Selasa, 06 Juli 2010

Abah Olot Melestarikan Karinding

Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika Karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. "Saya punya tanggung jawab," katanya.

ENDANG SUGRIWA

Nama lain : Abah Olot
Usia : 46 tahun
Istri : Lina Karlina (4)
Anak :
- Diki Sumbawa (24)
- Erna Oktaviana (17)
- Agin Nur Prosesta (6)
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Perajin alat musik bambu dan seniman
Penghargaan : Juara Awi-Awi Mandiri 2009 yang diselenggarakan Saung Angklung Udjo dan
Bank Mandiri

Oleh RINI KUSTIASIH

Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan Karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga.
"Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun," kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Dirumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah,. namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun, dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebang pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka, pelepah aren terbuang, tidak sempat tua dan mengering.
Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya umur bambu minimal dua tahun. bambu lalu dipotong, dihaluskan dan dibagi menjadi tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakan dimulut, diapit bibir atas dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi randah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, di sebut Genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern mempengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarkat Sunda. karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen.
"Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi," katanya.
Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga.
"Istilahnya ulahnkasilih ku junti, jangan melupakan adat istiadat," katanya.

Mulai bangkit

Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapapun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. "Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding," katanya.
Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
"Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik," kata Abah Olot. Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personil Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap "budak baong"(anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas deathmetal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda.
Banyak diantara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding. Maka setiap rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp.50.000. Pesanan karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
Nama kelompok mereka pun "segar" seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, serta drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding. Ada Abah Olot yang tetap setia di "bengkelnya". Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 7 JULI 2010.

2 komentar:

  1. nuhun pisan ka abah olot nu atos ngelestarikeun " karinding " nu hampir terancam kapunahan nana

    BalasHapus
  2. abah olot kuring menta alamatna ... punteun smskeun ka no 085222789637

    BalasHapus