Minggu, 18 April 2010

Menyusuri Ladang Ilmiah Bambu

Marc Peeters, ahli telekomunikasi dari Belgia, terlibat mengoperasikan Stasiun Pengendali Utama Satelit Palapa di Cibinong, Jawa Barat, tahun 1977 sampai 1988. Ia betah menetap di Indonesia. Pada 1980, Peeters menikahi Santiyatun Sudarma, perempuan dari Klaten, Jawa Tengah. Maka sejak 2009 dia memelihara rasa kerasannya itu dengan kegiatan penelitian bambu tropis di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.
MARC PEETERS
Lahir : Merksem, Antwerpen, Belgia, 27 Maret 1951
Kebangsaan : Belgia
Istri : Santiyatun Sudarma (50)
Anak : 1. Sulvana (30)
2. Ayu Chandra (24)
Pendidikan : High School for Industrial Engineering Antwerpen, Belgia
Pekerjaan : - 1977-1984: Software and Resident Engineer pada Balai Telephone Manufacturing
Company (BTMC), Belgia; Koordinator operasional dan jaringan telekomunikasi
Indosat dan Telkom; Instalatir jaringan Satelit Palapa.
- 1984 - 1992; Kepala Operasional dan penjualan untuk Country Representative
BTMC
- 1993 - 2006; Director Operation of Fixed and Private Communication Group
Alcatel Indonesia
- 2007 - 2009; Free Assistance untuk Kedutaan Besar Belgia dan beberapa
perusahaan Belgia di Indonesia
- 2009 - sekarang; mitra usaha Oprin Plant NV Belgia, menjalankan usaha
pembibitan bambu PT Bambu Nusa Verde di Yogyakarta.
Pengalaman lain :
Sebagai kolektor benda seni, Peeters pernah menggelar Pameran tunggal "The
Passion of Collector" (2005) di Erasmus Huis, Jakarta dan menjadi peserta Pameran
Keris Nusantara di Bentara Budaya Jakarta.
Oleh NAWA TUNGGAL
"Nama saya Peeters, ada yang memanggil Pak Pinter sewaktu saya kerja di Cibinong. Sekarang, saya ikut menanamkan modal untuk riset klon bambu di Yogyakarta," ujar Peteers, saat ditemui di tempat tinggalnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Februari lalu.
Peeyers sempat menunjukkan laboratorium bambunya di Dessa Hargobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Persisnya di Jalan Kali Boyong menuju lokasi wisata Kaliurang.
Perusahaan pengelolanya diberi nama PT Bambu Nusa Verde.
Metode klon atau kloning bambu memiliki keutamaan sangat cepat menghasilkan bibit seragam dan identik dengan induknya. Dari satu propagul, berupa potongan ujung ranting bambu yang masih memiliki titik tumbuh, dapat dikembangkan menjadi 1,59 juta bibit dalam waktu 52 minggu atau satu tahun.
Selama ini metode tradisionil pengembangbiakan bambu adalah dengan stek, atau mengandalkan secara alami melalui rimpang akarnya. Pengembangbiakan tradisionil itu tidak akan pernah mencapai puluhan bibit dalam setahun.
"Eropa boleh menolak kayu hutan tropis karena menganggap penebangannya meningkatkan laju pemanasan global. Tetapi, tidak ada alasan untuk menolak bambu tropis,"kata Peeters.
Bambu tropis dapat diolah untuk menggantikan kayu dengan berbagai bentuk. Mulai dari bentuk asli lonjoran bambu, lalu bisa dijadikan seperti kayu lapis yang rata ataupun bergelombang sekalipun. bambu bisa pula dijadikan batangan padat ukuran besar, atau menjadi kaso yang memiliki ukuran lebih kecil.
Peeters mengatakan, bambu memasuki usia panen antara 5 dan 7 tahun. Usia ini jauh lebih pendek dibandingkan jenis-jenis kayu produktif lainnya yang mencapai puluhan tahun. Jika tidak dipanen, pertumbuhan bambu tidak lagi optimal, bahkan bisa mati.
Ladang ilmiah
Peeters membuktikan, Indonesia merupakan sebuah ladang ilmiah yang masih banyak menyisakan lahan yang belum digarap. Ia kini sedang menyusuri ladang ilmiah bambunya.
Penelitian pengembangbiakan bambu tropis secara cepat dan identik dengan induk melalui metode yang juga dikenal sebagai tissue culture, atau kultur jaringan ini, masih sangat sulit dijumpai di Indonesia.
Peeters lulus dari High School for Industrial Engineering Antwerpen, Belgia tahun 1972. Ia lulus sebagai industrial engineer in electronics atau perekayasa industri di bidang elektronika dengan spesifikasi telekomunikasi.
Keahliannya sudah teruji selama tujuh tahun di Indonesia dengan berperan dalam operasional pengendalian Satelit Palapa di Cibinong. Ia pernah menjabat sebagai koordinator operasional dan jaringan telekomunikasi Indosat dan Telkom pada periode tersebut.
Selanjutnya, tahun 1984 sampai 1992 Peeters menjadi Kepala operasional dan penjualan pada Country Representative Bell Telephone Manufacturing Company (BTMC), sebuah perusahaan dari Belgia. Kemudian ia beralih ke perusahaan Alcatel Indonesia sebagai Direktur operasional antara 1993 dan 2006.
Peeters lalu menjadi free assastance untuk Kedutaan Besar Belgia dan beberapa perusahaan Belgia lainnya yang ada di Indonesia dari periode 2007 sampai 2009.
Memasuki tahun 2009 hingga sekarang, dengan dukungan perusahaan induk pengembangbiakan bambu Oprins plant NV di Belgia, Peeters menjalankan pengembangbiakan bambu di Indonesia.
"Beberapa kali sudah (saya) mengekspor bibit bambu dari Indonesia ke Afrika," ujar Peeters.
Masalah ekspor bibit bambu sampai sekarang belum diatur. Jenis usaha ini belum dinyatakan masuk kategori usaha pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
Setiap kali mengekspor bibit bambu, Peeters disarankan mengurus administrasinya di Kementrian Kehutanan. Ekspor bibit bambu itu harganya berkisar antara Rp.7.000 sampai Rp. 17.000 per batang bergantung pada jenisnya.
Harapan
"Semoga yang saya lakukan ini tidak menjadi sia-sia," ungkap Peeters. Ia tidak semata-mata ingin menatap masa depan usahanya sendiri. Peeters lalu menunjukkan sepotong kaus kaki serta pakaian dalam pria. Keduanya masih terbungkus utuh di dalam kemasannya. Tertera tulisan pada kemasan, produk itu terbuat 95 persen dari bambu.
"Produk ini lebih halus dan lebih dingin, dengan harga relatif tidak mahal," kata Peeters.
Serat bambu juga baik untuk kertas. "Kertas tisu dari bambu juga tidak mudah robek," katanya.
Peeters menatap masa depan bambu dengan harapan memberikan manfaat banyak bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Pertumbuhan akar bambu yang menjalar horizontal mampu mencengkeram kuat pada bagian permukaan tanah hingga tidak memudahkan longsor. Di dalam ekosistem sumber air, bambu juga terbukti menjadi filter yang menjernihkan aliran air.
Peeters juga menyinggung kontribusi bambu dalam penyerapan karbon dioksida. Didalam proses respirasi atau pernapasan tumbuhan yang menghasilkan karbon dioksida, bambu tergolong unik.
Di tengah pusaran keinginan dan harapan besar terhadap aplikasi bambu, sekarang ini masih terkesan pemanfaatan bambu belum optimal. Belum bisa diperkirakan kapan saatnya pemanfaatan bambu dan pembudidayaannya dapat lebih meluas lagi.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 24 MARET 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar