Meski hanya lulusan SD, nyali Sastro Muarlif tak pernah ciut. semangatnya untuk terus mencoba dan berusaha menjadikannya seorang perajin serat kaca (fiber glass) yang mumpuni. Segala jenis model sanggup ia kerjakan. bahkan, saat ini ia tengah mengerjakan pesanan wahana permainan air atau waterboom, yang akan dibuka di Nanggroe Aceh Darussalam.
SASTRO MUALIF
Lahir : Bantul, 12 Mei 1958
Alamat : Dusun Glagahan, Desa Caturharjo, Kecamatan Pandak, Bantul
Pendidikan : SD Mangiran Bantul
Istri : Surati (34)
Anak :
1. Sigit Sugiarto (25)
2. Cahyo Dwi Saputro (23)
3. Ari Triwibowo (21)
4. Wulan Septiana (17)
5. Nurul Khasanah (15)
Oleh ENY PRIHTIYANI
"Saya tak pernah menolak pesanan meski kelihatannya sulit. Semua saya terima karena saya harus mencobanya terlebih dahulu. Kalaupun susah, saya harus mempelajarinya sampai bisa. saya anggap itu sebagai tantangan sekaligus media untuk belajar," kata Sastro.
Dia bercerita baru saja menerima pesanan wahana permainan air, yang sebelumnya belum pernah dia kerjakan. Tanpa keraguan ia langsung menerimanya.Proyek senilai Rp.1,2 miliar itu rencananya akan dikerjakan selama lebih kurang empat bulan. Ia menyiapkan semuanya di tempat usahanya di Dusun Glagahan, caturharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta. Sesampainya di Aceh, ia tinggal mengesetnya.
Ukuran waterboom yang dibuat Sastro berukuran 163 x 100 meter. Untuk membuatnya ia melibatkan 20 tenaga kerja.baginya, itu adalah pesanan tersulit yang ia terima. Di DIY tidak ada yang berani menerima order tersebut. " Sebenarnya yang dapat order teman saya. Tetapi karena ia tidak sanggup, lalu menyerahkannya ke saya," ujarnya.
Tanpa sertifikat keahlian, Sastro memang tidak bisa menerima pesanan waterboom secara langsung. Kondisi itu pula yang membuatnya tidak bisa menggarap wahana serupa milik investor Bali yang akan membuka wahana permainan air tersebut di komplek Pasar Seni Gabusan.
Ke depan ia sangat berkeinginan untuk mengurus sertifikat. Ia berharap tidak terkendali birokrasi seperti image yang selama ini ditangkapnya. "Sejak awal saya mau mengurus sertifikat ngeri kalau biayanya membengkak karena ada pungutan sana-sini," katanya.
Berbeda dengan perajin fiberglass yang pada umumnya hanya mengandalkan sistem cetakan cor, serat kaca milik Sastro lebih variatif. Ia menambahkan dengan serat mett sehingga strukturnya lebih kuat dan tidak mudah pecah.
Menurut Sastro, pada sistem cor, perajin tinggalmembuat cetakan pola lalu mengisinya dengan serat kaca. adonan serat kaca dibuat dengan bahan utama resin. Ada dua jenis resin, yakni bening dan butek. yang bening dipakai untuk produk-produk seperti gantungan kunci dan imitasi kristal, sementara jenis butek untuk kursi, asbak dan pigura.
Dengan racikan Sastro, serat kaca bisa dibuat menjadi aneka peralatan yang fungsional. Beberapa diantaranya patung manekin (patung untuk contoh baju), tangki air, peralatan salon bak air, seluncuran anak-anak, dan perahu kayuh kaki. Ia juga melayani pembuatan serat kaca untuk variasi sepeda motor, misalnya untuk body atau aksesori.
Di Yogyakarta hampir semua patung manekin di mal-mal dipasok oleh Sastro.Manekin juga dipakai siswa-siswa SMK jurusan Tatabusana. Ia menjual seharga Rp.90.000,- untuk maneken toko, sementara maneken siswa seharga Rp.150.000,- "Untuk siswa memang lebih mahal karena strukturnya lebih kuat sehingga tidak mudah pecah," katanya.
Produk Sastro bahkan sudah menembus ke berbagai kota seperti Temanggung, Pati, Semarang, dan beberpa kota di luar Jawa. Pada tahun ajaran baru biasanya pesanan yang diterima melonjak, khususnya luncuran anak-anak dan patung maneken.
Keberhasilannya menembus pasar ke berbagai kota tidak melalui metode pemasaran khusus. ia percaya dengan hukum "getok tular" atau informasi dari mulut ke mulut.
Kuli serabutan
Kepiawaian Sastro membuat serat kaca berawal dari pengalamannya sebagai buruh pabrik serat kaca di Jakarta. Awal bekerja tahun 1974 ia hanya diterima sebagai kuli serabutan. Lama-kelamaan ia dipercaya untuk membuat serat kaca. Setelah bekerja selama 17 tahun di pabrik tersebut, ia memilih keluar dan pulang ke kampung halaman.
Kondisi orangtua yang sering sakit-sakitan membuatnya tidak tega membiarkan mereka sendirian di Bantul. Alasan inilah yang mendorongnya untuk pulang kampung pada tahun 1991. Sesampainya di rumah, ia tidak berdiam diri. Semua pengalamannya selama bekerja di pabrik ia praktikkan.
Ia mengawalinya deengan modal Rp.200.000,- semuanya dikerjakan sendiri bersama ketiga anaknya. Mereka digembleng Sastro sehingga mewarisi keahliannya. Setelah usahanya maju, Sastro membebaskan anaknya untuk memilih jalur sendiri. Hanya satu orang yang masih terus membantunya, sementara dua yang lain pindah jalur menjadi pengusaha material dan pedagang kelontong.
"Awalnya memang sedikit bingung karena sebelumnya saya hanya menjadi buruh. Tetapi, setelah membuka usaha, saya berperan ganda sebagai buruh sekaligus pengusaha. Sebagai pengusaha, saya dituntut untuk mengelola dengan modal terbatas," katanya.
Pada permulaan usaha, Sastro hanya melayani pembuatan peralatan salon. Alasannya karena belum banyak yang membuatnya. Sejak awal ia memang tidak memilih menggeluti serat kaca sistem cor sederhana karena di Yogyakarta sudah banyak yang melakukannya.
Kemahiran Sastro semakin terasah setelah pesanan berbagai jenis model datang menghampirinya. Setiap kali ada desain baru, ia tak pernah menyerah untuk mencoba meski ada resiko gagal. "Pernah juga gagal sehingga saya rugi, tetapi setelah itu saya semakin menguasai tekniknya," kata pria yang murah senyum itu.
Kini omzet Sastro mencapai Rp.40 juta per bulan dengan keuntungan sekitar 30 persen. Kehadiran Sastro di Dusun Glagahan menjadi angin segar bagi warga sekitar. Pasalnya sebagian dari mereka bisa ikut mengais rejeki dengan bergabung menjadi tenaga kerja.
Dia yakin serat kaca masih akan menjadi tren selama beberapa tahun ke depan karena sifatnya tidak hanya aksesori, tetapi juga fungsional. Keunggulan serat kaca terletak pada karakternya yang fleksibel sehingga bisa diolah menjadi berbagai bentuk barang, sementara kekuatannya bisa mengalahkan kayu atau besi.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 26 OKTOBER 2009
SASTRO MUALIF
Lahir : Bantul, 12 Mei 1958
Alamat : Dusun Glagahan, Desa Caturharjo, Kecamatan Pandak, Bantul
Pendidikan : SD Mangiran Bantul
Istri : Surati (34)
Anak :
1. Sigit Sugiarto (25)
2. Cahyo Dwi Saputro (23)
3. Ari Triwibowo (21)
4. Wulan Septiana (17)
5. Nurul Khasanah (15)
Oleh ENY PRIHTIYANI
"Saya tak pernah menolak pesanan meski kelihatannya sulit. Semua saya terima karena saya harus mencobanya terlebih dahulu. Kalaupun susah, saya harus mempelajarinya sampai bisa. saya anggap itu sebagai tantangan sekaligus media untuk belajar," kata Sastro.
Dia bercerita baru saja menerima pesanan wahana permainan air, yang sebelumnya belum pernah dia kerjakan. Tanpa keraguan ia langsung menerimanya.Proyek senilai Rp.1,2 miliar itu rencananya akan dikerjakan selama lebih kurang empat bulan. Ia menyiapkan semuanya di tempat usahanya di Dusun Glagahan, caturharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta. Sesampainya di Aceh, ia tinggal mengesetnya.
Ukuran waterboom yang dibuat Sastro berukuran 163 x 100 meter. Untuk membuatnya ia melibatkan 20 tenaga kerja.baginya, itu adalah pesanan tersulit yang ia terima. Di DIY tidak ada yang berani menerima order tersebut. " Sebenarnya yang dapat order teman saya. Tetapi karena ia tidak sanggup, lalu menyerahkannya ke saya," ujarnya.
Tanpa sertifikat keahlian, Sastro memang tidak bisa menerima pesanan waterboom secara langsung. Kondisi itu pula yang membuatnya tidak bisa menggarap wahana serupa milik investor Bali yang akan membuka wahana permainan air tersebut di komplek Pasar Seni Gabusan.
Ke depan ia sangat berkeinginan untuk mengurus sertifikat. Ia berharap tidak terkendali birokrasi seperti image yang selama ini ditangkapnya. "Sejak awal saya mau mengurus sertifikat ngeri kalau biayanya membengkak karena ada pungutan sana-sini," katanya.
Berbeda dengan perajin fiberglass yang pada umumnya hanya mengandalkan sistem cetakan cor, serat kaca milik Sastro lebih variatif. Ia menambahkan dengan serat mett sehingga strukturnya lebih kuat dan tidak mudah pecah.
Menurut Sastro, pada sistem cor, perajin tinggalmembuat cetakan pola lalu mengisinya dengan serat kaca. adonan serat kaca dibuat dengan bahan utama resin. Ada dua jenis resin, yakni bening dan butek. yang bening dipakai untuk produk-produk seperti gantungan kunci dan imitasi kristal, sementara jenis butek untuk kursi, asbak dan pigura.
Dengan racikan Sastro, serat kaca bisa dibuat menjadi aneka peralatan yang fungsional. Beberapa diantaranya patung manekin (patung untuk contoh baju), tangki air, peralatan salon bak air, seluncuran anak-anak, dan perahu kayuh kaki. Ia juga melayani pembuatan serat kaca untuk variasi sepeda motor, misalnya untuk body atau aksesori.
Di Yogyakarta hampir semua patung manekin di mal-mal dipasok oleh Sastro.Manekin juga dipakai siswa-siswa SMK jurusan Tatabusana. Ia menjual seharga Rp.90.000,- untuk maneken toko, sementara maneken siswa seharga Rp.150.000,- "Untuk siswa memang lebih mahal karena strukturnya lebih kuat sehingga tidak mudah pecah," katanya.
Produk Sastro bahkan sudah menembus ke berbagai kota seperti Temanggung, Pati, Semarang, dan beberpa kota di luar Jawa. Pada tahun ajaran baru biasanya pesanan yang diterima melonjak, khususnya luncuran anak-anak dan patung maneken.
Keberhasilannya menembus pasar ke berbagai kota tidak melalui metode pemasaran khusus. ia percaya dengan hukum "getok tular" atau informasi dari mulut ke mulut.
Kuli serabutan
Kepiawaian Sastro membuat serat kaca berawal dari pengalamannya sebagai buruh pabrik serat kaca di Jakarta. Awal bekerja tahun 1974 ia hanya diterima sebagai kuli serabutan. Lama-kelamaan ia dipercaya untuk membuat serat kaca. Setelah bekerja selama 17 tahun di pabrik tersebut, ia memilih keluar dan pulang ke kampung halaman.
Kondisi orangtua yang sering sakit-sakitan membuatnya tidak tega membiarkan mereka sendirian di Bantul. Alasan inilah yang mendorongnya untuk pulang kampung pada tahun 1991. Sesampainya di rumah, ia tidak berdiam diri. Semua pengalamannya selama bekerja di pabrik ia praktikkan.
Ia mengawalinya deengan modal Rp.200.000,- semuanya dikerjakan sendiri bersama ketiga anaknya. Mereka digembleng Sastro sehingga mewarisi keahliannya. Setelah usahanya maju, Sastro membebaskan anaknya untuk memilih jalur sendiri. Hanya satu orang yang masih terus membantunya, sementara dua yang lain pindah jalur menjadi pengusaha material dan pedagang kelontong.
"Awalnya memang sedikit bingung karena sebelumnya saya hanya menjadi buruh. Tetapi, setelah membuka usaha, saya berperan ganda sebagai buruh sekaligus pengusaha. Sebagai pengusaha, saya dituntut untuk mengelola dengan modal terbatas," katanya.
Pada permulaan usaha, Sastro hanya melayani pembuatan peralatan salon. Alasannya karena belum banyak yang membuatnya. Sejak awal ia memang tidak memilih menggeluti serat kaca sistem cor sederhana karena di Yogyakarta sudah banyak yang melakukannya.
Kemahiran Sastro semakin terasah setelah pesanan berbagai jenis model datang menghampirinya. Setiap kali ada desain baru, ia tak pernah menyerah untuk mencoba meski ada resiko gagal. "Pernah juga gagal sehingga saya rugi, tetapi setelah itu saya semakin menguasai tekniknya," kata pria yang murah senyum itu.
Kini omzet Sastro mencapai Rp.40 juta per bulan dengan keuntungan sekitar 30 persen. Kehadiran Sastro di Dusun Glagahan menjadi angin segar bagi warga sekitar. Pasalnya sebagian dari mereka bisa ikut mengais rejeki dengan bergabung menjadi tenaga kerja.
Dia yakin serat kaca masih akan menjadi tren selama beberapa tahun ke depan karena sifatnya tidak hanya aksesori, tetapi juga fungsional. Keunggulan serat kaca terletak pada karakternya yang fleksibel sehingga bisa diolah menjadi berbagai bentuk barang, sementara kekuatannya bisa mengalahkan kayu atau besi.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 26 OKTOBER 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar