HARRY PALMER
Lahir: Jakarta, 24 September 1947
Istri: Maria Gouw (53)
Anak:
- Henny Sunandar (35)
- Herwin Sunandar (33)
Pendidikan:
- SD Negeri Palmerah, Jakarta
- SMP Negeri 16 Palmerah
- SMA Negeri 6 Bulungan, Jakarta
- Sekolah Tinggi Teknik Nasional, Jakarta
Lampu warna-warni di Bentara Budaya Jakarta menyala benderang saat empat penyanyi Harry's Palmer Orchestra mendendangkan lagu "Damai" karya Guruh Soekarnoputra, pekan lalu. Sajian musik itu membuka acara Betawi Punye Gaye yang diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia.
OLEH WINDORO ADI
Pada pembukaan acara yang berlangsung hingga Minggu (29/4) mendatang, umbul-umbul kembang kelapa terikat di tiang-tiang. Di belakang para penyanyi, sejumlah pria berjas dan bertopi memainkan kendang, suling, drum, tekyan, gambang keromong, kecrek, gong, gitar, trombon, dan biola.
Alunan musik mereka mengepung dua ruang yang memamerkan bermacam perangkat kebudayaan Betawi, termasuk miniatur rumah Betawi.
Sepanjang malam itu, selain melantunkan lagu pop, Harry's Palmer Orchestra membawakan "adonan" lagu-lagu berirama keroncong, gambang keromong, dan dangdut dengan iringan lima penari latar. Apa pun jenis musiknya, warna Betawi mereka tak hilang.
"Kalau kesenian Betawi mau bertahan, ya harus mampu menyerap budaya pop agar bisa tampil di acara-acara komersial. Hanya dengan cara itu seniman Betawi bisa bertahan hidup. Tinggal bagaimana kita menggarapnya. Kalau digarap serius, pasti hasilnya bagus," kata Harry Palmer, pemilik Harry's Palmer Orchestra. Ia didampingi sang istri, Maria Gouw (53), yang malam itu berkebaya encim warisan neneknya.
Jika tak mau menyerap perkembangan budaya dari luar, kesenian Betawi bakal punah setelah terseok-seok tampil di gang sempit atau pinggiran Jakarta. "Para seniman, juru rias, penata busana, dan sejumlah penjaga tradisi Betawi kan harus mencari nafkah. Kalau mata pencarian mereka tergilas industri pop dan gaya hidup metropolis, bagaimana bisa mempertahankan dan mengembangkan kesenian Betawi," katanya.
Menurut Harry, mengharpkan subsidi pemerintah hanya membuat mereka melemah. "Mereka membutuhkan peluang. Untuk merebut peluang, mereka harus mampu bersaing. Agar bisa bersaing, mereka harus diberdayakan. Pemain musik, misalnya, harus bisa membaca dan membuat partitur.Pemain teater atau penari Betawi harus mengerti sejarah teater dan tarian yang dibawakan," ujarnya. Seniman Betawi pun harus mampu merebut dan menciptakan pasar.
Kakek tiga cucu yang tumbuh di kawasan Rawabelong, Jakarta, ini berpendapat, yang tak boleh berubah adalah prinsip keterbukaan dan kemajemukan budaya. Dengan prinsip itu, seharusnya kesenian Betawi menjadi lebih kaya.
Harry tak sekadar berwacana, sejak tahun 2005 ia mengembangkan kelompok musik yang dia warisi dari mendiang neneknya. Gambang keromong dia kembangkan menjadi keroncong dan pop tanpa mengubah warna Betawi.
"Saya tetap mempertahankan gambang keromong sebagai ciri Betawi. Tinggal saya tambahkan alat musik lain seperti biola, drum, keyboard, trombon, dan gitar," ujarnya.
Lagu-lagu yang disajikan pun tak sebatas lagu-lagu lama Betawi, tetapi juga lagu pop dengan "rasa Betawi". "Kalau kami hanya menampilkan gambang keromong dan lagu Betawi lama, siapa penikmatnya?"
Ia membiayai semua kebutuhan orkestra, termasuk sebagian biaya hidup pemain musiknya. Di antara mereka adalah musisi dan anak-anak seniman Betawi. Sepekan dua kali mereka berlatih di studio milik Harry di kawasan Palmerah.
"Sebagian besar pesanan manggung masih dari saya. Suatu saat nanti mereka harus mandiri. Kelak, saya tinggal menikmati musik yang mereka bawakan saat latihan di studio," ujar Harry.
Ia menekankan kembali pentingnya seniman Betawi menciptakan pasar. "Tantangannya di Jakarta lebih berat karena jasa hiburan di Jakarta bermacam-macam dan melimpah," ujarnya.
Sang nenek
Kecintaan Harry pada kesenian Betawi tumbuh sejak ia berusia lima tahun. Neneknya, Phang Owan, menyukai lenong, gambang keromong, dan cokek. Phang Owan menikah dengan tuan tanah di Banten. Meski memiliki banyak rumah, Phang Owan tinggal di rumah Betawi di Tenjo, Bogor, Jawa Barat.
Rumah Phang Owan tak pernah sepi dari suara gambang keromong. Ia punya 30 pemain tetap. Setiap awal bulan, Phang Owan menggelar lenong. Saat para pemain lenong berisitirahat, puluhan orang berebut menari dengan para cokek yang sebagian adalah kembang desa.
Kala itu, pementasan lenong menyajikan kisah-kisah tentang pertikaian antara pendekar, mandor, centeng, dan tuan tanah serta percintaan antara tuan tanah keturunan Cina dengan gadis pribumi.
Setelah suaminya meninggal Phang Owan tetap menampilkan gambang keromong, lenong, dan cokek. "Biayanya dari ayah saya (anak Phang Owan). Ia salah satu juragan batik Betawi di Rawabelong," kata Harry tentang sang nenek yang meninggal pada usia 78 tahun.
Kerusuhan 1998
Setelah lulus Sekolah Tinggi Teknik Nasional (kini Institut Sains dan Teknologi Nasional) di Jakarta, Harry berdagang pakaian di Glodok, Jakarta. Setelah 25 tahun berdagang, tokonya ludes dijarah dan dibakar saat kerusuhan Mei 1998.
"Saya harus memulai usaha dari awal. Tiga bulan pertama setelah kerusuhan, saya hanya menjual pakaian empat setel setiap bulan," kenangnya.
Harry sempat putus asa sebelum muncul ide membuat jas. "Waktu itu saya berpikir, saat seorang pria hendak menikah, ia pasti membeli jas." Ia lalu membuka usaha menjahit jas. Pesanan membuat jas bertambah dengan cepat. Sebulan ia bisa menjual 25-30 jas.
Tahun 1999, setiap bulan ia membuat 100 jas dan memperluas usahanya dengan membuka gerai di Mal Taman anggrek, Jakarta. "Padahal, waktu mengawali usaha ini, saya tak yakin prospeknya cerah," ujarnya.
Untuk mengembangkan usaha, Harry mensponsori busana para artis, seperti Ferry Salim. Kini setiap bulan ia mendapat pesanan sekitar 500 jas.
Ia menyisihkan sebagian penghasilan untuk membiayai kelompok kesenian Betawi. "Sebenarnya saya ingin memelihara semua budaya Betawi, tak cuma keseniannya. Tapi saya harus menyesuaikan pendapatan dengan keperluan sehari-hari."
Harry sempat hendak membeli rumah bersejarah yang dibangun tuan tanah Andries Hartsinck, mantan petinggi VOC di Surakarta, yang berlokasi di kawasan Palmerah, Jakarta. Sayang ia "kalah harga" dari calon pembeli lain. Namun, yang membuat dia sedih, rumah yang dibangun tahun 1792 itu lenyap dibongkar pada tahun 1996.
"Saya sempat membayangkan, di halaman rumah bersejarah itu setiap bulan bisa digelar pertunjukan teater, musik, dan tari Betawi yang dapat dinikmati banyak orang, termasuk anak muda," katanya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 APRIL 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar