Sekitar tiga bulan lalu ada setumpuk komik yang diperbanyak dengan cara fotokopi. Salah satu dari komik itu dijilid rapi, judulnya "Komik Palsu". Salah satu ceritanya berjudul "Konversi Minyak Tanah".
ABDOEL SEMUTE
Nama Asli : Abdullah
Lahir : Bojonegoro, Jawa Tengah, 14 Agustus 1975
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya
Kegiatan : Membuat komik dan mengelola komikpalsu.blogspot.com
OLEH MARIA SERENADE SINURAT
Gambaran cerita dalam "Konversi Minyak Tanah" itu tidak seperti komik-komik yang biasa beredar di toko-toko buku. Konversi minyak tanah di sini digambarkan sebagai barisan orang-orang bersayap tanpa kepala.
Tidak ada panel-panel dalam komik itu, hanya gurtan garis tebal dan tipis yang seakan seperti coretan asal-asalan. Di sini juga tak ada dialog , hanya kalimat-kalimat seperti racauan.
Cerita dalam komik karya Abdoel Semute dan Benny Soekendo itu akan menjadi cermin kebisuan masyarakat. Mereka yang tidak memiliki pilihan lagi, selain mengganti minyak tanah menjadi gas.
Namun, masyarakat hanya bisa diam. Mereka hanya bisa menerima seperti satu gambaran yang diterakan Semute, panggilannya, pada salah satu lembarnya, yakni menutup mata dan menyimpan bom di dada.
Bagi Semute, komik seharusnya menjadi media yang dapat menangkap kegelisahan sehari-hari. "Komik seharusnya tidak eksklusif, tetapi bisa dibuat dan dibaca oleh siapapun, bahkan oleh seorang tukang becak," ujarnya.
Menyatukan
Semute lebih suka bicara tentang esensi daripada menjelaskan tentang definisi komik yang disebut sebagai komik perlawanan atau komik bawah tanah itu. Dia bercerita, semua itu bermula dari kegelisahannya melihat gempuran komik Jepang (manga).
industri komik yang begitu masif membuat komik menjadi sekadar produk bisu. "Seseorang membeli komik dan membacanya sendiri. Dia tidak pernah tahu siapa yang membuat komik itu dan bagaimana prosesnya. Semua selesai di sini, tidak ada dialognya," ujarnya.
Situasi itu, bagi Semute, seakan mencerabut manusia dari dirinya sendiri. Belum lagi di Surabaya, tempat industri melaju cepat dan masyarakat seakan menjadi robot. "Aku rindu pada masa ketika anak-anak masih bermain gambar umbul dan saling berbagi," ujarnya.
Dengan jejaring dan kelihaian dia berkomunikasi, Semute dan para pegiat komik membentuk Oret 101 di Surabaya , tahun 2000. Angka 101 itu merujuk nomor rumah seorang komikus, yang sering digunakan komunitas komik berkumpul.
Mereka mengusung slogan "Manga ora manga, Kumpul". Itu adalah pelesetan dari buku karya Umar Kayam yang berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul.
Semangat mereka kala itu addalah menyatukan pegiat komik dari manapun, baik yang beraliran manga maupun tidak. Mereka bisa membuat karya kolektif yang diproduksi dadn didistribusikan sendiri.
Prinsip yang dipegang teguh di sini adalah membuat komik tanpa didikte penerbit dan menerabas pakem komik pada umumnya. Lewat Oret 101, mereka berhasil membuat tiga jilid komik.
"Tetapi, semakin banyak orang (membuat komik) dan (menghasilkan) duit, malah makin banyak masalah, setelah itu, satu persatu (pegiat komik) malah menghilang," katanya.
Meskipun Oret 101 kemudian meredup, Semute tetap gencar membentuk jejaring sosialnya. Dia, antara lain, turut menghidupkan kelompok Keras Kepala di Jember . Setelah era Keras Kepala, Jember memiliki komunitas Komik Nasi Putih.
Ketimbang menjual komik, para komikus tersebut lebih memilih barter komik. Dari proses itulah Semute melihat bahwa komik telah menjadi ruang atau wadah untuk berdialog dan pertemuan.
"Komik tidak lagi benda mati. Inilah ruang kita untuk sambang-sinambang, saling menyambangi dan berdiskusi," kata ayah dua anak ini.
Wajah kota
Di Surabaya, tempat tinggalnya selama 16 tahun terakhir ini, Semute tetap berusaha memperkuat komunitas komik di sini. Walaupun begitu, dia menolak disebut sebagai pelopor atau pendiri.
"Saya hanya tukang ngomporin 'anak-anak' saja agar memulai membuat komik," katanya beralasan.
Dari hasil ngomporin itu, faktanya para komikus Surabaya kembali giat berkarya. Dalam dua tahun terakhir, pameran-pameran komikdi Surabaya mulai tumbuh. Produk komik pun semakin beragam. Salah satu yang patut dicatat ialah karya kolektif "Area 031" yang digagas Semute, Alfajr X-Go Wiratama, dan Anitha Silvia.
Dibuatnya "Area 031" tergolong penting mengingat Surabaya kerap dinilai "terbelakang" dari segi perkembangan komik. Ide cerita yang muncul dalam kompilasi komik itu menceritakan banyak wajah Kota Pahlawan. Disini ada tentang pecel Semanggi, lokalisasi Dolly, hingga perkembangan industri.
Selain itu, pada Agustus nanti Semute bersama Yayasan Suku Bengi juga akan membuat pameran komik bertema "Sindikat Pasar Gelap". Tema itu dipilih untuk menyikapi wacana komik sebagai barang dagangan. Pameran komik itupenting bagi Semute sebab selama ini komik sudah menjadi ladang penghidupan bagi mayoritas komikus. Karena itu, alur cerita hingga gaya gambar (harus) disesuaikan dengan keinginan penerbit dan industri. Padahal, Semute dan pegiat komik bawah tanah bersepakat untuk menghidupi komik, bukan hidup dari komik. Kemandirian ini membuat mereka bebas menyuarakan apapun lewat karya komik tanpa tekanan.
Menjual jamu
Agar terhindar dari tekanan itu, Semute dan para komikus bawah tanah memilih bekerja di bidang lain. Semute, misalnya menjual jamu tradisionil dirumahnya di kawasan Kremil, Surabaya.
Meskipun berpendidikan hukum di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Semute tidak memilih pekerjaan di bidang hukum. "Saya tidak siap melihat realita hukum dimasyarakat. Saya memilih jadi juragan bagi diri sendiri," katanya.
Dengan menjadi tukang jamu, Semute bisa melihat lebih jelas problem kehidupan pembeli yang mayoritas dari kelas bawah. Hidup yang suram di kawasan rumahnya pun menjadi inspirasi bagi karyanya. Disela-sela berjualan, dia masih sempat mengajari anak-anak di sekitar rumah untuk menggambar.
"Saya berencana membuat workshop komik di lokalisasi," ungkap pria yang memakai nama Semute sejak ia berusia 19 tahun.
Meskipun banyak berbicara soal komik, Semute terkesan "menutup diri" tentang keluarganya. Dia hanya bercerita, menikahi teman sekampus, yang dipanggilnya Genduk. Perempuan itulah ibu dari kedua anaknya, yang disebut Semute sebagai "cah ganteng" dan "cah ayu".
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 JULI 2010.
ABDOEL SEMUTE
Nama Asli : Abdullah
Lahir : Bojonegoro, Jawa Tengah, 14 Agustus 1975
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya
Kegiatan : Membuat komik dan mengelola komikpalsu.blogspot.com
OLEH MARIA SERENADE SINURAT
Gambaran cerita dalam "Konversi Minyak Tanah" itu tidak seperti komik-komik yang biasa beredar di toko-toko buku. Konversi minyak tanah di sini digambarkan sebagai barisan orang-orang bersayap tanpa kepala.
Tidak ada panel-panel dalam komik itu, hanya gurtan garis tebal dan tipis yang seakan seperti coretan asal-asalan. Di sini juga tak ada dialog , hanya kalimat-kalimat seperti racauan.
Cerita dalam komik karya Abdoel Semute dan Benny Soekendo itu akan menjadi cermin kebisuan masyarakat. Mereka yang tidak memiliki pilihan lagi, selain mengganti minyak tanah menjadi gas.
Namun, masyarakat hanya bisa diam. Mereka hanya bisa menerima seperti satu gambaran yang diterakan Semute, panggilannya, pada salah satu lembarnya, yakni menutup mata dan menyimpan bom di dada.
Bagi Semute, komik seharusnya menjadi media yang dapat menangkap kegelisahan sehari-hari. "Komik seharusnya tidak eksklusif, tetapi bisa dibuat dan dibaca oleh siapapun, bahkan oleh seorang tukang becak," ujarnya.
Menyatukan
Semute lebih suka bicara tentang esensi daripada menjelaskan tentang definisi komik yang disebut sebagai komik perlawanan atau komik bawah tanah itu. Dia bercerita, semua itu bermula dari kegelisahannya melihat gempuran komik Jepang (manga).
industri komik yang begitu masif membuat komik menjadi sekadar produk bisu. "Seseorang membeli komik dan membacanya sendiri. Dia tidak pernah tahu siapa yang membuat komik itu dan bagaimana prosesnya. Semua selesai di sini, tidak ada dialognya," ujarnya.
Situasi itu, bagi Semute, seakan mencerabut manusia dari dirinya sendiri. Belum lagi di Surabaya, tempat industri melaju cepat dan masyarakat seakan menjadi robot. "Aku rindu pada masa ketika anak-anak masih bermain gambar umbul dan saling berbagi," ujarnya.
Dengan jejaring dan kelihaian dia berkomunikasi, Semute dan para pegiat komik membentuk Oret 101 di Surabaya , tahun 2000. Angka 101 itu merujuk nomor rumah seorang komikus, yang sering digunakan komunitas komik berkumpul.
Mereka mengusung slogan "Manga ora manga, Kumpul". Itu adalah pelesetan dari buku karya Umar Kayam yang berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul.
Semangat mereka kala itu addalah menyatukan pegiat komik dari manapun, baik yang beraliran manga maupun tidak. Mereka bisa membuat karya kolektif yang diproduksi dadn didistribusikan sendiri.
Prinsip yang dipegang teguh di sini adalah membuat komik tanpa didikte penerbit dan menerabas pakem komik pada umumnya. Lewat Oret 101, mereka berhasil membuat tiga jilid komik.
"Tetapi, semakin banyak orang (membuat komik) dan (menghasilkan) duit, malah makin banyak masalah, setelah itu, satu persatu (pegiat komik) malah menghilang," katanya.
Meskipun Oret 101 kemudian meredup, Semute tetap gencar membentuk jejaring sosialnya. Dia, antara lain, turut menghidupkan kelompok Keras Kepala di Jember . Setelah era Keras Kepala, Jember memiliki komunitas Komik Nasi Putih.
Ketimbang menjual komik, para komikus tersebut lebih memilih barter komik. Dari proses itulah Semute melihat bahwa komik telah menjadi ruang atau wadah untuk berdialog dan pertemuan.
"Komik tidak lagi benda mati. Inilah ruang kita untuk sambang-sinambang, saling menyambangi dan berdiskusi," kata ayah dua anak ini.
Wajah kota
Di Surabaya, tempat tinggalnya selama 16 tahun terakhir ini, Semute tetap berusaha memperkuat komunitas komik di sini. Walaupun begitu, dia menolak disebut sebagai pelopor atau pendiri.
"Saya hanya tukang ngomporin 'anak-anak' saja agar memulai membuat komik," katanya beralasan.
Dari hasil ngomporin itu, faktanya para komikus Surabaya kembali giat berkarya. Dalam dua tahun terakhir, pameran-pameran komikdi Surabaya mulai tumbuh. Produk komik pun semakin beragam. Salah satu yang patut dicatat ialah karya kolektif "Area 031" yang digagas Semute, Alfajr X-Go Wiratama, dan Anitha Silvia.
Dibuatnya "Area 031" tergolong penting mengingat Surabaya kerap dinilai "terbelakang" dari segi perkembangan komik. Ide cerita yang muncul dalam kompilasi komik itu menceritakan banyak wajah Kota Pahlawan. Disini ada tentang pecel Semanggi, lokalisasi Dolly, hingga perkembangan industri.
Selain itu, pada Agustus nanti Semute bersama Yayasan Suku Bengi juga akan membuat pameran komik bertema "Sindikat Pasar Gelap". Tema itu dipilih untuk menyikapi wacana komik sebagai barang dagangan. Pameran komik itupenting bagi Semute sebab selama ini komik sudah menjadi ladang penghidupan bagi mayoritas komikus. Karena itu, alur cerita hingga gaya gambar (harus) disesuaikan dengan keinginan penerbit dan industri. Padahal, Semute dan pegiat komik bawah tanah bersepakat untuk menghidupi komik, bukan hidup dari komik. Kemandirian ini membuat mereka bebas menyuarakan apapun lewat karya komik tanpa tekanan.
Menjual jamu
Agar terhindar dari tekanan itu, Semute dan para komikus bawah tanah memilih bekerja di bidang lain. Semute, misalnya menjual jamu tradisionil dirumahnya di kawasan Kremil, Surabaya.
Meskipun berpendidikan hukum di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Semute tidak memilih pekerjaan di bidang hukum. "Saya tidak siap melihat realita hukum dimasyarakat. Saya memilih jadi juragan bagi diri sendiri," katanya.
Dengan menjadi tukang jamu, Semute bisa melihat lebih jelas problem kehidupan pembeli yang mayoritas dari kelas bawah. Hidup yang suram di kawasan rumahnya pun menjadi inspirasi bagi karyanya. Disela-sela berjualan, dia masih sempat mengajari anak-anak di sekitar rumah untuk menggambar.
"Saya berencana membuat workshop komik di lokalisasi," ungkap pria yang memakai nama Semute sejak ia berusia 19 tahun.
Meskipun banyak berbicara soal komik, Semute terkesan "menutup diri" tentang keluarganya. Dia hanya bercerita, menikahi teman sekampus, yang dipanggilnya Genduk. Perempuan itulah ibu dari kedua anaknya, yang disebut Semute sebagai "cah ganteng" dan "cah ayu".
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 JULI 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar