Kamis, 08 Juli 2010

"Pendekar Lingkungan" dari Bima

Hasan Muchtar bolehlah disebut sebagai "pendekar lingkungan". Dia memelopori pembukaan jalan dari tempat tinggalnya di Kelurahan Penanae, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ke lahan garapannya di So Ndano, sepanjang sekitar tiga kilometer. So Ndano adalah lokasi ladang garapan penduduk setempat.

HASAN MUCHTAR

Usia : 60 tahun
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Istri : Hawariah (50 tahun)
Anak :
- Ahmad, SE (29)
- Aisyah, Spd (25)
- Mulyadin (24)
- Nurhidayah, SPd (23)

Oleh KHAERUL ANWAR

Selain itu, Hasan juga menggerakan warga untuk membuka jalan sepanjang sekitar lima kilometer lagi. Hal ini sebagai lanjutan dari jalan yang telah dibuka sebelumnya. Untuk itu dia mengeluarkan biaya dari kocek sendiri.
Demi membuka jalan tersebut, Hasan sampai menjual rumahnya. Tidak hanya itu, dia juga mesti berurusan dengan pengadilan karena ada warga yang keberatan karena lahan garapannya diambil untuk fasilitas jalan tersebut.
"Saya tidak mau ambil pusing, yang penting apa yang saya lakukan itu untuk kepentingan banyak orang" ujar bungsu dari empat bersaudara anak pasangan Muchtar-Hatijah ini.
Hasan memilih mengabaikan protes pemilik lahan tersebut. Jalan itu dia tempuh karena ia merasakan sendiri bagaimana kesulitan yang dihadapi warga untuk menempuh perjalanan dari rumah ke ladang setiap hari. Dia memang lebih banyak tinggal di lahan garapannya seluas sekitar tujuh hektar.
Dia bercerita, kesulitan itu semakin terasa ketika musim petik tiba. Sebab, para peladang harus memikul sendiri hasil panennya. Mereka harus menempuh jalan setapk yang penuh semak belukar. Mungkin karena itulah hasan "rela" divonis empat bulan hukuman percobaan.
Karena sulitnya perjalanan itu, pascapanen biasanya banyak peladang jatuh sakit. "Ada yang pegal linu, encoknya kumat, macam-macamlah sakitnya," kata Hasan yang menduga penyakit itu muncul akibat energi yang terkuras tidak seimbang dengan asupan gizi.

Medan yang sulit

Kondisi itu mendorong hasan berbuat sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Salah satunya dengan membuka jalan guna memudahkan akses warga Penanae ke lahannya di So Ndano. Jalan yang dibangun Hasan menempuh medan yang bisa dikatakan sulit, menelusuri bukit So Ndano setinggi 1.500 meter, berbatu cadas, lereng terjal, dengan hamparan sawah penduduk dibawahnya. Awalnya, jalan sepanjang ssekitar tiga kilometer itu dia kerjakan bersama istri, empat anaknya, dan beberapa warga. Pengerjaan itu berlangsung selama tahun 1987-1992. Pembukaan jalan perintis selebar 8 meter itu tidak mudah. Mereka harus membelah dan mencungkil batu cadas dengan linggis, pahat dan peralatan sederhana. Mereka bekerja dua kali dalam seminggu. Selebihnya Hasan berkonsentarsi di lahan garapannya. Di situ Hasan dan keluarga juga membangun 12 sumur, 10 diantaranya sedalam 3-5 meter. Sumur-sumur itu berderet mengikuti kemiringan lereng bukit untuk menampung air hujan.
Satu sumur berada di deretan terbawah dalamnya 20 meter. Dasar dan dinding sumur dipasangi ijuk, serabut kelapa, dan pasir agar bertahan sebagai sumber air minum selama musim kemarau. Sementara sumur lainnya untuk menampung air guna mengairi tanaman.
Hasan bercerita tentang protes pemilik lahan yang keberatan sebagian tanah garapan mereka diambil untuk jalan. Menurut Hasan, dia bersedia membayar lahan yang terpakai untuk jalan, tetapi pemiliknya enggan menjual. Karena itulah dia mengabaikan keberatan pemilik lahan tersebut.
Ketika pembuatan jalan selesai, pemilik lahan yang protes itu justru diuntungkan. Dia juga bisa ikut memanfaatkan air sumur untuk tanaman di ladang garapannya.

Menanggung logistik

Hasan kemudian melanjutkan perintisan jalan tahap kedua pada 1996-2000. Kali ini lebih banyak warga yang terlibat, 15 sampai 20 orang setiap hari. Pekerjaan gotong royong ini dilaksanakan hari jumat dan hari minggu.
Jalan selebar 5 meter sepanjang 4 kilometer ini, dihitung dari jalan sebelumnya, menembus sampai dusun Kabanta. Medan ini pun relatif sulit karena kemiringan bukit 40 derajat. Pekerjaan harus hati-hati agar bongkahan batu cadas tak menggelinding menimpa pekerja. "kalau sudah terpaksa, batu digelindingkan ke sawah penduduk di bawah bukit," katanya.
Hasan bercerita, satu tanjakan setinggi 200 meter diselesaikan dalam tiga-lima bulan. Di seputar Dusun Ndano-Dusun Kabanta ada tiga tanjakan tajam.
Selain ikut membuka jalan, dia juga menanggung logistik pekerja berupa sarapan, makan siang, dan kopi. Biaya itu didapat dari hasil panen 600 pohon mangga harum manis, pisang, srikaya, kunyit, temulawak, bambu, dan tanaman lain. Dari penjualan mangga saja, ketika itu Hasan mengantongi Rp.15 juta.
Jalan perintis itu memang menjadi sangat berarti bagi para pemilik lahan. Mereka bisa pergi pulang antara rumah dan ladang tanpa kenal waktu. bahkan, sekitar 15 ojek sepeda motor melayani rute Dusun Kabata-Kelurahan Penanae dengan tarif Rp.20.000.-Rp.25.000.
Berbeda dengan sebelumnya, warga "harus" tiba di rumah sekitar pukul 17.00 atau saat hari masih terang tanah. Hal ini karena medan tempuh yang relatifsulit dengan jarak pandang terbatas. Bila lewat dari jam itu warga harus menginap di lahan garapan.
Selain itu, sumur yang dibangun menjadi sumber air bagi 100 pemilik ladang untuk mengairi tanaman pada musim kemarau, juga sebagai air minum. Dulu mereka harus mengambil air dari sumber air sekitar dua kilometer dari lahan garapan.
Hasan kini dapat bernapas lega. Ia telah membuktikan pembukaanjalan itu bukan untuk kepentingan pribadi semata. Hal ini sejalan dengan nama kelompok tani yang didirikannya sekitar 1986, Pahu Rawi Ngawa, dari bahasa etnis Mbojo Bima yang berarti bukti nyata dari kerja keras.
Kerja keras Hasan itu didahului serangkaian kegagalan. Dia, misalnya, bangkrut sebagai pedagang bawang dan kedelai yang menjajakan barangnya hingga Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia juga pernah tertipu sampai puluhan juta rupiah ketika berdagang sapi. Awal 1980-an ketika aktivitas usahanya macet, dia pernah tinggal di Jakarta, Bogor, dan Malang.
Hasan lantas pulang kampung menjual dua rumahnya untuk mencicil hutang dan biaya membuka lahan tidur guna bercocok tanam di lahan yang berat. "Saya harus melubangi batu sedalam sekitar 50 sentimeter, lalu memasukkan tanah untuk ditanami pohon pisang," kata Hasan menyiasati kondisi alam ketika itu.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 JULI 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar