Saat tak ada yang peduli pendidikan bagi suku Hoaulu, Joris Lilimau tampil berperan. Ia mengenalkan sekolah bagi suku yang tinggal dikawasan hutan Taman nasional Manusela, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, itu.
Oleh A PONCO ANGGORO
JORIS LILIMAU
Lahir : Kanike, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku
Istri : Debora Limehue (44)
Anak : 5 orang
Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru Ambon, 1982
Pekerjaan : - Guru di Sekolah Dasar (SD) Kanike, Seram Utara, 1984-1988
- Guru di SD Kobisonta, Seram Utara, 1988-1994
- Guru di SD Rumah Sokat, Seram Utara, 1994-2008
- Guru di SD Kecil Hoaulu, Seram Utara, 2008-kini
Jumat (30/4) pukul 06.30 waktu setempat,masih terluang waktu satu jam sebelum pelajaran di Sekolah Dasar Kecil Hoaulu dimulai. namun para murid sudah datang dan duduk di kelas. Saat sang guru datang, 30 murid di dua kelas itu mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa seorangpun berani mengobrol. Dua tahun lalu, jangan membayangkan antusiasme anak-anak Hoaulu seperti itu.
"Ketika sekolah darurat masih dirintis, tak ada siswa yang mau datang," kenang Joris. Saat itu, bangunan sekolah beratap sirap, berdinding batang kayu. Ruang kelas kerap kosong. Padahal, masyarakat Hoaulu secara gotong royong selama enam bulan telah membangunnya.
"Kesadaran masyarakat untuk membangun sekolah ternyata tidak serta merta dibarengi kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka." katanya.
Harap maklum, mereka sejak ratusan lalu terbiasa menghabiskan hari-hari dengan berburu atau bekerja di ladang. Pendidikan sama sekali tidak dikenal sehingga mereka tidak melihatnya sebagai hal penting. Jadi, meski pendidikan sekolah itu gratis dan anak-anak tidak perlu membawa alat tulis dan berseragam sekolah, tetap saja tidak satu pun anak Hoaulu yang mau sekolah. Joris, yang lahir dan dibesarkan di Kanike, desa pedalaman di Manusela, menyadari kondisi itu, tetapi ia tak patah arang.
"tahun 2008, saya minta dipindahkan ke Hoaulu untuk mengajar masyarakat pedalaman Hoaulu, agar mereka tak terus tertinggal. Kasihan, mereka tidak pernah bisa membaca, menulis atau menghitung. Sekolah yang ada jaraknya puluhan kilometer dari kampung mereka,"katanya.
untuk ke sekolah, warga Hoaulu harus berjalan kaki melintasi hutan dan sungai Oni yang saat musim hujan aliran airnya sangat deras. Perjalanan itu membutuhkan waktu sekitar tiga jam.
Kue dan permen
Joris mengakui, hanya tekad kuatlah yang membuatnya tetap sabar, mendatangi satu persatu warga Hoaulu, untuk menjelaskan pentingnya pendidikan. Biar anak-anak mau bersekolah, ia memberi mereka kue atau permen.
"Selama dua bulan, saya melakukan hal itu. Perlahan, mereka mulai mau belajar. Sekarang, justru murid yang datang ke sekolah jauh lebih cepat daripada gurunya, ha-ha-ha,"katanya.
Belakangan, tak hanya anak-anak yang mau belajar. Para remaja berusia 14-16 tahun pun hadir di sekolah. Joris tak mempermasalahkan perbedaan usia tersebut.
"Lebih penting membuat mereka bisa membaca dan menulis biar bisa mengejar ketertinggalan dengan dunia luar," katanya.
Joris mengajari mereka dengan modal 10 buku pelajaran pemberian murid dan guru dari SD di Rumah Sokat, Seram Utara, tempat dia mengajar sebelumnya.
Tak hanya mendekati warga dan anak-anak Hoaulu, Joris pun berupaya menyampaikan kondisi di Hoaulu kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah.
Berulang kali dia mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD kabupaten Maluku Tengah agar mau memperhatikan warga Hoaulu. Padahal untuk itu, Joris harus ke Masohi, ibukota Kabuoaten Maluku Tengah yang jaraknya sekitar 140 kilometer dari Hoaulu. Perjalanan itu ditempuhnya dengan menumpang angkutan umum atau sepeda motor sekitar lima jam.
Sekitar setahun ia berjuang, pada April 2009 sekolah darurat di Hoaulu itu diakui pemerintah. September 2009, pemerintah memberikan bantuan berupa uang untuk pembangunan dua ruang kelas di Hoaulu. Pemerintah juga menugaskan seorang guru honorer, Mike Lilimau (21) untuk membantunya mengajar.
Namun setelah sekolah selesai dibangun, perhatian pemerintah malah menghilang. Alat tulis, buku pelajaran, dan penunjang kegiatan belajar mengajar tidak pernah diberikan.
"Saya sampai menangis meminta barang-barang itu, tetapi tidak pernah diberi," keluhnya.
Uang pribadi
Tak ingin semangat belajar anak-anak mengendur, Joris mengeluarkan uang dari kocek pribadi guna membeli barang-barang penunjang kegiatan belajar. Dua papan tulis dengan spidol untuk keperluan dua kelas di SD Kecil Hoaulu itu dibelinya seharga Rp.300.000,-
Meski dengan kondisi dan sarana penunjang amat terbatas, Joris tak ingin kegiatan belajar mengajar yang sudah diperjuangkannya itu terhenti. Kini sebagian warga Hoaulu mulai bisa membaca, menulis, dan menghitung.
Setamat sekolah pendidikan guru (SPG) di Ambon, pada tahun 1982, Joris menjadi guru sejak tahun 1984. Dia senang saat ditugaskan mengajar di Kanike.
"Saya memang ingin mengabdi di kampung halaman," katanya.
Sama seperti di Hoaulu, Kanike juga berada di tengah belantara hutan di Manusela. Untuk mencapai kampung itu, orang harus berjalan kaki selama satu hingga dua hari dari Hoaulu. Saat musim hujan, Kanike kerap kali tidak bisa dicapai karena derasnya aliran sungai yang melintas di antara kanike dan Hoaulu.
Meski harus pindah dari kanike, tekad Joris untuk membuat warga kampung terpencil bisa melek huruf tetap membara. Tahun 1988, dia harus mengajar di SD Kobisonta, Seram Utara, kemudian pada tahun 1994 ia pindah mengajar di SD Rumah Sokat, Seram Utara. Ketika itu, kedua tempat tersebut termasuk pelosok.
Joris bercerita, sekitar tahun 2007 keterisolasian Desa Kobisonta dan Desa Rumah Sokat akhirnya terbuka. Ini dimungkinkan setelah pembangunan Jalan Trans Seram yang menghubungkan Kabupaten Maluku Tengah dan Seram bagian Timur selesai dibangun.
"Memang menjadi guru, ya harus seperti ini. Dimanapun guru ditugaskan harus siap. Jangan seperti guru yang waktu ditugaskan di daerah pelosok langsung minta pindah atau hanya mau gajinya. Tetapi, mereka (sebagian guru) hanya sesekali saja mengajar di sekolah itu, kasihan anak murid," katanya.
Mengajar di daerah terpencil membuat dia merasa amat bahagia. "Ini sesuatu yang tak ternilai harganya," ujar Joris tentang anak-anak didiknya yang sebagian sudah menjadi polisi, bidan, juga guru seperti dia.
"Anak-anak pedalaman itu tak ada bedanya dengan anak-anak perkotaan. Berilah mereka kesempatan mengenyam pendidikan, maka mereka akan membuktikan diri sama pintarnya dengan anak-anak di kota," tegasnya.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 31 MEI 2010
Oleh A PONCO ANGGORO
JORIS LILIMAU
Lahir : Kanike, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku
Istri : Debora Limehue (44)
Anak : 5 orang
Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru Ambon, 1982
Pekerjaan : - Guru di Sekolah Dasar (SD) Kanike, Seram Utara, 1984-1988
- Guru di SD Kobisonta, Seram Utara, 1988-1994
- Guru di SD Rumah Sokat, Seram Utara, 1994-2008
- Guru di SD Kecil Hoaulu, Seram Utara, 2008-kini
Jumat (30/4) pukul 06.30 waktu setempat,masih terluang waktu satu jam sebelum pelajaran di Sekolah Dasar Kecil Hoaulu dimulai. namun para murid sudah datang dan duduk di kelas. Saat sang guru datang, 30 murid di dua kelas itu mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa seorangpun berani mengobrol. Dua tahun lalu, jangan membayangkan antusiasme anak-anak Hoaulu seperti itu.
"Ketika sekolah darurat masih dirintis, tak ada siswa yang mau datang," kenang Joris. Saat itu, bangunan sekolah beratap sirap, berdinding batang kayu. Ruang kelas kerap kosong. Padahal, masyarakat Hoaulu secara gotong royong selama enam bulan telah membangunnya.
"Kesadaran masyarakat untuk membangun sekolah ternyata tidak serta merta dibarengi kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka." katanya.
Harap maklum, mereka sejak ratusan lalu terbiasa menghabiskan hari-hari dengan berburu atau bekerja di ladang. Pendidikan sama sekali tidak dikenal sehingga mereka tidak melihatnya sebagai hal penting. Jadi, meski pendidikan sekolah itu gratis dan anak-anak tidak perlu membawa alat tulis dan berseragam sekolah, tetap saja tidak satu pun anak Hoaulu yang mau sekolah. Joris, yang lahir dan dibesarkan di Kanike, desa pedalaman di Manusela, menyadari kondisi itu, tetapi ia tak patah arang.
"tahun 2008, saya minta dipindahkan ke Hoaulu untuk mengajar masyarakat pedalaman Hoaulu, agar mereka tak terus tertinggal. Kasihan, mereka tidak pernah bisa membaca, menulis atau menghitung. Sekolah yang ada jaraknya puluhan kilometer dari kampung mereka,"katanya.
untuk ke sekolah, warga Hoaulu harus berjalan kaki melintasi hutan dan sungai Oni yang saat musim hujan aliran airnya sangat deras. Perjalanan itu membutuhkan waktu sekitar tiga jam.
Kue dan permen
Joris mengakui, hanya tekad kuatlah yang membuatnya tetap sabar, mendatangi satu persatu warga Hoaulu, untuk menjelaskan pentingnya pendidikan. Biar anak-anak mau bersekolah, ia memberi mereka kue atau permen.
"Selama dua bulan, saya melakukan hal itu. Perlahan, mereka mulai mau belajar. Sekarang, justru murid yang datang ke sekolah jauh lebih cepat daripada gurunya, ha-ha-ha,"katanya.
Belakangan, tak hanya anak-anak yang mau belajar. Para remaja berusia 14-16 tahun pun hadir di sekolah. Joris tak mempermasalahkan perbedaan usia tersebut.
"Lebih penting membuat mereka bisa membaca dan menulis biar bisa mengejar ketertinggalan dengan dunia luar," katanya.
Joris mengajari mereka dengan modal 10 buku pelajaran pemberian murid dan guru dari SD di Rumah Sokat, Seram Utara, tempat dia mengajar sebelumnya.
Tak hanya mendekati warga dan anak-anak Hoaulu, Joris pun berupaya menyampaikan kondisi di Hoaulu kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah.
Berulang kali dia mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD kabupaten Maluku Tengah agar mau memperhatikan warga Hoaulu. Padahal untuk itu, Joris harus ke Masohi, ibukota Kabuoaten Maluku Tengah yang jaraknya sekitar 140 kilometer dari Hoaulu. Perjalanan itu ditempuhnya dengan menumpang angkutan umum atau sepeda motor sekitar lima jam.
Sekitar setahun ia berjuang, pada April 2009 sekolah darurat di Hoaulu itu diakui pemerintah. September 2009, pemerintah memberikan bantuan berupa uang untuk pembangunan dua ruang kelas di Hoaulu. Pemerintah juga menugaskan seorang guru honorer, Mike Lilimau (21) untuk membantunya mengajar.
Namun setelah sekolah selesai dibangun, perhatian pemerintah malah menghilang. Alat tulis, buku pelajaran, dan penunjang kegiatan belajar mengajar tidak pernah diberikan.
"Saya sampai menangis meminta barang-barang itu, tetapi tidak pernah diberi," keluhnya.
Uang pribadi
Tak ingin semangat belajar anak-anak mengendur, Joris mengeluarkan uang dari kocek pribadi guna membeli barang-barang penunjang kegiatan belajar. Dua papan tulis dengan spidol untuk keperluan dua kelas di SD Kecil Hoaulu itu dibelinya seharga Rp.300.000,-
Meski dengan kondisi dan sarana penunjang amat terbatas, Joris tak ingin kegiatan belajar mengajar yang sudah diperjuangkannya itu terhenti. Kini sebagian warga Hoaulu mulai bisa membaca, menulis, dan menghitung.
Setamat sekolah pendidikan guru (SPG) di Ambon, pada tahun 1982, Joris menjadi guru sejak tahun 1984. Dia senang saat ditugaskan mengajar di Kanike.
"Saya memang ingin mengabdi di kampung halaman," katanya.
Sama seperti di Hoaulu, Kanike juga berada di tengah belantara hutan di Manusela. Untuk mencapai kampung itu, orang harus berjalan kaki selama satu hingga dua hari dari Hoaulu. Saat musim hujan, Kanike kerap kali tidak bisa dicapai karena derasnya aliran sungai yang melintas di antara kanike dan Hoaulu.
Meski harus pindah dari kanike, tekad Joris untuk membuat warga kampung terpencil bisa melek huruf tetap membara. Tahun 1988, dia harus mengajar di SD Kobisonta, Seram Utara, kemudian pada tahun 1994 ia pindah mengajar di SD Rumah Sokat, Seram Utara. Ketika itu, kedua tempat tersebut termasuk pelosok.
Joris bercerita, sekitar tahun 2007 keterisolasian Desa Kobisonta dan Desa Rumah Sokat akhirnya terbuka. Ini dimungkinkan setelah pembangunan Jalan Trans Seram yang menghubungkan Kabupaten Maluku Tengah dan Seram bagian Timur selesai dibangun.
"Memang menjadi guru, ya harus seperti ini. Dimanapun guru ditugaskan harus siap. Jangan seperti guru yang waktu ditugaskan di daerah pelosok langsung minta pindah atau hanya mau gajinya. Tetapi, mereka (sebagian guru) hanya sesekali saja mengajar di sekolah itu, kasihan anak murid," katanya.
Mengajar di daerah terpencil membuat dia merasa amat bahagia. "Ini sesuatu yang tak ternilai harganya," ujar Joris tentang anak-anak didiknya yang sebagian sudah menjadi polisi, bidan, juga guru seperti dia.
"Anak-anak pedalaman itu tak ada bedanya dengan anak-anak perkotaan. Berilah mereka kesempatan mengenyam pendidikan, maka mereka akan membuktikan diri sama pintarnya dengan anak-anak di kota," tegasnya.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 31 MEI 2010