Senin, 28 Juni 2010

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan

Dimata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapapun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti "rumah" dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan

DIDIT HARI PURNOMO
Lahir : Lumajang, 14 September 1952
Istri : Budha Ersa
Anak : Endhi Naryamarendra (alm), Dea Arri Rajasa, Ramadhani Wuri Pramesti
Pendidikan : Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS),
Surabaya
Pekerjaan : Wartawan TVRI (1975-2005)
Kegiatan : Pendiri dan Pengasuh Sanggar Alang-Alang
Pencapaian : - Vocational Award Rotary Club Surabaya
- Surabaya Academy Award 2003
- Penghargaan dari Pemprov Jawa Timur sebagai seniman dan Penggiat
Anak-anak Jalanan 2008

Oleh MARIA SERENADE SINURAT

Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri. SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka.
Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga. Disanggar, Didit menjadi bapak, Istrinya, Budha ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.
Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan berperilaku. "Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah," ujar pensiunan pegawai TVRI ini.
Pendidikan perilaku hanya hanya satu dari dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan. "Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan," katanya.
Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan praktis

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, Tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada pilisi jika dilecehkan secara seksual.
lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas dilapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orang tua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anakpun lari ke jalanan. Banyak anak yang di eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja dijalanan.
Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk dipangkuan ibunya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya. "kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang dijalan," kata Didit.
Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional.Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri. "Jika mereka kembali kejalan, artinya mereka tidak lulus," kata Didit.
Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana. "Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara milyaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma," kata Didit. SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang

Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. "Kasih sayang" kata kakek satu cucu ini. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat.
Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan. Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendambakan rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.
Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan. Dibalik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan.
Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka "komunitas sekolah malam".Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit.
Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp. 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.
Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung kepada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.
Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya diterima di universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan. "Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal, saya senang luar biasa," kata Didit.
Ada lagi Mu'ad (18). Dua tahun lalu Kompas bertemu Mu'ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. namun, kini Mu'ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.
Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang. Dia kian optimis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyarakat.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 9 JUNI 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar