Kamis, 29 April 2010

Ruang-ruang Cak Tarno

Bagus Takwin, dosen Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, terharu. Ia tak manyangka, saat ia dan rekannya Robertus Robert, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, digelari doktor, November 2009, akan mendapat hadiah kejutan, sebuah buku berjudul Speak-speak Filosofis. Buku itu berisi tulisan rekan-rekan sesama mahasiswa program pascasarjana dan doktoral yang kerap berdiskusi bersama di kios buku milik Cak Tarno (40).
SUTARNO
Lahir : Jatirejo, mojokerto, 16 April 1970
Istri : Erna Hendrayana.
Anak : Lintang Almira Putri Pertiwi.
Pendidikan : SMP Islam Dinoyo, Mojokerto (1987)
Pekerjaan : Wiraswasta
Oleh B JOSIE SUSILO HARDIANTO
Ia tak menyangka, usaha Cak Tarno menyemangati rekan-rekan mahasiswa itu akhirnya membuahkan buku. Bahkan, bersamaan dengan itu, di kios kecil di Jalan Sawo, sebelah stasiun Universitas Indonesia, Margonda, Depok, digelar syukuran kecil. "Kumpul-kumpul, makan bersama, wah, mengharukan," ujar Bagus takwin.
Bagi mereka yang mengenalnya, sosok Cak Tarno dikenal getol, gempita semangatnya, rela memfotocopi makalah agar semua pemikiran bernas yang luruh dari atmosfir diskusi di kiosnya lestari dan dapat dinikmati kembali.
Ketika banyak mahasiswa, juga mereka yang telah memperoleh gelar doktor menyebut namanya sebagai yang turut berjasa dalam proses pendidikan mereka, Cak Tarno mengatakan, dia hanya menjalani fungsinya bagi ilmu pengetahuan. "Terserah bagaimana kemudian orang memaknai itu," ujarnya.
Baginya, perjumpaan melalui diskusi kritis yang terjadi di kiosnya atau saat dia menawarkan buku-buku dagangannya adalh ruang di mana gagasan dicurahkan dengan terbuka, lugas dalam relasi egaliter tanpa dominasi. "itu baik bagi terjaganya sikap kritis para pelaku di dalamnya," ujar Cak tarno.
Karena itu pula ia tidak pernah menjual buku-buku bajakan. Bukan karena royalti yang diterima ppara penuliskecil, melainkan itulah cara dia menghargai jerih payah mereka yang menghadirkan gagasan bermutu melalui tulisan.
Jiwa terbuka
Panggilan "Cak", simbol kultural itu, dengan mudah menunjukan dari mana asal Sutarno. Lahir dari keluarga buruh tani di Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur, tidak pernah membuat Cak Tarno minder. Meskipun hanya lulus SMP, ia tidak pernah merasa terbatas untuk untuk mengenal luasnya dunia ilmu pengetahuan.
Ia mencoba membaca teori-teori kritis dari mazhab Frankfurt; mencoba mengenal Jurgen Habermas, fenomenologi dari Conte, filsafat Proses dari Alfred North Whitehead, Sejarah Umat Manusia dari Arnold Toynbee, hingga Teori Tindakan Komunikatif dari Habermas. Tidak semua buku itu dia baca habis. Sebagian ia kenali dan coba jejaki hanya melalui indeks dan pengantar, semata-mata, dodorong oleh alasan menjual buku-buku karya mereka.Meskipun begitu ia tidak pernah berhasil meredam keterpikatannya pada pemikiran mereka.
Maraknya aktivitas diskusi di kios Galeri Buku Cak Tarno, menurut beberapa mahasiswa, tidak lepas dari upaya Cak Tarno membuka diri pada ilmu pengetahuan, khusunya kajian berbasis humaniora. Contohnya, siang itu, sabtu (17/4) lalu, ketika jalan Sawo ramai lalu lalang mahasiswa, meja di kios Cak tarno ramai dipenuhi orang. Mereka larut dalam diskusi tentang visualisasi sosiologis, menjejaki peran foto dalam pembentukan pemahaman. Cak Tarno ada dalam lingkaran diskusi itu. Ia larut didalamnya.
Ketika diskusi berakhir, Cak Tarno berkata lirih, ia sebenarnya hanya mengenal kulit-kulit pemikiran para tokoh, seperti Pierre Felix Bourdieu, sosiolog dan antropolog Perancis. Konsep pemikiran Bourdieu tentang modal yang dikategorikan, antara lain dalam modal sosial, modal budaya, dan simbolik, menarik perhatiannya.
Perjalanan
Meskipun melihat kehidupan buruh tani sebenarnya tidaklah memprihatinkan, dia enggan menekuninya. Alasannya, pekerjaan itu rentan karena sangat bergantung pada petani pemilik sawah.
Ketika petak-petak sawah di desanya rusak karena penambangan batu dan kemudian menjadi pabrik, Sutarno sudah berada ratusan kilometer dari Jatirejo. Berbekal niat memperbaiki nasib, dia mulai perjalananny. Ia pernah menjadi buruh penarik kabel jaringan listrik tegangan tinggi. Pernah pula menjadi buruh bangunan, sebelum akhirnya pada tahun 1997 menjadi pembantu penjual buku di kaki lima Jalan Margonda, Depok.
Salah satu tugasnya menyusuri lapak-lapak barang bekas dari Depok Lama hingga Pasar Minggu untuk mencari buku bekas layak jual. "Honornya Rp.90.000,- perbulan," kata Cak Tarno.
Beragam buku wajib bagi mahasiswa, termasuk versi bajakan dijualnya kala itu. Buku wajib dalam bidang ekonomi dan manajemen adalah yang paling laku.
Ketika banyak pedagang buku menawarkan tema-tema serupa dan pasarpun banjir, Cak Tarno berpikir keras untuk mempertahankan usahanya. Pilihannya jatuh pada buku-buku sosiologi, antropologi, politik, budaya hingga filsafat. Itulah celah yang menurut dia, tidak digemari para pedagang lain.
Tentu yang pertama ia tuai adalah kesulitan karena pasarnya kecil. Namun, ia memutuskan untuk menggeluti. "lagi pula au tertarik dengan tema-tema itu," ujarnya.
Justru pilihan itulah yang mempertemukan dia dengan dunia keilmuan serta ruang-ruang diskusi yang inspiratif. Awalnya, ia hanya mencoba membantu mahasiswa memperoleh referensi yang cocok dengan kajian yang tengah mereka geluti. "Pustaka Loka" pada harian Kompas dan "Ruang baca" pada harian Koran Tempo menjadi sumber acuan pencariannya.
Prinsipnya, khusus untuk permintaan buku berbasis ilmu-ilmu humaniora, ia berupaya tidak pernah mengatakan tak ada. Dari situ ia kemudian tahu buku-buku apa yang sesuai dengan penelitian Si A, atau yang cocok dengan kajian Si B. Ujungnya, ia menjadi rujukan banyak mahasiswa dan dosen dalam memperoleh buku referensi.
Ruang diskusi
Komunikasi yang terbuka itu pula yang membuat kios Cak Tarno menjaadi ruang terbuka untuk berdiskusi. Bermula dari wacana tentang karikatur Nabi Muhammad pada 2005, kios buku Cak Tarno menjadi tempat nyaman bagi mahasiswa untuk mendialogkannya. Itulah awal lahirnya kelompok diskusi yang oleh beberapa orang disebut Cak Tarno Institute (CTI).
Dalam perkembangannya, banyak mahasiswa program magister dan doktoral menggunakan CTI untuk mengkaji tesis mereka sebelum diujikan di depan guru besar. Meskipun untuk itu ia mengaku kerap nombok biaya fotokopi materi diskusi.
'Enggak apa-apa, demi ilmu pengetahuan," ujarnya.
Beberapa waktu lalu, memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur, sekaligus 5 tahun CTI, Cak Tarno mengundang Adhie Massardi, Dr Bagus Takwin, dan Khotibul Umam menjadi panelis dalam diskusi di CTI. "Mereka bersedia datang, meskipun gratis. Banyak yang hadir," kata Cak Tarno.
Apakah ia akan terus menjalani usaha itu? Masa depan, tuturnya, adalah ruang-ruang kosong. Terserah nanti akan diisi apa.
Dikutip dari Koran KOMPAS, JUMAT, 30 APRIL 2010

Rabu, 28 April 2010

Endang, Tetap Setia pada Udang

Kegagalan memelihara udang windu di tambak tidak menjadikan Endang Firdaus patah arang. Ia pulang ke kampung halamannya di Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, an mulai membudidayakan udang. kali ini bukan udang windu, tetapi udang galah. Penghasilan dari menjual udang galah inilah yang selama tujuh tahun terakhir menghidupi Endang dan keluarganya.
ENDANG FIRDAUS
Usia : 53 tahun
Pendidikan : - SD di Rajapolah, Tasikmalaya
- SMP di Rajapolah, Tasikmalaya
- SMAN 2 Tasikmalaya
- Jurusan biologi FMIPA Unpad
Istri : Eti Lenawati
Anak : - Fiddy Semba Prasetya (26)
- Firman Darmawan (21)
Oleh ADHITYA RAMADHAN
Selma tujuh tahun terakhir, pria lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut menekuni budidaya udang galah. Jika tujuh tahun lalu ia memulai usaha udang galah sendirian, kini sudah ada sedikitnya 30 orang warga Tasikmalaya yang mengikuti jejak Endang. Mereka tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Udang Galah Biotirta.
Saat ini, kelompok yang diketuai Endang itu setiap pekan menghasilkan 1,5 kuintal udang galah konsumsi ukuran 30 ekor perkilogram dari total kolam sekitar 5 hektar. Hasil panen mereka jual ke sebuah restoran di Jakarta dengan harga Rp.63.000,- perkilogram hidup.
"Saya senang melihat rekan yang lain bisa mendapat penghasilan yang lumayan besar dari menjual udang. Dibandingkan dengan ikan, harga jual udang jauh lebih tinggi," katanya.
Kapasitas produksi kelompok Biotirta itu masih belum mampu memenuhi permintaan restoran langganannya, yakni 3 kuintal perminggu. Kualitas benih yang kurang bagus menjadi salah satu kendala utama.
Ia berharap pemerintah menyediakan benih berkualitas bagus sehingga produksi udang galah bisa meningkat. Peningkatan produksi ini penting artinya bagi Endang dan kelompoknya, terlebih sejumlah hotel dan restoran di Bandung sudah menjajaki kemungkinan membeli udang galah dari kelompok Biotirta.
Kiprah Endang membudidayakan udng galah telah memberikan efek positif bagi para anggota kelompok yang tersebar disejumlah kecamatan.
Endang tidak keberatan berbagi ilmu dengan warga atau pembudidaya yang berniat memelihara udang. Dia tidak merasa tersaingi seandainya nanti semakin banyak pembudidaya yang memelihara udang galah. Justru, ayah dua anak ini bahagia karena ilmunya telah dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
Ketekunannya membudidayakan udang galah itu diapresiasikan Pemerintah Provinsi Jawa barat dengan memberikan penghargaan Kelompok Berprestasi I bagi Kelompok Budidaya Udang galah Biotirta tahun 2008.
Diawali kegagalan
Kiprah endang membudidayakan udang berawal tahun 1987. Ketika itu, dia baru l dua tahun lulus kuliah jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unpad, Bandung. Pada tahun itu, dia diterima di sebuah perusahaan tambak di wilayah Cirebon. Semula ia akan ditugasi di laboratorium mengingat fokus ilmunya semasa kuliah pada kualitas air, Namun, perusahaan yang diharapkan Endang bisa memberikan jaminan kesejahteraan dan kenyamanan kerja ternyata jauh dari harapan.
Endang muda yang menyandang gelar sarjana itu ditugasi memelihara udang di tambak, seperti halnya petani lain, dia hanya bertahan beberapa bulan, kemudian berhenti bekerja.
Keluar dari kerja, Endang memilih memulai usaha membuka tambak sendiri dengan menyewa lahan seluas tiga hektar. Lima tahun lamanya, sejak 1987 hingga 1992, dia mencoba berusaha di bidang pertambakan udang windu.
Dalam perkembangannya banyak yang tergiur dengan keuntungan membudidayakan udang windu. Tidak sedikit petani yang membuka lahan tambak. Akibatnya, persaingan semakin ketat dan yang paling parah adalah rusaknya lingkungan pesisir karena tambak.
Kondisi yang tidak menguntungkan itu memaksa Endang pulang ke Tasikmalaya, kampung halamannya. Di Tasikmalaya ia membudidayakan ikan meskipun tetap ingin memelihara udang lagi seperti ketika di Cirebon. namun, yang dikembangkan bukan udang yang hidup di air payau, melainkan udang yang dipelihara di air tawar.
Endang pernah memelihara udang galah dengan sistem maklun. Dia memelihara udang galah milik orang lain di kolamnya. Semua kebutuhan pakan dipenuhi oleh orang tersebut. Hasil panen dijual kepada pemilik tambak dan Endang menerima bagian dari hasil panen itu.
Empat bulan dengan sistem maklun dengan hasil panen 25 kilogram dia hanya mendapat bagian Rp.400.000,- setiap kilogram udang galah hanya dihargai Rp.8.000,- padahal Endang tahu bahwa harga udang galah di pasar jauh lebih mahal.
Posisi tawar
Setelah pengalaman tidak mengenakkan itu, dia mencoba sendiri membudidayakan udang galah. "Saat itu, sulit sekali mencari informasi tentang bagaimana membudidayakan. Baru pada tahun 2003, setelah saya maklun dengan orang lain, saya mendapat informasi bagaimana memelihara udang galah. Sejak saat itulah saya memberanikan diri memelihara sendiri," katanya.
Bermodal Rp.450.000,- dan kolam seluas 1.400 meter persegi, Endang mulai membudidayakan udang galah. Dia sadar selalu saja ada tantangan ketika memulai usaha. Namun, bukan Endang jika menyerah begitu saja pada tantangan.
Tantangan itu, misalnya, ia terpaksa harus membawa sendiri benih udang galah dari Pamarican, Ciamis, sejauh sekitar 70 kilometer menggunakan sepeda motor hanya gara-gara penjual benih tidak mau mengantar benih pesanan Endang karena jumlahnya yang hanya 10.000 ekor.
Satu pengalaman berharga bagi Endang ialah ketika dia bingung menjual udang hasil panennya. Dengan keterbatasan informasi pasar, ia membawa udang galah miliknya ke restoran makanan laut di Pangandaran, Ciamis. Disana udang galah itu dibeli dengan harga rendah karena berbagai alasan. Sementara Endang tidakmungkin membawa pulang udangnya.
"Waktu itu saya sakit hati. Sudah bobotnya susut banyak, pembeli di sana memberi harga rendah. Itu pelajaran barharga bagi saya," ujar Endang.
Keputusannya membudidayakan udang galah pernah dicemooh warga sekitar. Mereka menganggap usaha udang galah tidak bakal untung. Tetapi setelah melihat hasilnya yang menguntungkan, banyak diantara mereka yang kemudian belajar cara budidaya udang galah pada Endang. Diapun dengan hati lapang menerima mereka.
Semua pengalaman itu sangat berharga. Kini Endang telah berani menempatkan diri sebagai pembudidaya yang punya posisi tawar dihadapan pembeli. Ia akan menahan udang jika harga dari pembeli terlalu rendah. Apalagi, dia yakin pasar udang galah masih terbuka luas. Karena itu, Endang senang jika ada petani yang mengikuti dirinya membudidayakan udang galah dan ikut merasakan keuntungannya.
dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 APRIL 2010

Senin, 26 April 2010

Sarno, "Dokter Kincir" Cilongok

Masih lekat di benak Sarno Ichwani (51), gelapnya malam di kampungnya, Dusun Kali Pondok, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, pada tahun 1980 an. Kalaupun ada terang, hanya nyala lampu minyak atau sentir sebagai penerang 29 rumah di dusun yang berada di lereng barat daya Gunung Slamet kala itu.
SARNO ICHWANI
Lahir : Banyumas, 19 September 1958
Pendidikan : SD Negeri Karanggondang (sampai kelas IV)
Istri : Tuminah
Anak : 3
Pekerjaan : Petani
Oleh M BURHANUDIN
Namun, sejak usaha Sarno tak kenal lelah memperkenalkan kincir air sebagai pembangkit tenaga listrik sederhana, Dusun Kali Pondok kini pun menyala kala malam tiba. Bahkan , pada saat di banyak daerah termasuk di Ibu kota Jakarta- masyarakat dibuat jengkel dengan pmadaman listrik bergilir oleh PLN, listrik di Dusun Kali Pondok tetap menyala 24 jam.
Sebagai dusun yang terletak di lereng gunung, Kali Pondok memiliki banyak aliran sungai. Hampir semuanya mengalir di tebing-tebing curam. bahkan ada 10 air terjun di sekitar dusun ini yang ketinggiannya rata-rata diatas 10 meter, selain puluhan grojogan sungai. Salah satunya adalah curug Cipendok yang sekarang menjadi obyek wisata ternama di Banyumas.
Di Desa Karang Tengah, khususnya Dusun Kali Pondok. terdapat banyak potensi pengembangan listrik kincir air atau mikrohidro. Saat ini terdapat sekitar 30 kincir air sederhana milik warga, yang menjadi sumber listrik bagi 59 keluarga di kampung yang berada di ketinggian 800 meter diatas permukaan laut itu.
Satu kincir air dapat menyuplai 2-4 rumah dengan daya antara 400 watt sampai 900 watt. Kincir-kincir itu kini juga menjadi sumber listrik bagi sejumlah penginapan di obyek wisata Curug Cipendok.
Kestabilan aliran sungai-sungai dari lereng Gunung Slamet sepanjang tahun membuat kincir air selalu berputar. Listrik pun dapat dinikmati warga secara gratis selama 24 jam penuh.
Sebenarnya Dusun Kali Pondok bukan satu-satunya pedusunan di Banyumas, khususnya di lereng Gunung Slamet, yang mengembangkan kincir air sebagai sumber listrik. Di sejumlah dusun di keccamatan Kedung Banteng dan Baturaden, hal tersebut juga dikembangkan.
Akan tetapi, di Dusun Kalipondoklah teknologi alternatif sederhana ini masih terus berkembang. Di dusun-dusun lain telah mulai surut seiring mengecilnya debit air sungai dari tahun ke tahun.
Namun, kemudahan itu tak datang dengan sendirinya. Menjaga agar limpahan aliran sungai tetap stabil juga bukan pekerjaan mudah.
Dusun Kali Pondok sebenarnya relatif baru. Dusun yang terletak sekitar 20 kilometer arah barat laut Kota Purwokerto itu baru dihuni tahun 1970 an. Kala itu sebagian besar wilayah dusun ini masih berupa hutan dibawah pemangkuan Perhutani.
"Waktu itu baru ada 20 keluarga. Rumah-rumahnyapun beratap lalang, jalannya masih setapak dan penerangannya hanya lampu sentir, jadi gelap sekali," tutur Sarno.
Sempat dicibir
Hingga tahun 1987, saat jumlah penghuninya 30 keluarga, keadaan tak banyak berubah. "Dulu, sebelum ada kincir air kami pernah mengajukan penyaluran listrik ke PLN, itu sekitar tahun 1987. Tapi, bertahun-tahun ta pernah direalisasi karena memang lokasi dusun kami di atas lereng dan sulit dijangkau," kata Sarno, yang dipercaya sebagai Ketua RW setempat.
Ketiadaan listrik itu membuat potensi wisata Curug Cipendok di dusun tersebut pun terpendam. Kehidupan masyarakat pun juga sangat sederhana, apalagi untuk sampai kepusat desa terdekat mereka harus berjalan kaki 2 kilometer karena tak adanya angkutan serta sulitnya medan.
Hingga suatu ketika pada tahun 1989, Sarno bertemu dengan temannya, Jono, asal desa Semaya Kedungbanteng yang memperkenalkan teknologi kincir air. Di Semaya, kincir air lebih dahulu dikembangkan sebagai sumber listrik.
Sarno lalu pergi ke Pasar Wage di Purwokerto untuk membeli dinamo bekas motor honda CB, dua balok magnet, kabel kumparan, tali karet hitam dan kabel penghantar arus.
"Waktu itu saya belanja habis Rp.100.000,-, lalu saya rangkai dengan roda kayu pemutar yang berjari-jari 50 sentimeter dan roda kecil berjari-jari 20 sentimeter," kata Sarno.
Maka, jadilah kincir air percobaaan Sarno, yang sekolah dasar saja tidak lulus itu. Kincir air itu ditempatkan pada di tengah arus hulu sungai Wadas. Pada percobaan pertama itu Sarno gagal, dia tak mendapatkan arus listrik.
Berhari-hari lamanya Sarno mencoba dan terus mencoba membuat kincir membuat kincir air itu berfungsi. Usahanya ini pada awalnya dicibir tetangganya. Tak ada bekal pendidikan memadai yang dimiliki Sarno. Selain itu, kincir air sebagai sumber listrik juga dianggap sesuatu yang mustahil bagi warga dusun Kali Pondok yang hampir semuanya petani itu.
Hingga suatu ketika Sarno berhasil membuktikan, kincir airnya menghasilkan arus listrik. Sejak saat itu rumahnya menjadi terang oleh listrik.
Satu persatu tetangganya meminta dibuatkan kincir air. dengan senang hati Sarno membuatkannya, gratis. Hingga akhirnya kini ada 30 kincir air di desa itu sebagai pembangkit mikrohidro.
Seiring hadirnya listrik, Dusun Kali Pondok pun mulai menggeliat. Investor mulai melirik pengembangan wisata di Curug Cipendok. Jalan beraspal di dusun ini. Warung-warung dan industri rumah tangga bermunculan.
Setiap ada kerusakan pada kincir air, Sarno lah yang pertama dipanggil warga untuk memperbaiki. Dengan senang hati dia selalu melakukannnya, tanpa memungut biaya. tak heran, para tetangga menyebutnya "dokter kincir". "yang penting dusun ini tak kekurangan cahaya, saya sudah bahagia," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini.
Menjaga lingkungan
Sarno sadar, keberadaan pembangkit listrik mikrohidro dikampungnya sangat bergantung pada aliran sungai -sungai yang bersumber dari hutan di lereng Gunung Slamet. Kerusakan hutan akan membuat sungai-sungai itu surut airnya. Otomatis, malam yang suram bakal kembali terjadi di Kali Pondok.
"Desa-desa lain di lereng Gunung Slamet yang dulu pakai kincir air sebagai listrik banyak yang mulai surut. Debit air sungainya turun karena sebagian hutannya mulai dirusak," kata bapak tiga anak ini.
Kesadarn itu yang membuat SArno mengajak warga dusun Kali Pondok untuk tak lelah turut menjaga kelestarian hutan di lereng Gunung Slamet, khususnya diatas dusun ini.
Sarno seringkali mengajak warga sekitarnya untuk menanami kembali lahan yang telah digunakan untuk bercocok tanam dengan tanaman keras. Dengan cara itu, air tetap tersimpan di bumi Kali Pondok.
Satu harapan Sarno adalah adanya perhatian pemerintah untuk pengembangan teknologi yang lebih baik bagi pengembangan listrik mikrohidro di sekitar Kali Pondok. Dia yakin, dengan potensi berlimpah tak hanya Kali Pondok yang bersinar terang, tetapi juga listrik bertenaga air itu pun akan dapat menerangi satu kecamatan di Cilongok, bahkan Banyumas bagian barat.
dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 NOVEMBER 2009

Senin, 19 April 2010

M Yuli dan Kaus Bordir Batik Kauman

Beberapa tahun terakhir Kota Solo menggeliat. Berbagai perhelatan budaya tingkat internasional diselenggarakan untuk memancing kedatangan lebih banyak wisatawan. Muhammad Yuli melihat ada peluang dari geliat ini. Ia lantas menciptakan suvenir khas Solo dengan mengawinkan kaus kasual dan jarik batik tradisional.
MUCHAMMAD YULI
Lahir : Solo, 26 Juli 1973
Istri : Titik Rahayuningsih (37)
Anak : 1. Amalia Azahra (10)
2. Ahmad Irvan (3,5)
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (1997)
Penghargaan : Juara II Lomba Kriya, Kelompok Sadar Wisata Kota Solo (2009)
oleh ANTONY LEE
Batik kaus kini menjadi suvenir khas bagi wisatawan yang berkunjung ke Solo. Jika orang menyebut batik kaus, maka sebagian besar toko batik di kawasan Kauman, Kota Solo, Jawa Tengah bakal menyebut "Rym"
Nama itu menunjuk sebuah ruang pajang di Jalan Wijaya Kusuma. Lokasinya sedikit masuk gang yang hanya bisa dilintasi satu mobil. Di ruang pajang mungil berukuran 3x4 meter itu, Muchammad Yuli menelurkan kreasi suvenir khas Kota Solo.
Di ruang itu tergantung beberapa contoh kaus berbatik dengan balutan bordir rapat. Kaus berbahan dasar putih atau hitam bergambar bordir dengan berbagai tema yang sangat lokal Solo. Pada sebagian motif itu terselip potongan batik. Sebagian bertema tokoh pewayangan seperti Punakawan, Arjuna dan Bima, yang dibordir seperti sedang menggunakan kain motif batik.
Adapula bordir motif andong atau becak yang diberi batik. Selain itu, juga ada tema musik tradisional Solo yang menggambarkan empat orang memainkan gamelan dengan menggunakan celana batik serta alat-alat musik yang berbalut batik pula. "Kekuatan kami terletak pada desain dan teknik pembuatannya yang berbeda," tutur Yuli, awal Maret lalu.
Awalnya Yuli membuat gambar kasar secara manual, kemudian ia menuangkannya dalam program desain menggunakan komputer. Bahan baku itu kemudian dibawanya ketukang bordir. Namun ada teknik khusus yang digunakannya.
Yuli meletakan potongan besar kain jarik batik dibagian bawah kaus untuk dibordir bersama. Setelah itu baru kaus dipotong agar motif batik yang berada di bagian bawah kaus terlihat. Teknik ini membuat batik terlihat sangat menyatu dengan bahan dasar kaus, seperti batik yang ditorehkan langsung di atas selembar kain katun lembut.
Tujuh kali gagal
Yuli menuturkan, upaya menggali teknik itu bukan hal mudah. Dia mengaku sampai tujuh kali mencoba dan gagal. Pernah ia mencoba teknik menempelkan potongan batik keatas kaus, tetapi hasilnya tak maksimal karena tidak bisa menghasilkan bentuk yang butuh presisi dan detail.
Diapun terus mencoba berbagai cara. Akhirnya upaya pantang menyerah dan mau terus mencoba itu terbayar. Kini, kaus itu sudah merambah sejumlah daerah di luar Solo, seperti Jakarta, bahkan hingga Sumatera dan Kalimantan.
Sebagian besar dibawa oleh wisatawan yang datang ke Solo sebagai oleh-oleh. Namun, ada pula yang menilai karya ini unik, sehingga mereka menjualnya lagi di lain daerah. Bahkan , ada seorang kenalannya yang membawa sejumlah kaus itu saat bersama tim "Solo batik Carnival" berpartisipasi dalam Chingay Parade diSingapura, Februari lalu.
Omzet usaha Yuli kini mencapai puluhan juta Rupiah perbulan dengan rata-rata produksi 600 kaus. Di ruang pajang, Yuli menjual Rp.65.000,- per lembar kaus, sedangkan jika sudah dipasarkan di gerai batik lainnya, harga yang ditawarkan sekitar Rp.80.000,- Ia juga sudah mampu membayar tiga pegawai tetap, belum termasuk pekerja dari luar yang bertugas menjahit dan membordir kaus.
Saat memulai usaha ini tahun 2006, modal awal yang dikeluarkan Yuli sekitar Rp.6 juta batik. Modal itu diperoleh dari hasil patungan dengan dua rekannya, Khamidah Nugrahawati (40) dan Rini Ambarwati (38). Yuli yang tak memiliki modal memadai menawarkan kerjasama kepada kedua tetangganya. Kebetulan mereka tertarik sehingga masing-masing menanamkan modal Rp.2 juta.
Mereka kemudian berbagi tugas dalam mengambangkan usaha patungan ini. Yuli menangani bagian desain kreatif, Khamidah menangani administrasi usaha, dan Rini menangani pemasaran. "Awalnya kami hanya membuat kaus bersablon sebelum menemukan kreasi kaus bordir batik tahun 2008,"kenang Yuli.
Yuli mengatakan, dia memilih kaus sebagai media kreasi suvenir khas Solo karena dia menilai pasar untuk produksi ini masih sangat terbuka. Orang tua, anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki dan perempuan sebagian besar gemar mengenakan kaus. Berbeda halnya dengan produk kerajinan hiasan yang tidak fungsional.
Cibiran
Saat memulai usaha ini, Yuli sempat mendapat cibiran dan cemooh dari beberapa kenalan yang menilai upayanya tak akan berhasil. namun yuli memilih menutup telinganya rapat-rapat dari komentar negatif itu dan terus melangkah.
Setelah usaha ini mulai maju dan peminatnya banyak, muncul hambatan baru dalam bentuk penjiplakan desain. Beberapa kali ia menemukan desain Rym yang dijiplak dengan teknik yang masih kasar. Namun bagi Yuli, hal ini justru menjadi cambuk untuk tetap bertahan.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah memacu diri untuk menghasilkan desain-desain baru. Ia mengajak kedua rekannya berkumpul tiap pekan untuk berbagi ide desain. Maka tidak heran apabila dalam dua tahun terakhir sudah ada 50 desain kaus yang dimunculkan.
"Kami juga sedang memikirkan cara atau kreasi lain karena kami yakin di pasaran produk kreasi ini ada usianya. Kami memikirkan tiga hingga lima tahun mendatang harus membuat apa meski intinya tetap memadukan kaus dan batik," ungkap Yuli. Mereka terus melakukan berbagai inovasi dengan kreasi-kreasi baru.
Jiwa wirausaha Yuli sudah muncul sejak masih kuliah tahun 1993-1997 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Demi mencari tambahan uang saku, ia membuat usaha sablon kartu nama atau undangan. Setelah lulus, ia memilih tidak menggunakan ijasah sarjana hukumnya, tetapi memulai usaha kecil-kecilan, sebelum memulai usaha batik kaus.
Yuli menyatakan, dia lebih senang menciptakan lapangan pekerjaan ketimbang bekerja untuk orang lain. Dari usaha itu, dia sudah mendapat penghasilan cukup untuk membiayai keluarga. namun, ia masih menaruh harapan agar bisa mengembangkan usaha ini lebih luas lagi hingga bisa memproduksi kaus ini mulai dari hulu hingga hilir. Selama ini ia masih memilih menggunakan jasa penjahit dan tukang bordir lepas demi efisiensi biaya produksi.
Dengan begitu, ia akan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk lebih banyak orang.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 20 APRIL 2010

Minggu, 18 April 2010

Menyusuri Ladang Ilmiah Bambu

Marc Peeters, ahli telekomunikasi dari Belgia, terlibat mengoperasikan Stasiun Pengendali Utama Satelit Palapa di Cibinong, Jawa Barat, tahun 1977 sampai 1988. Ia betah menetap di Indonesia. Pada 1980, Peeters menikahi Santiyatun Sudarma, perempuan dari Klaten, Jawa Tengah. Maka sejak 2009 dia memelihara rasa kerasannya itu dengan kegiatan penelitian bambu tropis di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.
MARC PEETERS
Lahir : Merksem, Antwerpen, Belgia, 27 Maret 1951
Kebangsaan : Belgia
Istri : Santiyatun Sudarma (50)
Anak : 1. Sulvana (30)
2. Ayu Chandra (24)
Pendidikan : High School for Industrial Engineering Antwerpen, Belgia
Pekerjaan : - 1977-1984: Software and Resident Engineer pada Balai Telephone Manufacturing
Company (BTMC), Belgia; Koordinator operasional dan jaringan telekomunikasi
Indosat dan Telkom; Instalatir jaringan Satelit Palapa.
- 1984 - 1992; Kepala Operasional dan penjualan untuk Country Representative
BTMC
- 1993 - 2006; Director Operation of Fixed and Private Communication Group
Alcatel Indonesia
- 2007 - 2009; Free Assistance untuk Kedutaan Besar Belgia dan beberapa
perusahaan Belgia di Indonesia
- 2009 - sekarang; mitra usaha Oprin Plant NV Belgia, menjalankan usaha
pembibitan bambu PT Bambu Nusa Verde di Yogyakarta.
Pengalaman lain :
Sebagai kolektor benda seni, Peeters pernah menggelar Pameran tunggal "The
Passion of Collector" (2005) di Erasmus Huis, Jakarta dan menjadi peserta Pameran
Keris Nusantara di Bentara Budaya Jakarta.
Oleh NAWA TUNGGAL
"Nama saya Peeters, ada yang memanggil Pak Pinter sewaktu saya kerja di Cibinong. Sekarang, saya ikut menanamkan modal untuk riset klon bambu di Yogyakarta," ujar Peteers, saat ditemui di tempat tinggalnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Februari lalu.
Peeyers sempat menunjukkan laboratorium bambunya di Dessa Hargobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Persisnya di Jalan Kali Boyong menuju lokasi wisata Kaliurang.
Perusahaan pengelolanya diberi nama PT Bambu Nusa Verde.
Metode klon atau kloning bambu memiliki keutamaan sangat cepat menghasilkan bibit seragam dan identik dengan induknya. Dari satu propagul, berupa potongan ujung ranting bambu yang masih memiliki titik tumbuh, dapat dikembangkan menjadi 1,59 juta bibit dalam waktu 52 minggu atau satu tahun.
Selama ini metode tradisionil pengembangbiakan bambu adalah dengan stek, atau mengandalkan secara alami melalui rimpang akarnya. Pengembangbiakan tradisionil itu tidak akan pernah mencapai puluhan bibit dalam setahun.
"Eropa boleh menolak kayu hutan tropis karena menganggap penebangannya meningkatkan laju pemanasan global. Tetapi, tidak ada alasan untuk menolak bambu tropis,"kata Peeters.
Bambu tropis dapat diolah untuk menggantikan kayu dengan berbagai bentuk. Mulai dari bentuk asli lonjoran bambu, lalu bisa dijadikan seperti kayu lapis yang rata ataupun bergelombang sekalipun. bambu bisa pula dijadikan batangan padat ukuran besar, atau menjadi kaso yang memiliki ukuran lebih kecil.
Peeters mengatakan, bambu memasuki usia panen antara 5 dan 7 tahun. Usia ini jauh lebih pendek dibandingkan jenis-jenis kayu produktif lainnya yang mencapai puluhan tahun. Jika tidak dipanen, pertumbuhan bambu tidak lagi optimal, bahkan bisa mati.
Ladang ilmiah
Peeters membuktikan, Indonesia merupakan sebuah ladang ilmiah yang masih banyak menyisakan lahan yang belum digarap. Ia kini sedang menyusuri ladang ilmiah bambunya.
Penelitian pengembangbiakan bambu tropis secara cepat dan identik dengan induk melalui metode yang juga dikenal sebagai tissue culture, atau kultur jaringan ini, masih sangat sulit dijumpai di Indonesia.
Peeters lulus dari High School for Industrial Engineering Antwerpen, Belgia tahun 1972. Ia lulus sebagai industrial engineer in electronics atau perekayasa industri di bidang elektronika dengan spesifikasi telekomunikasi.
Keahliannya sudah teruji selama tujuh tahun di Indonesia dengan berperan dalam operasional pengendalian Satelit Palapa di Cibinong. Ia pernah menjabat sebagai koordinator operasional dan jaringan telekomunikasi Indosat dan Telkom pada periode tersebut.
Selanjutnya, tahun 1984 sampai 1992 Peeters menjadi Kepala operasional dan penjualan pada Country Representative Bell Telephone Manufacturing Company (BTMC), sebuah perusahaan dari Belgia. Kemudian ia beralih ke perusahaan Alcatel Indonesia sebagai Direktur operasional antara 1993 dan 2006.
Peeters lalu menjadi free assastance untuk Kedutaan Besar Belgia dan beberapa perusahaan Belgia lainnya yang ada di Indonesia dari periode 2007 sampai 2009.
Memasuki tahun 2009 hingga sekarang, dengan dukungan perusahaan induk pengembangbiakan bambu Oprins plant NV di Belgia, Peeters menjalankan pengembangbiakan bambu di Indonesia.
"Beberapa kali sudah (saya) mengekspor bibit bambu dari Indonesia ke Afrika," ujar Peeters.
Masalah ekspor bibit bambu sampai sekarang belum diatur. Jenis usaha ini belum dinyatakan masuk kategori usaha pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
Setiap kali mengekspor bibit bambu, Peeters disarankan mengurus administrasinya di Kementrian Kehutanan. Ekspor bibit bambu itu harganya berkisar antara Rp.7.000 sampai Rp. 17.000 per batang bergantung pada jenisnya.
Harapan
"Semoga yang saya lakukan ini tidak menjadi sia-sia," ungkap Peeters. Ia tidak semata-mata ingin menatap masa depan usahanya sendiri. Peeters lalu menunjukkan sepotong kaus kaki serta pakaian dalam pria. Keduanya masih terbungkus utuh di dalam kemasannya. Tertera tulisan pada kemasan, produk itu terbuat 95 persen dari bambu.
"Produk ini lebih halus dan lebih dingin, dengan harga relatif tidak mahal," kata Peeters.
Serat bambu juga baik untuk kertas. "Kertas tisu dari bambu juga tidak mudah robek," katanya.
Peeters menatap masa depan bambu dengan harapan memberikan manfaat banyak bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Pertumbuhan akar bambu yang menjalar horizontal mampu mencengkeram kuat pada bagian permukaan tanah hingga tidak memudahkan longsor. Di dalam ekosistem sumber air, bambu juga terbukti menjadi filter yang menjernihkan aliran air.
Peeters juga menyinggung kontribusi bambu dalam penyerapan karbon dioksida. Didalam proses respirasi atau pernapasan tumbuhan yang menghasilkan karbon dioksida, bambu tergolong unik.
Di tengah pusaran keinginan dan harapan besar terhadap aplikasi bambu, sekarang ini masih terkesan pemanfaatan bambu belum optimal. Belum bisa diperkirakan kapan saatnya pemanfaatan bambu dan pembudidayaannya dapat lebih meluas lagi.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 24 MARET 2010.