SAGIO
Nama lain: ML Perwita Wiguna
Lahir: Bantul, DI Yogyakarta, 14 Juli 1951
Pendidikan: Sekolah Menengah Pertama
Penghargaan:
- Upakarti, 1990
- Penghargaan Seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Ditengah kian langkanya pelaku tradisi, Sagio, warga Dusun Gendeng, Bangun Jiwo, Bantul, DI Yogyakarta, berteguh hati menjalani usahanya membuat wayang kulit. Puluhan tahun Sagio bertekun, melewati "zaman keemasan" dan menghadapi masa penuh pergulatan.
OLEH INDIRA PERMANASARI
Begitu menjejakkan kaki di rumah Sagio di Dusun Gendeng, atmosfer "serba wayang" terasa. Ruang depan rumah Sagio sekaligus menjadi ruang pajang wayang kulit, lukisan wayang, dan berbagai kerajinan kulit lainnya. Dari bengkel di samping ruang pajang itu, suara palu yang menghantam alat pahat di atas lembaran kulit sayup terdengar. Di ruang terbuka itu berbagai tokoh wayang kulit dilahirkan.
Wayang kulit terbuat dari kulit kerbau yang direndam semalaman, dikeringkan, dan ditipiskan dengan sayatan pisau. Lembaran kulit yang hampir tembus pandang itu lalu digambar mengikuti pola tokoh wayang yang diinginkan. Kemudian kulit pun ditatah dan diwarnai.
Wayang kulit buatan Sagio memperhatikan detail dan halus pahatannya. Ada sekitar 250 tokoh wayang pernah digambar dan dipahat Sagio.
Kepala negara, menteri, dan pelanggan dari luar negeri sering memesan karyanya untuk koleksi, buah tangan, bahkan disimpan di museum pada era 1980-an sampai akhir 1990-an.
Wayang yang digemari umumnya tokoh-tokoh kisah Ramayana dan Mahabharata, yang kerap diangkat dalam sendratari. Pada masa itu, wayang-wayang produksi Griya Ukir Kulit milik Sagio dijual pula digerai departmen store kelas atas Jakarta dan hotel-hotel berbintang.
Banyaknya permintaan membuat Sagio mempekerjakan hingga 40 orang di bengkelnya. Dia mendidik dan merekrut pula orang-orang di desanya untuk membuat wayang.
"Dalam setahun, dua pemuda nyantrik, belajar membuat wayang. Mereka tinggal di rumah saya," ujarnya.
Sagio menurunkan ilmu memahat dan mewarnai wayang yang dimilikinya kepada sekitar 50 pemuda, mulai tahun 1971 hingga 1997. "Supaya kampung saya menjadi kampung wayang. Anak-anak itu belajar bermodal kemauan dan ketekunan, tak usah membayar," katanya.
Menatah atau memahat wayang yang detail, halus, dan sesuai dengan pakem tokoh wayang tertentu membutuhkan waktu. Belum lagi pekerjaan mewarnai alias menyungging dengan cat akrilik. Satu gunungan, misalnya, baru tuntas dikerjakan sekitar 1,5 bulan. Tak heran jika harganya mencapai jutaan rupiah.
"Untuk satu tokoh Kresna yang berstandar tinggi dan berukuran sedang perlu sekitar 10-15 hari penggarapan. Berbeda dengan wayang cendera mata berukuran sama yang bisa dikerjakan lima buah dalam sehari," ujarnya.
Tahun 1990, Sagio mendapat anugerah Upakarti dari Presiden Soeharto atas pengabdiannya, serta penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia pun mendapat kesempatan berpameran keliling dunia, antara lain ke Taiwan, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis, Selandia Baru, China, Italia, dan Jerman.
Untuk membagikan ilmunya, Sagio menulis buku Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta; Morfologi, Tatahan, Sunggingan dan Teknik Pembuatannya bersama adiknya, Samsugi. Sebanyak 178 gambar tokoh wayang dalam buku itu dia gambar sendiri. Sagio selalu menggambar sendiri tokoh wayangnya di kertas berukuran A3.
Jadilah gambar wayang berwarna-warni memenuhi meja kerjanya. "Saya malah senang kalau gambar saya difotokopi dan dipakai sebagai pola oleh perajin lain. Itu artinya tetap ada orang yang menatah wayang," ujarnya.
Dari ayah
Sagio belajar membuat wayang dari sang ayah, Jaya Perwita, perajin wayang. "Sejak kecil saya sudah senang wayang. Saya suka membuat wayang dari daun singkong dan rumput," kata Sagio yang mulai membuat wayang kulit sejak usia 11 tahun.
Zaman Sagio kecil, belum ada hiburan dan televisi atau akses internet. "Satu-satunya hiburan, ya wayang dan sejak saya masih kecil lihatnya itu saja. Jadi, (wayang) sudah tertanam dalam diri saya. Sekarang begitu bayi lahir sudah melihat televisi, internet, dan handphone, hiburannya sudah lain," tuturnya.
Tahun 1967 hingga 1975, Sagio memperdalam keterampilan memahat wayang dengan berguru kepada seorang empu wayang, MB Prayitna Wiguna alias Mbah Bundu dari Keraton Yogyakarta. Menyelami ilmu membuat wayang dari empu wayang keraton membuka kesempatan baginya untuk mengamati wayang bertatah halus dan pertunjukan kelas keraton. Jalan hidup mendekatkannya dengan keraton. Ia lalu diangkat sebagai abdi dalem Keraton Ngayogyakarta.
Sagio menganggap wayang tak semata hiburan. "Wayang itu gambaran karakter manusia," ujar pengagum tokoh Hanoman ini.
Ia mengistilahkan Hanoman sebagai "jenderal kera". Tokoh ini merupakan cerminan sifat yangtak pernah gagal melaksanakan tugas, mempunyai harga diri, tahu diri, dan tak sombong. Di mata Sagio, kisah pewayangan dan sifat tokoh-tokohnya mengandung tontonan, tuntunan, dan tatanan hidup.
Tetap setia
Kisah kerajinan wayang sebagai sumber penghidupan berubah sejak krisis moneter tahun 1997 dan ledakan bom Bali tahun 2002. Peristiwa itu memurukkan industri pariwisata. Turis asing enggan berpelesir ke Tanah Air.
Usaha kerajinan, termasuk wayang kulit, pun ikut terpukul. Apalagi, 75 persen pembeli karya dari Griya Ukir Kulit adalah turis asing. Sagio bertahan dengan pembeli dari dalam negeri dan penjualan berbagai cendera mata berbahan kulit.
Bengkel milik Sagio pun menjadi sepi lantaran hanya tersisa lima orang pembuat wayang. Di Dusun Gendeng yang sejak lama terkenal sebagai dusun pembuat wayang, alat pahat dan kuas pewarna pun ditinggalkan.
"Mereka alih profesi menjadi pekerja bangunan atau cleaning service.
Dulu, ada sekitar 150 perajin, sekarang tersisa sekitar 50 orang saja yang membuat wayang. Saya iba, tetapi tak punya kekuatan apa-apa. Zaman sudah berbeda," ungkapnya.
Kekhawatiran terbesar Sagio adalah terputusnya generasi pembuat wayang. Perajin wayang kulit, kata Sagio, umumnya belajar otodidak dari perajin lama.
"Kalau keterampilan ini ditinggalkan, 25 tahun ke depan bisa jadi tidak ada lagi orang yang akan membuat wayang. Dulu, daerah Kedu dan Kaligesing, Purworejo, terkenal dengan wayang yang tatahannya bagus, sekarang tinggal kenangan. Di Dusun Gendeng, mungkin akan begitu juga lama-kelamaan," paparnya.
Hal itu pula yang mendorong Sagio tetap setia menggambar dan memahat wayang. Meski tidak ada pesanan pun, dia tak ingin meninggalkan wayang yang telah menyatu dengan hidupnya.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 MEI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar