Selasa, 19 Maret 2013

Siti Rofi'ah: Tidak Boleh Lepas Kebun

SITI ROFI'AH 
Lahir: Desa Siri, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 22 Mei 1967
Suami: AS Hadungboleng
Anak:
- Hendra Handoyo
- Dadang Sudrajat
- Nursyaban
Pendidikan:
- SD di Desa Siri
- Paket B SMP
- Paket C SMA

"Tak boleh lepas kebun". Demikian petuah orangtua yang diterima Siti Rofi'ah. Aktivitasnya menghidupkan kembali dan mengembangkan pangan lokal telah membawa Rofi'ah mendapatkan penghargaan sebagai perempuan pejuang pangan lokal. Semua itu berakar dari petuah tersebut.

OLEH BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Petuah orangtua yang lain pun melahirkan sikap pantang menyerah bagi Rofi'ah. Petuah itu berkaitan erat dengan kemandirian ekonomi keluarga dan perempuan, yakni hidup harus bermoral, jangan meminta-minta kalau susah.
   Tahun 1983 merupakan titik awal pertanian sawah diperkenalkan ke sejumlah desa di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ribuan hektar tanah milik Desa Siri dibagikan kepada warga desa agar mereka mendapat bagian. Irigasi pun disediakan pemerintah. Musim tanam pertama mereka memberikan hasil melimpah.
   Kebijakan pemerintah berwujud "revolusi hijau" itu secara perlahan menggerogoti nilai-nilai yang sebelumnya dipegang secara kuat oleh warga setempat. Perlahan namun pasti, tata kehidupan warga Desa Siri yang semula mengutamakan kehidupan berkebun mulai bergeser.
   "Musim tanam kedua, orang mulai melepas kebun karena ada padi. Mereka bertanya, 'sudah ada padi kok tetap tanam jagung?'," Rofi'ah bertutur. Umbi-umbian hutan seperti talas, ubi, dan pisang pun ditinggalkan. Biasanya umbi digali lalu disimpan untuk dikonsumsi saat sulit pangan.
   Di tahun kelima mulailah pedagang menawarkan pupuk kimia dan pestisida. hanya dua tahun hasil panen bagus, selebihnya muncul beragam hama, di antaranya wereng coklat, penggerek batang, dan hama putih.
   Tekanan ekonomi muncul, warga mengijon (utang) pangan atau beras. Tak ada yang mengajarkan mereka tentang penggunaan pupuk, cara perawatan padi, dan pengobatan jika ada hama. Utang beras 50 kilogram harus dibayar 75 kilogram. Kemiskinan mulai lahir di sini.
  "Anak tak sekolah, orangtua bertengkar. Mereka meninggalkan kebun. Orang jadi malas. Muncul bantuan bencana alam dan kelaparan akibat gagal panen. Bantuan berupa beras 20 kilogram yang diberikan tiga kali dalam setahun, jelas tidak cukup," kata Rofi'ah.

Kaum ibu

   Ketika ia menjanda, di tengah pandangan sinis dan merendahkan akibat statusnya, Rofi'ah mengumpulkan  kaum ibu. Ada 10 orang bergabung. Mereka adalah ibu dari para murid mengajinya.
   Setiap orang diminta mengumpulkan 1 kilogram beras setiap kali berkumpul (per tiga bulan), dan mengumpulkan beras satu cangkir besar untuk diberikan saat anggota mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian adat belis, dan kematian). , 
Dengan sistem arisan, anggota secara bergilir mendapat uang hasil penjualan beras .
   Tahun kedua mereka dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM). 
"Kami tak butuh uang, tetapi pencerahan, karena kami tak tahu apa-apa," ungkap Rofi'ah. Perkumpulan perempuan itu makin berkembang. Tahun 2004, anggotanya menjadi 50 orang per desa. Perkumpulan ada di delapan desa.
   Perkumpulan tanpa uang itu macet karena ketua tak bisa menjalankan program. Rofi'ah lalu terpilih menjadi ketua meski tak tamat SMA.
"Saya merasa itu beban terberat," kata Rofi'ah yang terus berzikir dan berdoa.
   Ia membagi tugas. Setiap kelompok menjadi satu seksi dan dipilah menjadi seksi lumbung, benih, pemasaran, infrastruktur, pengamatan hama terpadu (PHT). "Harus ada benih yang kami kumpulkan agar tak perlu lagi membeli benih transgenik."
   Dari LSM pendamping, mereka belajar membuat pupuk bokasih dan pupuk organik. Mereka mengumpulkan kotoran sapi, kambing, dan kerbau untuk dibuat pupuk yang sebagian dijual.
  Kelompok perempuan itu menjadi Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL). Dengan bantuan Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), APPEL menanam padi di Desa Sumberlalong seluas 2 hektar dan menghasilkan 18 ton beras.
   Namun, situasi memburuk. Tak ada pasar. Saat panen raya, harga tak bisa tinggi karena dipatok pemerintah. Ketika panen tipis, saat "musim lapar", harga beras tinggi. "Bantuan dari pemerintah hanya bisa turun kalau ada bantuan dari orang dalam atau ada proposal," ujarnya.
   Tahun 2009, mereka kampanye menolak tambang untuk melestarikan kebun. Mereka membacakan 10 rekomendasi di hadapan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda. "Dia marah besar," cerita Rofi'ah sambil tertawa.

Gunung dan sorgum

   Untuk menyelamatkan sumber pangan lokal yang terancam "hilang", Rofi'ah berjalan ke gunung-gunung mencari benih sorgum merah, hitam, dan putih. Benih sorgum sudah lama tak dijaga.
   "Begitu ada informasi benih sorgum, saya langsung mencari rokok dan gula untuk ditukar benih,"  katanya. Saat tambang bisa dicegah masuk, warga mulai menanam sorgum di musim kering. Benih itu disebarkan juga ke Kecamatan Sananggoang, yakni di Desa Golondari, Nangabere, Benteng Dewa, Wewako, dan Desa Firu.
   Ketika ada tanah seluas 8 hektar, APPEL membuat program percontohan pangan lokal. Ini swadaya, meski mereka harus berutang. Mereka membuat pagar, menyiapkan lahan, dan semua proses lain dengan biaya sendiri.
   "Saya menjual sapi untuk biaya kesana kemari," kata Rofi'ah. Hasilnya, Sabtu, 12 November 2011, Bupati Fidelis Pranda melakukan penanaman sorgum secara simbolis.
   Dari kiprahnya itu, Rofi'ah dijanjikan piagam oleh bupati. Ia menolak. "Siapa yang akan ke kamar tamu saya untuk melihat piagam itu?" kata Rofi'ah mengulang ucapannya kepada Bupati. Sebagai penukar, ia minta bantuan untuk menyiapkan lahan. Janji meminjami traktor Bupati batal terwujud karena traktor rusak. Selain itu, tak ada lagi bantuan pemerintah.
   Namun, tak semua upayanya terlaksana karena tiadanya pasar, sedangkan petani tetap memakai pupuk kimia dan pestisida. Pengguna pupuk organik semakin menyusut.
   Kini Rofi'ah tinggal di Lembata, Kabupaten Lembata, mengikuti suaminya. Ia membantu menghidupkan kembali Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut Darat (Klomppald), organisasi suaminya yang sejak 2007 mati suri.
    Klomppald menyelenggarakan peringatan Hari Pangan Sedunia dengan  seminar dan pameran pangan lokal.
   "Semula para ibu menolak, namun saya terus katakan, pangan lokal membua kita mandiri, tak bergantung pada pihak lain," kata Rofi'ah. Mereka memamerkan pangan lokal yang antara lain berbahan dasar sorgum merah, sorgum putih, jelai, jagung pulut, dan jewawut.
   Setelah mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tujuh perempuan pejuang pangan lokal dari Oxfam yang berkolaborasi dengan Aliansi Desa Sejahtera pada 8 Maret 2013, ia mengatakan, "saya melakukan ini bukan untuk mencari tenar. Saya hanya fokus mengembangkan pangan lokal, pemberdayaan perempuan, dan isu jender."
   Rofi'ah berharap pemerintah mendukung inisiatif masyarakat untuk mengembangkan pangan lokal. Ketergantungan pada beras hanya berujung pada bantuan raskin (beras untuk rakyat miskin) yang mengakibatkan warga malas dan manja.
   "Lepas kebun berarti kita mau melepaskan hidup," kata Rofi'ah, yang juga mendorong hidupnya kembali tenun lokal.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 19 MARET 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar