Selasa, 29 Juni 2010

Kiat Guntoro Mandirikan Petani

Berawal dari tekad mencegah kepunahan kambing gembrong (termasuk "capra aegragrus"), Suprio Guntoro berhasil membuka cakrawala tentang metode peternakan dan pertanian yang lestari. Hasil penelitiannya tentang probiotik hewan ruminansia atau memamahbiak telah memberdayakan sekaligus menjadi tumpuan ribuan peternak dan petani di Bali, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara.

SUPRIO GUNTORO

Lahir : Jember, 18 Juni 1957
Pendidikan: - S1 Nutrisi Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, 1984
Pelatihan antara lain:
- Kursus akupunktur hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 1997
- Pelatihan produksi biofuel Puslit Bioenergi IPB, 2007
Temuan teknologi di antaranya :
- Probiotik Bio-CAS untuk ternak ruminansia, 2004
- Inokulan "Rummino Bacillus" untuk kompos, 2004
- Instalasi pengolahan limbah ternak untuk produksi biogas, biourine, biokultur, dan pakan,2006
- Probiotik "Bio-B" untuk unggas pedaging dan probiotik "Bio-L" untuk unggas petelur, 2009-
kini dalam penelitian
- Produksi kopi probiotik luwak, 2010-kini dalam penelitian
Buku antara lain :
- Budi daya ulat sutra, 1994
- Panca Pesona Wisata Agro, 1996
- Budi daya Sapi Bali, 2002
- Bertani di Pinggiran Kota, 2005
- Budidaya Salak Bali, 2005
- Model pertanian tekno-ekologis untuk mengantisipasi perubahan iklim, sedang ditulis.

Oleh BENNY DWI KOESTANTO

Bali menyajikan fenomena subtil sekaligus ironis. Di satu sisi pariwisata diagungkan meski secara fisik mengorbankan sebagian alamnya. Lahan subur pertanian disesaki vila. Kaum muda tenggelam dalam bisnis pariwisata, meninggalkan pertanian.
Di sisi lain muncul pribadi dan kelompok yang percaya pertanian lestari adalah sumber dan daya hidup yang sesungguhnya menunjang pariwisata, selain religi dan budayanya. Dalam kerangka itulah Guntoro, panggilannya memberi warna.
Di Kecamatan Busung Biu, Buleleng, gerakan pertanian integratif atau organik menjadi penegas fenomena itu. Ribuan heltar kebun kopi tumbuh subur dengan hasil melimpah, bersamaan dengan hasil ternak berbagai jenis kambing dan turunannya, seperti susu, keripik susu, hingga produk wine salak Bali. Sarjana atau warga setempat yang mengadu nasib ke Denpasar sebagai tukang kebun hotel mewah pun kembali ke kampung. Mereka ikut mengembangkan pertanian di desa.
"Waktu harga kopi jatuh, tanaman kopi sempat akan diganti tanaman semusim. Itu jelas berbahaya dari sisi lingkungan karena kecamatan di dataran tinggi yang rawan longsor. Kami lalu kenalkan mereka dengan peternakan kambing yang pakannya antara lain dari kebun kopi," katanya.
Pengembangan pertanian integratif di Busung Biu bisa pesat karena sentuhan teknologi yang dimotori Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali lewat program Prima Tani. Di lembaga itulah Guntoro menjadi penelitinya.
Di Busung Biu, BTPT antara lain menciptakan mesin pengupas kulit kopi dan kacang, membantu proses pembuatan pupuk cair dari kencing sapi dan kambing, dan cairan probiotik yang dicampur pakan aneka hewan ruminansia sehingga bobot tubuh hewan naik optimal.
Ketika berhasil diterapkan, daerah binaan diperluas. Di Busung Biu, misalnya, ada lima desa dengan puluhan kelompok petani yang menerapkan pertanian integratif. BPTP Bali sekaliogus memfasilitasi petani dan kelompok petani daerah lain di Indonesia untuk belajar sistem pertanian ini di Busung Biu.
Gerakan itu menyebar ke beberapa daerah lain di Bali, seperti Sukasada dan Gerokgak di Kabupaten Buleleng, Pupuan (Tabanan), Petang (Badung), Kintamani dan Susut (Karangasem), dengan cakupan areal ribuan hektar.

Ujung timur Bali

Penelitian Guntoro perihal probiotik ruminansia bermula dari pengalamannya di ujung timur Bali, Kabupaten Karangasem. Ia menyurvei desa-desa di Kabupaten Karangasem, habitat asli kambing gembrong, pada 1998. Hasilnya, kambing gembrong tinggal 64 ekor. Ini memprihatinkan. Kambing gembrong harus diselamatkan.
Dengan dana bantuan Yayasan Kehati, BPTP mengembangbiakan 25 ekor di antaranya dengan sistem gaduh di kalangan petani nelayan. "Program itu kurang berhasil, terbentur kondisi perekonomian warga yang rata-rata petani-nelayan. Sejumlah kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup warga," ujarnya.
Guntoro melihat kambing itu cenderung kurus karena kurang pakan. Hampir tak mungkin memberi makan kambing dengan konsentrat yang dibeli di pasaran. Ia lalu berpikir untuk menghasilkan konsentrat buatan sendiri dengan probiotik hewan ruminansia.
Probiotik itu diisolasi dri rumen (lambung depan) sapi bali. Eksperimen dimulai tahun 2001 dan disempurnakan pada 2004. Selain menggunakan laboratorium di BPTP Bali, ia pun memakai laboratorium Universitas Udayana sebagai tempat penelitian.
Salah satu hasil penelitian Guntoro yang sudah memperoleh hak paten Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, adalah proses pembuatan tepung sampah dan komposisi pakan untuk menggemukan ternak ruminansia.
Bersama lima rekan di BPTP Bali, penelitian Guntoro perihal instalasi biogas, biourine, dan biokultur masuk dalam buku 100 Inovasi Badan Litbang Pertanian 2008. Penelitian itu menjelaskan proses pengolahan aneka limbah ternak seperti urine ternak yang diolah untuk pupuk, gas untuk memasak dan penerangan, dan sludge (limbah biogas) berbentuk pasta menjadi biokultur.
Ia juga mengembangkan teknologi produksi trichoderma (sejenis jamur tanah) cair. Fermentasi trichoderma digunakan sebagai bahan campuran pakan ternak dan pengendalian penyakit (biopestisida), terutama pada tanaman perkebunan seperti mete dan kakao.
Hasil penelitian Guntoro lainnya, cairan probiotik Bio-CAS. Bio-CAS merupakan singkatan dari bio curcumae alicin scordinin. Probiotik ini mempercepat pertumbuhan, menjaga kesehatan, dan menghilangkan bau kotoran ternak. Cairan ini juga meningkatkan bobot lahir anak sapi pada sapi betina bunting.
Umumnya bobot sapibali lahir sekitar 16 kilogram. Dengan konsumsi Bio CAS, bobotnya naik menjadi 18-19 kilogram. Probiotik digunakan sedikitnya oleh 1.500 peternak sapi di Jember (Jawa Timur), Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Bagi Guntoro, pengalaman dengan kambing gembrong itu amat membekas. Ia jadi tahu ternyata uang peternak habis untuk pakan. Maka, pilihannya berujung pada dua cara: membuat pakan murah atau mengefisiensikan penggunaan pakan. Di Bali, bahan pakan ternak terbatas, demikian pula pabriknya. Maka, effisiensi pakan menjadi pilihan. Ia lalu mengoptimalisasi mikroba di pencernaan hewan ruminansia untuk membuat aneka asupan pakan ternak.
"Saya melakukan ini karena prihatin pada praktik kapitalisasi pertanian. Sebaiknya peneliti tak hanya kaya metodologi, tapi juga ideologi. Bagaimana kekuatan peneliti melawan kapitalisasi pertanian, demi rakyat kecil. Teknologi adalah alat tawar agar kita tidak terkapitalisasi.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 30 JUNI 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar