Bertanam gandum? Apa benar tanaman iklim sub tropis itu bisa diadaptasikan di iklim tropis Indonesia? Begitu antara lain pertanyaan yang sembilan tahun lalu memenuhi benak Djoko Murdono. Ketika itu, dia turut serta dalam upaya menelurkan gandum varietas Dewata yang berasal dari galur DWR 162 asal India.
DJOKO MURDONO
Lahir : Semarang, 31 Desember 1960
Istri : Soelistya Widyaningsih (47)
Anak : - Galih Winisuda (21)
- Febrianie Pentadini (16)
Pendidikan : - S1 Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 1985
- S2 Institut Pertanian Bogor, Pemuliaan Tanaman, 1993
- S3 FP Universitas Gadjahmada, 2001-2003, tidak selesai
Jabatan : - Dosen FP UKSW Salatiga (1985-sampai sekarang)
- Kepala Pusat Studi Gandum FP UKSW (2006-sekarang)
- Kepala Laboratorium FP UKSW (2004-sekarang)
Oleh ANTONY LEE
Kini pertanyaan itu terjawab sudah. Tahun ketiga setelah penelitian, upaya Djoko dan beberapa peneliti dari Departemen Pertanian serta sejumlah perguruan tinggi negero dan swasta lainnya membuahkan hasil. Varietas Dewata diluncurkan pada tahun 2003 dengan hasil biji 2,96 ton perhektar dan kandungan protein 13,94 persen. Gandum varietas itu lebih seragam dari sisi hasil dan bentuk biji ketimbang indukannya, DWR 162. Dewata juga tahan terhadap penyakit busuk akar.
Selain Djoko, pemulia varietas Dewata yang tercatat adalah Muslimah, M Jusuf, Sumarny Singgih, Marsum Dahlan, Rudiyanto, Riyo Samekto, dan Bistok Simanjuntak. Awal perkenalan Djoko dengan budidaya gandum dimulai tahun 2000 dalam proyek penelitian seleksi awal dan produksi benih gandum yang disponsori salah satu produsen terigu di Indonesia.
Djoko Murdono dan sejumlah koleganya di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, mencoba menanam gandum DWR 162 di lahan lebih kurang 3.000 meter persegi di kebun percobaan Salaran, sekitar 5 kilometer dari kawasan wisata Sopeng di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti lainnya mencoba menanam di Boyolali, Bogor, Pasuruan, dan Malang (jawa Timur), serta Maros (Sulawesi selatan). Setelah panen, ternyata gandum yang hasilnya baik yang ditanam di Salaran dan Pasuruan.
Penelitian itu terus didalami dengan menyisihkan tanaman gandum yang menyimpang (off type) supaya varietas gandum yang dihasiolkan seragam, baik jumlah maupun bentuk bijinya.
"Sewaktu tanam awal suhu di Salaran mencapai 26 derajat celcius karena terlambat tanam sekitar Agustus. Paahal, dalam literatur disebutkan suhu normal gandum 16-21 derajat celcius. Saya khawatir apakah bijinya bagus. Untung hasilnya cukup baik," tutur Djoko saat ditemui di Salaran, awal Oktober.
Tahun 2001-2003, dia tidak terlalu aktif karena studi doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun, lantaran dekat, dia tetap menyempatkan diri membantu. Baru setelah biaya studinya tiba-tiba dihentikan tahun 2003, dia mulai berkonsentrasi penuh mengurusi gandum. Bertepatan pula ketika itu kucuran dana untuk penelitian gandum terhenti pada akhir tahun 2004.
Tanpa pamrih
sebaliknya, Djoko yang sudah ditunjuk membidani lahirnya Pusat Studi Gandum di FP UKSW kian bersemangat. Meski sejak tahun 2005 otomatis tak ada kucuran dana, dia terus meneliti. Dia membiayai penelitian dengan menjualbiji gandum untuk diputar kembali sebagai modal penelitian. Biji gandum off type yang sengaja disisihkan dijual Rp.7.500 per kilogram.
Pada tahun 2007, dia mulai menjual dalam bentuk tepung kasar seharga Rp.7.000 per kilogram. Tahun 2008, produknya ditambah dengan katul (kulit gandum) yang sudah dihaluskan Rp.1.500 per kemasan ukuran 100 gram dengan pembelian minimal 100 kemasan. Hasil penjualan itu yang membuat penelitian gandum di FP UKSW tetap terus bergulir.
"Dia (Djoko) memang orang yang tekun dan tanpa pamrih. Kalau sudah disukainya, walau enggak ada uangnya dia tetap menekuni. Padahal, enggak ada yang bayar atau menyuruh," tutur Dekan Fakultas Pertanian UKSW Salatiga Prof Dr Sony Heru Priyanto.
Di mata Sony, sejawatnya itu memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan gandum yang dilakukan FP UKSW, walau dia mengakui penghargaan bagi upaya Djoko itu masih sangat kecil.
Bagi Sony, Djoko juga memiliki kelemahan dalam perencanaan penelitian. "Tapi justru karena itu, dia tetap bisa lakukan penelitian walau pun enggak ada uang atau uangnya sedikit," kata Sony.
Keseharian Djoko memang sangat bersahaja. Bila bepergian, dengan mobil Daihatsu Hijet warna merah keluaran tahun 1984 yang kerap meraung saat melintasi jalan menanjak diruas Kota Salatiga menuju Salaran. "Saya menyukainya, jadi walaupun enggak ada uangnya saya tetap enjoy," tutur Djoko.
Pangan alternatif
Djoko mengakui masih punya cita-cita mewujudkan idealisme mencoba mengurangi ketergantungan pada gandum impor yang sangat besar, yang sudah menembus 5 juta ton per tahun. Dia khawatir jika tiba-tiba negara eksportir gandum berhenti menjual gandumnya, Indonesia bakal kelimpungan. Apalagi, gandum sudah lekat dengan keseharian, dalam bentuk mi, roti, atau tepung.
Menurut dia, ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering, terutama di dataran tinggi, karena gandum tumbuh baik di daerah berketinggian 600 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl)
Dia kini masih melakukan uji coba menanam gandum di lahan sulit air, seperti di Kabupaten Semarang, Wonosobo, dan Temanggung (Jateng). Uji coba terutama dilakukan di lahan yang sering ditanami tembakau. Dia optimistis karena masa tanam gandum dan tembakau mirip, dimulai April-mei menjelang akhir musim hujan.
Selain itu Djoko dan sejawatnya di Pusat Studi Gandum UKSW memulai tanaman percontohan di Tana Rara dan Lewa di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku sedang membidik dataran Tinggi Lore di perbatasan Kabupaten Palu dan Poso di Sulawesi Tengah yang ketinggiannya 1.000 meter dpl.
"Di situ ada 42.000 hektar lahan yang datar, tetapi hanya ditumbuhi ilalang. Kalau bisa dimanfaatkan, tentu cukup membantu. Untuk bebas impor, setidaknya perlu 2,5 juta hektar, tetapi bisa 1,5 juta hektarsaja sudah bagus," tuturnya.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 NOVEMBER 2009
DJOKO MURDONO
Lahir : Semarang, 31 Desember 1960
Istri : Soelistya Widyaningsih (47)
Anak : - Galih Winisuda (21)
- Febrianie Pentadini (16)
Pendidikan : - S1 Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 1985
- S2 Institut Pertanian Bogor, Pemuliaan Tanaman, 1993
- S3 FP Universitas Gadjahmada, 2001-2003, tidak selesai
Jabatan : - Dosen FP UKSW Salatiga (1985-sampai sekarang)
- Kepala Pusat Studi Gandum FP UKSW (2006-sekarang)
- Kepala Laboratorium FP UKSW (2004-sekarang)
Oleh ANTONY LEE
Kini pertanyaan itu terjawab sudah. Tahun ketiga setelah penelitian, upaya Djoko dan beberapa peneliti dari Departemen Pertanian serta sejumlah perguruan tinggi negero dan swasta lainnya membuahkan hasil. Varietas Dewata diluncurkan pada tahun 2003 dengan hasil biji 2,96 ton perhektar dan kandungan protein 13,94 persen. Gandum varietas itu lebih seragam dari sisi hasil dan bentuk biji ketimbang indukannya, DWR 162. Dewata juga tahan terhadap penyakit busuk akar.
Selain Djoko, pemulia varietas Dewata yang tercatat adalah Muslimah, M Jusuf, Sumarny Singgih, Marsum Dahlan, Rudiyanto, Riyo Samekto, dan Bistok Simanjuntak. Awal perkenalan Djoko dengan budidaya gandum dimulai tahun 2000 dalam proyek penelitian seleksi awal dan produksi benih gandum yang disponsori salah satu produsen terigu di Indonesia.
Djoko Murdono dan sejumlah koleganya di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, mencoba menanam gandum DWR 162 di lahan lebih kurang 3.000 meter persegi di kebun percobaan Salaran, sekitar 5 kilometer dari kawasan wisata Sopeng di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti lainnya mencoba menanam di Boyolali, Bogor, Pasuruan, dan Malang (jawa Timur), serta Maros (Sulawesi selatan). Setelah panen, ternyata gandum yang hasilnya baik yang ditanam di Salaran dan Pasuruan.
Penelitian itu terus didalami dengan menyisihkan tanaman gandum yang menyimpang (off type) supaya varietas gandum yang dihasiolkan seragam, baik jumlah maupun bentuk bijinya.
"Sewaktu tanam awal suhu di Salaran mencapai 26 derajat celcius karena terlambat tanam sekitar Agustus. Paahal, dalam literatur disebutkan suhu normal gandum 16-21 derajat celcius. Saya khawatir apakah bijinya bagus. Untung hasilnya cukup baik," tutur Djoko saat ditemui di Salaran, awal Oktober.
Tahun 2001-2003, dia tidak terlalu aktif karena studi doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun, lantaran dekat, dia tetap menyempatkan diri membantu. Baru setelah biaya studinya tiba-tiba dihentikan tahun 2003, dia mulai berkonsentrasi penuh mengurusi gandum. Bertepatan pula ketika itu kucuran dana untuk penelitian gandum terhenti pada akhir tahun 2004.
Tanpa pamrih
sebaliknya, Djoko yang sudah ditunjuk membidani lahirnya Pusat Studi Gandum di FP UKSW kian bersemangat. Meski sejak tahun 2005 otomatis tak ada kucuran dana, dia terus meneliti. Dia membiayai penelitian dengan menjualbiji gandum untuk diputar kembali sebagai modal penelitian. Biji gandum off type yang sengaja disisihkan dijual Rp.7.500 per kilogram.
Pada tahun 2007, dia mulai menjual dalam bentuk tepung kasar seharga Rp.7.000 per kilogram. Tahun 2008, produknya ditambah dengan katul (kulit gandum) yang sudah dihaluskan Rp.1.500 per kemasan ukuran 100 gram dengan pembelian minimal 100 kemasan. Hasil penjualan itu yang membuat penelitian gandum di FP UKSW tetap terus bergulir.
"Dia (Djoko) memang orang yang tekun dan tanpa pamrih. Kalau sudah disukainya, walau enggak ada uangnya dia tetap menekuni. Padahal, enggak ada yang bayar atau menyuruh," tutur Dekan Fakultas Pertanian UKSW Salatiga Prof Dr Sony Heru Priyanto.
Di mata Sony, sejawatnya itu memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan gandum yang dilakukan FP UKSW, walau dia mengakui penghargaan bagi upaya Djoko itu masih sangat kecil.
Bagi Sony, Djoko juga memiliki kelemahan dalam perencanaan penelitian. "Tapi justru karena itu, dia tetap bisa lakukan penelitian walau pun enggak ada uang atau uangnya sedikit," kata Sony.
Keseharian Djoko memang sangat bersahaja. Bila bepergian, dengan mobil Daihatsu Hijet warna merah keluaran tahun 1984 yang kerap meraung saat melintasi jalan menanjak diruas Kota Salatiga menuju Salaran. "Saya menyukainya, jadi walaupun enggak ada uangnya saya tetap enjoy," tutur Djoko.
Pangan alternatif
Djoko mengakui masih punya cita-cita mewujudkan idealisme mencoba mengurangi ketergantungan pada gandum impor yang sangat besar, yang sudah menembus 5 juta ton per tahun. Dia khawatir jika tiba-tiba negara eksportir gandum berhenti menjual gandumnya, Indonesia bakal kelimpungan. Apalagi, gandum sudah lekat dengan keseharian, dalam bentuk mi, roti, atau tepung.
Menurut dia, ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering, terutama di dataran tinggi, karena gandum tumbuh baik di daerah berketinggian 600 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl)
Dia kini masih melakukan uji coba menanam gandum di lahan sulit air, seperti di Kabupaten Semarang, Wonosobo, dan Temanggung (Jateng). Uji coba terutama dilakukan di lahan yang sering ditanami tembakau. Dia optimistis karena masa tanam gandum dan tembakau mirip, dimulai April-mei menjelang akhir musim hujan.
Selain itu Djoko dan sejawatnya di Pusat Studi Gandum UKSW memulai tanaman percontohan di Tana Rara dan Lewa di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku sedang membidik dataran Tinggi Lore di perbatasan Kabupaten Palu dan Poso di Sulawesi Tengah yang ketinggiannya 1.000 meter dpl.
"Di situ ada 42.000 hektar lahan yang datar, tetapi hanya ditumbuhi ilalang. Kalau bisa dimanfaatkan, tentu cukup membantu. Untuk bebas impor, setidaknya perlu 2,5 juta hektar, tetapi bisa 1,5 juta hektarsaja sudah bagus," tuturnya.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 NOVEMBER 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar