VINSENSIUS LOKI
Lahir: Bela, Ngada, Nusa Tenggara Timur, 17 Oktober 1962
Pendidikan: Sekolah Dasar
Istri: Petronela Edo
Anak: Filadelviana Moi Loki
Pengalaman:
- Ketua Kelompok Tani Penghijauan dan Rehabilitasi Lahan, 1999-2004
- Ketua Unit Pengolahan hasil (UPH) Kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) Fa
Masa, 2005-kini
- Ketua Koperasi Serba USaha Fa Masa, 2007-kini
Penghargaan:
- Ketahanan Pangan dari Menteri Pertanian, 2006
- UPH Kopi Terbaik Tingkat Kabupaten Ngad, 2010
Kopi arabika Flores Bajawa dari Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, telah menjadi kopi kelas dunia. Sebelum itu, perjuangan harus dilalui petani untuk mengangkat kualitas kopi Ngada hingga tingkat dunia. Upaya itu tak lepas dari sosok Vinsensius Loki.
OLEH SAMUEL OKTORA/KORNELIS KEWA AMA
Tahun 1999 Vinsensius nekat mengembangkan kopi meski saat itu apa yang dia lakukan ibarat menantang badai. Pasalnya, saat itu adalah masa keemasan vanili di Ngada hingga tahun 2003. Petani meraih keuntungan karena tingginya harga vanili.
"Banyak warga menolak ajakan saya mengembangkan kopi sebab harga biji vanili basah saja Rp 300.000 per kilogram (kg) dan biji vanili kering Rp 1,5 juta per kg. Bahkan, ada petani yang bisa membeli mobil baru dari hasil menjual vanili. Sedangkan harga kopi gelondong merah waktu itu rata-rata dibeli tengkulak Rp 600 per kg dan kopi biji kering Rp 8.000 per kg," katanya.
Namun, ia berkeyakinan komoditas kopi, khususnya kopi arabika, lebih cocok dikembangkan di kampung halamannya, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, dibandingkan dengan vanili.
Desa Beiwali berada di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini cocok untuk pengembangan kopi arabika yang bisa tumbuh di daerah ketinggian 900 meter-1.600 meter di atas permukaan laut.
Apalagi, warga setempat juga banyak yang memiliki tanaman kopi meski tak dirawat dengan sistem budidaya yang baik sehingga tingkat produksinya dan mutunya rendah. Harga kopi pun mudah dipermainkan tengkulak karena petani belum punya kelembagaan yang kuat.
Vinsensius lalu melakukan pendekatan kepada sejumlah warga hingga terkumpul 25 orang yang mau bergabung dengannya. Mereka membentuk Kelompok Tani Penghijauan dan Rehabilitasi Lahan dengan program kerja lima tahun. Dalam kelompok itu dia menjadi ketuanya.
Program awal mereka membudidayakan 1.000 pohon kopi per anggota yang dilakukan secara swadaya. Mereka juga mengembangkan pakan ternak seluas 1.000 meter persegi per anggota, dan menanam tanaman kayu lokal.
Mereka bertekad mengembangkan kopi organik sehingga anggota didorong memelihara ternak, seperti sapi, agar kotorannya bisa menjadi pupuk untuk tanaman kopi. Selain ternak itu pun dapat dijadikan alternatif ekonomi petani dalam kondisi sulit.
Pengurus kelompok tani itu enam orang, yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi peternakan, seksi perkebunan, dan seksi kehutanan. Total lahan kopi yang dimiliki kelompok ini tahun 1999 sekitar 40 hektar.
"Pertimbangan dibentuknya kelompok ini karena kami ingin mendapat bimbingan dan bantuan pemerintah daerah. Ini penting agar petani kopi bisa maju. Waktu itu syaratnya harus ada kelompok tani secara kelembagaan, program kerja, rapat bulanan, dan evaluasi tahunan," katanya.
Berbuah dan ekspor
Tahun 2002 atau tiga tahun kemudian, pohon kopi mereka mulai berbuah. Ketika itu, harga vanili mulai turun, bahkan pada tahun 2003 harga vanili di Ngada terpuruk. Harga biji vanili kering Rp 4.500 per kg, sedangkan biji vanili basah Rp 2.500 per kg.
Tahun 2002 Vinsensius mengajukan proposal pemberdayaan kelompok kepada DPRD setempat . Proposal mereka disetujui, dan pengurus kelompok ini pun mendapat pendidikan dan pelatihan dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Ngada. Mereka antara lain belajar tentang kepemimpinan sampai manajemen keuangan.
Tahun 2003 mereka dikukuhkan menjadi kelompok tani produktif. Pada tahun 2004 Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) memberikan pelatihan dan pendampingan. Tujuannya, agar kelompok ini dapat meningkatkan produksi dan mengolah kopi bermutu yang berorientasi pasar nasional maupun internasional.
Tahun 2005, untuk pertama kali di Ngada dibentuk Unit Pengolahan Hasil (UPH) kopi bernama UPH Kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) Fa Masa. Di sini Vinsensius pun menjadi ketua.
PPKKI lalu melakukan uji laboratorium. Hasilnya, mutu fisik kopi UPH AFB Fa Masa berkategori mutu 1 dan diminati pembeli dari Amerika Serikat (AS). Jadilah tujuh ton kopi UPH AFB Fa Masa diekspor ke AS.
Jumlah ekspor itu masih jauh dari permintaan AS sebanyak 1.000 ton per tahun. PPKKI lalu merekomendasikan dibentuknya lebih banyak UPH. Maka, tahun 2011 terbentuk 14 UPH kopi. Sampai tahun 2011, ekspor kopi ke AS rata-rata baru terpenuhi sekitar 300 ton per tahun.
Geografis menunjang
Dari sembilan kecamatan di Ngada, hanya dua yang menghasilkan kopi AFB karena faktor geografisnya menunjang, yakni Kecamatan Bajawa dan Kecamatan Golewa. Harga kopi arabika di Ngada pun meningkat dan menguntungkan petani.
Tahun 2011 harga gelondong merah (buah kopi masak dipetik dari pohon) yang dijual petani ke UPH sekitar Rp 6.000 per kg, dan kopi biji kering yang dijual ke eksportir Rp 51.000 per kg.
"Dalam satu musim, petani bisa berpenghasilan Rp 20 juta," kata Vinsensius, yang anggota kelompoknya kini 151 orang. Areal kebun di Beiwali pun menjadi 167 hektar.
UPH AFB Fa Masa pun berkembang. Tahun 2007 dibentuk Koperasi Serba Usaha Fa Masa. Dalam lima tahun, aset koperasi itu sekitar Rp 2 miliar.
Ia terus berinovasi. Gelondong kopi sortiran yang tak memenuhi standar kualitas eksportir diolah menjadi kopi bubuk. Kopi ini lalu dipasarkan ke luar Nusa Tenggara Timur, bahkan sampai Filipina.
Selain itu, sejak tahun 2002, kelompoknya juga mempersiapkan lahan seluas sembilan hektar untuk mengembangkan kakao.
"Penanaman kakao dimaksudkan sebagai alternatif pendapatan sebab masa panen dan pengolahan kopi itu antara Mei dan Oktober. Di luar masa itu, kakao diharapkan dapat memberi penghasilan bagi petani. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia juga menjamin akan menyerap produksi kakao kami," tutur Vinsensius yang memiliki 500 pohon kakao.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 7 MEI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar