Senin, 25 Januari 2010

Sumadi, Pengusaha Jamban dari Jatikalen

Menjadi sanitarian bukan cita-cita Sumadi, Namun, Sumadi menunjukkan, pengabdian dan totalitas dalam menggauli profesi yang ibarat jatuh dari langit itu mengantarnya menjadi sukses.

SUMADI
Lahir : Nganjuk, 9 Nopember 1970
Pekerjaan : Sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Istri : Winarsih (39)
Anak : Rahma Nur Hayati (12)
Alfina Nur Hanifah (6)
Pendidikan : - SD Sumber Kepuh 1 Nganjuk (1983)
- SMPN Waru Jayeng, Nganjuk (1986)
- SMAN 2 Nganjuk (1989)
- SPPH Surabaya (1990)
- Universitas Adi Buana Surabaya (2004)
Prestasi : 1. Sanitarian terbaik tingkat propinsi dari Bank Dunia (2008)
2. Menjadi pembicara di Water week, Swedia (15 September 2009)
3. Pelestari Lingkungan Tingkat Propinsi Jawa Timur
selama 3 kali berturut-turut (2007-2009)

Oleh DWI AS SETIANINGSIH
Melalui inovasi desain septic tank ciptaannya, Sumadi berhasil menunjukan, jamban tak hanya sekedar "urusan belakang" yang remeh. Namun, lebih dari itu, jamban adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, terutama bagi masyarakat kelas bawah.
Berurusan dengan tinja sudah pasti menjijikan. Tetapi tidak bagi Sumadi yang berprofesi sebagai sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Persoalan seputar tinja bagi sanitarian yang bertugas melakukan pencegahan penyakit masyarakat adalah persoalan penting yang bila tidak ditangani dengan benar bisa menjadi malapetaka.
Sanitasi buruk berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang akhirnya berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat. "kalau mereka sakit-sakitan, uangnya habis dipakai berobat, ya miskin terus." kata Sumadi.
Prihatin dengan rendahnya kesadaran masyarkat menggunakan jamban, Sumadi melakukan survei di Desa Begendeng, Kecamatan Jatikalen, Nganjuk. Begendeng dipilih sebagai sasaran survei karena pola sanitasi msayarakatnya sangat buruk. Desa ini terletak di muara sungai Brantas dan sungai Widas. "Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari," kata Sumadi.
Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain septic tank berbentuk kotak. Saat itu biaya membuat jamban sekitar Rp. 1,6 juta perunit. Sangat mahal bagi warga yang umumnya bekerja sebagai petani dan buruh.
Sumadi kemudian berinisiatif membuat septic tank dengan model silindris. Model silindris lebih cocok digunakan di daerah seperti Jatikalen yang memiliki kontur tanah selalu bergerak.
"Model silindris jauh lebih kuat karena titik tekannya hanya satu, yaitu ditengah, sedangkan model kotak lebih gampang roboh,"jelas Sumadi. Dengan model septic tank silindris, Sumadi mampu menekan harga pembuatan jamban hingga Rp.440.000,-
Meski harganya jauh lebih murah, saat diperkenalkan banyak warga yang masih ragu. Saat itu baru 10 keluarga yang tertarik memesan jamban kepada Sumadi. "Waktu itu saya beri jaminan, kalau dalam waktu lima tahun jambannya ambleg, uang mereka kembali," kata Sumadi.
Jaminan dan harga murah yang ditawarkan Sumdi menarik minat daftar warga. tahun 2003 pesanan jamban Sumadi terus bertambah kesemua kecamatan. Kenaikan harga material hingga dua kali lipat tak membuat pesanan berkurang.
Sukses Sumadi mengkampanyekan penggunaan jamban terus berlanjut. Tahun 2003 desain septic tank ciptaan Sumadi diterapkan pada proyek Stimulan jamban Dinas Kesehatan Nganjuk di lima kecamatan yaitu Jatikalen, Patianrowo,lengkong, baron dan Sukomoro sebanyak 100 unit.

Prinsip pengabdian
Lulus kuliah tahun 2004, Sumadi bertekad melebarkan sayap. Dia tak ingin hanya menjadi sanitarian. Sumadi membuka perusahaan pembuatan jamban bersama dua rekannya dengan nama Karya Sanitasi.
Meski menjadi pengusaha, Sumadi memegang teguh prinsip pengabdian profesi sebagai sanitarian. Misi untuk terus mengkampanyekan penggunaan jamban bagi masyarakat miskin pun tetap dipelihara.
Siasat Sumadi adalah dengan memberikan diskon. Harga jamban yang semula Rp.1,3 juta didiskon hingga Rp.850.000 per unit.
"Saya memangkas keuntungan. Saya kan sudah dapat gaji, ini bagian dari tanggung jawab saya sebagai sanitarian. Tujuan utama saya, masyarakat menjadi sehat," ujar Sumadi.
Bahkan untuk menjangkau masyarakat sangat miskin, Sumadi meluncurkan jamban ekonomis seharga Rp.625.000 dan jamban tumbuh sehat seharga Rp.180.000 - Rp. 260.00. Warga juga bisa mencicil sesuai dengan kemampuan.
Strategi yang dilakukan Sumadi adalah dengan memperkecil kapasitas septic tank dari yang semula 1,3 meter kubik menjadi hanya 0,7 meter kubik. "Yang penting masyarakat pakai jamban," tandas Sumadi.
Hingga menjelang akhir tahun 2009, tercatat 2.600 keluarga di Kabupaten Nganjuk menggunakan jamban buatan Sumadi. Sejumlah wilayah sudah mengantre pesanan seperti Madiun, Jombang, Kediri, Gresik dan ponorogo, termasuk Dinas Kesehatan Propinsi Jatim yang tertarik mengadopsi desain septic tank buatan Sumadi.

Pedagang beras
Sejak kecil Sumadi (39) dididik dan diarahkan orang tuanya, pasangan Jamin dan Sakinem, untuk mengikuti jejak mereka menjadi pedagang beras. Sumadi tak diijinkan meneruskan sekolahnya karena tak ada biaya. "Pokoknya, lulus SMA saya harus jadi pedagang beras," kenang Sumadi.
Sumadi tak bisa berbuat apa-apa. Lahir dan besar dalam keluarga miskin membuat dia harus berkompromi dengan keterbatasan. Sumadi pun terpaksa mencekokkan harga berbagai jenis beras, gabah, rendemen, hingga rumus menghitung untung rugi ke otaknya
Namun Sumadi adalah manusia keras hati. Semangatnya untuk mengubah nasib tak pernah pupus. Nasib rupanya memang tak bisa ditebak. Roda nasib Sumadi yang telah dirancang menjadi pedagang beras justru menggelinding ke tempat yang tak pernah terbayangkan.
Beberapa saat setelah lulus SMA tahun 1989, Sumadi tanpa sengaja melihat pengumuman penerimaan Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH). SPPH adalah sekolah ikatan dinas selama satu tahun untuk mencetak tenaga sanitarian.
Atas restu Jamin dan Sakinem, Sumadi mendaftar ke SPPH. "Bapak akhirnya mengizinkan karena selama satu tahun biayanya hanya Rp.500.000,-,' katanya.
Setahun kemudian, Sumadi lulus dari SPPH. Sumadi kemudian ditempatkan di Samarinda, Kalimantan Timur, selama tiga tahun, Samarinda menjadi laboratorium pertama Sumadi menggeluti profesi sebagai sanitarian.
Tahun 1994, Sumadi kembali ke Nganjuk. Sumadi bertekad mengabdikan seluruh ilmunya di tanah kelahirannya.
Pilihan Sumadi tak salah. Dengan menjadi sanitarian, dia menemukan jalan hidupnya. Semangatnya untuk mengkampanyekan penggunaan jamban masih terus menyala hingga mimpinya tak ada lagi keluarga yang tak memiliki jamban terwujud.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 DESEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar