Senin, 07 Juni 2010

Japuris, Kreatif dengan Akar Sirih

Awalnya adalah kebetulan. Akar lapuk yang terbawa air itu tiba-tiba menginspirasi Japuris Chan untuk berkreasi. Kisah yang melibatkan akar pohon itu lalu mulai bergulir hingga Japuris kemudian dikenal sebagai perajin akar.

DATA DIRI

Nama : Japuris Chan
Lahir : Batang Kapas, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 23 Desember 1965
Istri : Eva Yunida (39)
Anak : - Fauzul Azim (16)
- Zul Fadli (14)
- Chairul Azmi (10)
- Risfaldi (9)
- Abdul Hafis (16 bln)
Pendidikan : - SPG Painan
- D-2 universitas Terbuka Padang Pariaman
- Sedang menempuh S-1 Universitas Terbuka Padang Pariaman
Pekerjaan : - Guru Kelas V SD Negeri 17, Sipisang, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam,
Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
- Perajin akar sirih

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY

Tahun 2002, japuris melihat akar pohon yang tersangkut di badan sungai Batang Anai, Sumatera Barat. Namun, Japuris yang sehari-hari bekerja sebagai guru SD ini tidak langsung bereaksi. Dia hanya melirik akar pohon itu dari atas sepeda motor saat melintasi jembatan yang membentang di atas sungai tersebut.
Baru pada kali ketiga melintasi jembatan, Japuris tergerak untuk menghentikan sepeda motor di tepi jembatan. Dipandang-pandanginya akar itu. Niatnya pun bulat. Dia segera berbalik kerumah, lalu membawa gergaji saat kembali ke sungai. Akar itu dia gergaji dan dibantu seorang tukang ojek dibawanya akar pohon tersebut ke rumahnya di Dusun Pasa Usang, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Melihat akar lapuk di dalam rumah, Eva Yunida, istri Japuris, kontan berniat membuangnya. "Untuk apa barang lapuk macam ini? Lebih baik dibuang saja daripada memenuhi halaman rumah," kata Eva, mengenang masa itu.
Namun, Japuris berhasil meyakinkan istrinya agar tidak membuang akar itu. Ide kreatif untuk membuat meja pajangan semakin kuat dibenaknya. Dia melihat kayu lapuk itu bagaikan sosok perempuan yang tengah menari piring.
Maka, jadilah akar itu sebagai meja pajang. Benda inilah yang kemudian mengisi ruang pamer di Anai Resort. Selain itu, Japuris juga membuat dua benda lagi dari akar yang sama.
Setelah selesai membentuk akar untuk pertama kali, ide kreatif Japuris pada media akar rupanya masih terus membayang. Tak hanya menunggu akar yang terbawa hanyut air sungai, ia beberapa kali masuk keluar hutan untuk mencari akar yang bisa digunakan guna menyalurkan ide kreatifnya.
Periode 2002-2004 merupakan masa eksperimental bagi Japuris. Berbagai jenis akar telah dipotong dan dibawanya pulang untuk dikembangkan menjadi karya seni. namun, selama dua tahun itu, tak ada satu karya pun yang dia hasilkan.
Untuk itu, keluar masuk hutan yang berjarak 2,5 jam berjalan kaki, sering dilakukan Japuris. Di hutan, dia acapkali merenung sambil memandangi akar-akar pohon. Dia berusaha membayangkan kemungkinan karya yang bisa dihasilkan dari akar. Tak hanya tenaga dan waktu, tetapi Japuris pun tak sayang mengeluarkan uang dari koceknya untuk mengolah akar.

Benalu

Sampai suatu saat ia menemukan akar sirih sebagai medium yang paling pas untuk berkreasi. Akar sirih yang kerap disebut Liana itu, tergolong benalu yang bisa mematikan pohon yang sudah dililitnya. Akar sirih mempunyai akar sendiri. Bila bertemu pohon, tumbuhan ini akan segera tumbuhnya pohon. Namun, bila tak bertemu tanaman lain, akar sirih menjalar lurus saja diatas tanah.
Seusai mendapatkan akar sirih, Japuris lalu mencoba berbagai cara untuk mendapatkan perekat akar. Sejumlah percobaan juga ditempuhnya demi mendapatkan metode untuk mengeluarkan ,otif "batik" alami dari dalam kayu itu.
"banyak tetangga yang mengatakan, saya gila karena akar sirih ini belum pernah dijadikan media berkarya seni. Sejumlah eksperimen saya juga tidak menghasilkan satu produk pun yang bisa diperlihatkan. Tapi, saya tetap yakin dan terus bereksperimen," kata Japuris yang mengerjakan karya itu seusai mengajar.
Karya pertama yang dihasilkan Japuris membutuhkan waktu pengerjaan sampai tujuh bulan. Setelah seluruh metode pengerjaan akar dia kuasai, belakangan ia hanya perlu waktu sebulan untuk menyelesaikan aneka produk dari akar yang berusia berpuluh-puluh tahun itu.
Ia bisa membentuk lemari, seperangkat meja kursi, hingga tempat tidur dari akar sirih. Bila belum pernah melihat langsung sulit rasanya membayangkan mebel ini berbahan baku tumbuhan yang berdiameter 20-3- sentimeter.
Ia lalu menggunakan sebagian dari halaman rumahnya sebagai "studio". Ketika ditemui distudio yang disekat plastik dan beratapkan seng itu, Japuris tengah mengerjakan sebuah mimbar pidato.
Mimbar yang nantinya dilengkapi dengan pahatan burung garuda itu diharapkannya bisa menghiasi Istana Negara, Jakarta "Atau minimal, ya untuk kantor Gubernur Sumatera Barat," ujar Japuris yang untuk meengerjakan produknya itu dibantu dua sampai 10 orang. Mereka bertugas mulai dari menyurvei lokasi akar sirih dihutan, membawanya dari hutan ke rumah, sampai membantu mengerjakannya sampai berbentuk produk.
Ia tak bisa mematok target produksi karena pengerjaan akar sirih itu bergantung pada moda karyanyal dan ide yang bisa dia dapatkan. Japuris juga tak ingin sampai harus "kejar tayang" untuk memperbanyak produk. Harga karyanya berkisar dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah.

Kreativitas

Belakangan, setelah bergelut dengan akar, Japuris mempunyai keahlian lain, ia bisa menambal kayu-kayu kusen yang keropos dari serbuk akar. Dia juga menemukan lem dari getah akar.
Setelah melalui rangkaian percobaan, Japuris memastikan kekuatan kusen yang baru diperbaiki (dengan caranya itu) tak kurang kekuatannya dibandingkan kayu baru untuk menggantikan kusen.
"Padahal, biaya penambalan kusen dengan serbuk akar ini lebih hemat, hanya sepertiga dari biaya penggantian kayu kusen. namun, hasilnya tak kalah dari kayu baru," ujar Japuris yang berharap suatu hari nanti bisa membuat rumah dengan bahan baku utama dari akar tumbuhan ini.
Dengan keterampilan mengolah akar yang dimilikinya, Japuris dapat membayangkan pembuatan tiap detail rumah idamannya itu.
"Masalahnya, dana yang belum mencukupi," ujar Japuris yang bersama keluarganya tinggal di rumah dinas Komplek Perumahan SDN 02 Kayu Tanam, sekitar 60 kilometer dari Kota Padang, meskipun ia mengajar di SD itu pada 1990-2000, atau delapan tahun silam.
Tidak berbeda dengan situasi yang melingkupi pada umumnya perajin, Japuris pun menghadapi kesulitan untuk memasarkan produknya. Dengan bahan baku yang "khas" dan pengerjaan yang relatif lama, dia tak bisa terlalu menekan harga produk. Harga mebel atau asesoris ruangan buatan Japuris berkisar dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.
Apalagi sebagaian konsumen umunya tidak melihat produk Japuris sebagai sebuah karya yang memerlukan sentuhan pengerjaan tersendiri sehingga mereka merasa harga yang ditawarkannya terlalu tinggi.
"Sebagian orang kita belum bisa menghargai sebuah karya seni, hasil kerajinan tangan yang unik," kata Japuris, ayah dari lima putra ini.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 9 DESEMBER 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar