Mimpi Hijaukan Pulau Sabu

SUSILAWATI CICILIA LAURENTIA
Lahir : Wirosari, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, 4 September 1958
Pendidikan : - S-1 Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang
- S-2 Teknik Hidrologi dan Lingkungan Universitas Delft, Belanda
- S-3 Teknik sipil Universitas Katolik Parahyangan
Pekerjaan :
- Biarawati
- Dosen Unika Widya Mandira, Kupang
- Pernah mengajar di Politeknik Undip dan Unika Soegijapranata, Semarang

Oleh YULVIANUS HARJONO

Ketika dilangsungkan sidang promosi doktor di Kampus Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Agustus lalu, Guru besar Unpar, Robertus Wahyudi Triweko, berkata kepada Susilawati ,"ketika kembali ke Kupang, anda akan menjadi orang yang langka. Menjadi elite diantara ahli-ahli SDA (sumber daya manusia) Indonesia,"
Tidak banyak elite ilmu pengetahuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini, Data dari Forum Akademia NTT menunjukkan, hingga akhir 2008 tercatat hanya 93 doktor yang pernah dan masih berdomisili di NTT, namun, hanya satu atau dua diantaranya yang berlatar belakang bidang keteknikan (engineering).
Dosen di Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang ini menaruh perhatian besar pada persoalan kekeringan yang kerap terjadi di kawasan terpencil Pulau Sabu dan Raijua, NTT.
Disertasinya, Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada pulau kecil di Kawasan Kering Indonesia, dalam sidang promosi doktor di Unpar ditujukan untuk membantu mengatasi kekeringan yang menjadi momok bagi warga Sabu dan Raijua.
Sebagai seorang Biarawati, tidaklah mudah bagi suster ini untuk meraih pencapaian seperti sekarang. Dari 116 biarawati dan pernah berkarya di Ordo PI, Susi adalah orang kedua yang bergelar doktor, namun ia satu-satunya yang memiliki latar belakang keilmuan dibidang teknik.
Latar belakang yang unik dan tidak biasa di kalangan biarawati inilah yang membuat dia terus mengalami pergumulan batin yang hebat. Pada 1981, ketika masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), ia masuk ke PI untuk memenuhi "panggilan " hidupnya. Niatnya ini sempat ditolak keras oleh orangtuannya
Hal inipun berimbas pada statusnya yang mengambang di PI saat itu."Pada tahun 1983, saya diterima mengajar di Politeknik Undip. Status di PI masih tidak jelas, tetapi juga tidak dikeluarkan. Namun, dua tahun berikutnya saya pun memilih berhenti mengajar dan Full di biara," ucap wanita yang biasa disapa Suster Susi ini.
Pada 1994, Susi kembali kedunia akademis, mengajar di Unika Soegijapranata, Semarang, atas tawaran langsung dari Paulus Wiryono T SJ yang ketika itu menjabat Rektor (sekarang Rektor Unika Sanata Dharma, Yogyakarta). Disini ia mendapat beasiswa S-2 ke Universitas Delft, Belanda.
"Awalnya tidak dibolehkan oleh provinsial (PI), tapi akhirnyanya diizinkan juga setelah provinsial diyakinkan oleh beberapa pihak," ucapnya. Tahun 1996 iapun berangkat ke Belanda. Pada tahun 1998 ia kembali ke Indonesia, yaitu Timor Timur, untuk mengerjakan tesisnya di bidang hidroteknik.

Timor Timur

Di kawasan pengungsi Weberek, Timor Timur, ia mencoba mengembangkan sistem irigasi untuk lahan tidur yang banyak terdapat disana. Belum sempat terealisasi, disana terjadi insiden mencekam, yaitu bentrokan antara TNI dan gerilyawan Falentil yang membuat ia terpaksa harus pergi dari wilayah itu.
Sejak 2002 Susi memilih pindah bertugas di Kupang, setelah mengetahui Ordo PI membuka cabang baru disana. Di daerah ini ia menyadari bahwa potensinya sebagai biarawati sekaligus ilmuwan bisa difungsikan maksimal.
Untuk mengasah ilmu hidrotekniknya, selain ke Belanda, dia juga berkunjung ke Malang Jawa Timur dan Bandung Jawa Barat, Sejak 2006 ia kerap bolakbalik Kupang-Sabu dan Raijua untuk mengembangkan risetnya, bersamaan dengan mengambil program doktor di Unpar.
Saat berkeliling di Pulau Sabu, ia terenyuh melihat kondisi masyarakat setempat yang kebutuhan pangannya bergantung kepada daerah lain. Karena tanah yang tandus dan ekstremnya kondisi cuaca, dimana kekeringan bisa terjadi disepanjang tahun, tanaman pangan yang banyak membutuhkan air seperti padi dan jagung sangat sulit tumbuh disana.
"Yang ada hanyalah pohon lontar dan beberapa palawija seperti sorgum dan kacang hijau, tetapi tidak jarang warga gagal panen karena kekeringan," ucap biarawati yang lebih memilih berpakaian kasual saat berada diluar biara ini.
Kondisi wilayah yang sulit dijangkau kian memperberat kondisi ekonomi warga setempat. Dari Kupang ke Sabu butuh waktu perjalanan 15 jam dengan feri, itupun hanya ada seminggu sekali. Jika sedang musim angin barat dan timur praktis tidak ada transportasi umum karena ombak sangat besar dan berbahaya.
Menyadari beratnya kondisi ekonomi di pulau kecil itu, Susi bertekad mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk meneliti sistem pengelolaan terhadap air hujan untuk pertanian.
Ia mengembangkan konsep pemanfaatan model pengelolaan air hujan untuk pertanian yang terintegrasi dengan sistem prasarana, operasional dan pemeliharaan, kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat dengan sistem informasi manajemen terpadu. Dia meyakini, hanya dengan integrasi ini kekeringan di pulau kecil itu bisa diatasi secara teknis.
Konsep ini sekaligus merupakan penyempurnaan sistem embung (waduk kecil) yang dikembangkan pemerintah daerah setempat selama 20 tahun terakhir. "beberapa embung tidak lagi berfungsi karena penuh dengan sedimen, sementara yang lainnya kosong karena dimensinya tidak sesuai dengan daerah tangkapan hujan." paparnya.

Sentuhan teknologi

Sistem embung yang telah dikembangkan ini juga tidak mendapat dukungan memadai dari masyarakat pengguna, sebab pendekatan pengelolaannya masih bersifat top-down. Dengan kata lain, pengelolaan pemanfaatan air hujan di pulau Sabu-Raijua selama ini dinilainya masih jauh dari sentuhan teknologi, dan yang lebih buruk, pendekatannyapun elitis.
Untuk, itu dalam aplikasi studinya ia memanfaatkan kearifan-kearifan lokal yang telah lebih dahulu tumbuh, misalnya pembuatan jebakan-jebakan air atau cekdam-cekdam kecil berantai serta sumur-sumur gali yang telah digunakan di Desa Daieko yang terletak diujung barat pulau Sabu. Dengan alat berbasiskan data dan sistem informasi yang dikembangkannya dapat ditentukan secara tepat teknis dan posisikeberadaan jebakan-jebakan air. Prasarana semacam ini relatif lebih murah ketimbang membangun embung-embung yang hasilnya belum tentu juga efektif.
Meskipun fisiknya melemah karena harus berjuang melawan penyakit mastitis tuberkulosis, Susi bertekad mewujudkan mimpinya menghijaukan Pulau Sabu-Raijua.

Dikutip dari KOMPAS, Senin 14 Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar