Jumat, 28 Oktober 2011

Jumilah: Menjadi "Guru" Setelah Melek Huruf

JUMILAH

  • Lahir : Dusun Duduk Bawak, desa Persiapan Batu Layar Barat, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 32 tahun lalu
  • Suami : Ishak (36)
  • Anak :
       - Yana Suryani, kelas I SMAN I Batu Layar
           - Usman Hadi, Kelas III Madrasah Tsanawiyah Negeri Batu Layar
       - Lauhil Mahfuz (3)

Semula Jumilah memang buta huruf. Namun, semangat belajar yang tinggi membuat dia akhirnya bisa melek huruf. Malah delapan tahun terakhir ini Jumilah secara sukarela menjadi "guru" bagi anak-anak usia dini ataupun siswa sekolah dasar setempat lewat kegiatan nonformal di rumahnya.

OLEH KHAERUL ANWAR


Jumilah, warga Dusun Bawak, Desa Persiapan Batu Layar Barat, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, awal tahun 2011 masuk nominasi program Bersinarlah Perempuan Indonesia yang digelar sebuah perusahaan produk rumah tangga di Jakarta.
     "Saya belajar membaca serta menulis huruf dan angka dari anak saya. Kadang-kadang anak saya marah karena saya sering salah membaca dan dianggap rewel karena tanya-tanya terus," cerita Jumilah tentang respons anak tertuanya, Yna Suryani, ketika itu.
     Tahun 2003  sebuah lembaga swadaya masyarakat masuk ke Dusun Bawak dan membentuk Kelompok Kahuripan.Kelompok ini aktivitasnya antara lain memberdayakan perempuan di bidang ekonomi produktif, pendidikan, dan pelestarian lingkungan hidup.
     Dalam kelompok usaha tersebut, dia menjadi kepala divisi usaha. Untuk itulah Jumilah harus berurusan dengan tulis-menulis dan angka. Dari sinilah semangatnya terlecut untuk belajar menulis, diantaranya dengan berguru kepada anak kandungnya yang waktu itu masih SD.
     Tahun 2003 itu, ketika Jumilah berusia 24 tahun, dia baru melek huruf sekaligus belajar mengoperasikan kalkulator. Karena baru bisa baca tulis, dia acap kali membuat bingung pengurus kelompok yang beranggotakan pedagang bakulan itu.
     Pasalnya, dalam laporan keuangannya, Jumilah suka salah menuliskan jumlah angsuran anggota. Seorang anggota menyetor cicilan Rp 3.500 tetapi tercatat dalam pembukuan Rp 35.000. "Waktu itu saya masih bingung membedakan bilangan ribuan dan puluhan ribu," katanya.
     Namun, semua itu menjadi masa lalu. Lantaran ketekunannya, Jumilah dipercaya mengajar dan merekrut lebih dari 60 anak laki-laki dan perempuan sebagai peserta didik. Anak-anak di dusun yang terletak di sekitar obyek wisata Senggigi, Lombok, itu agaknya menjadi salah satu potret buram pendidikan kita.
     Dari jumlah anak didik Jumilah itu, sebagian besar berusia prasekolah, siswa kelas I dan II SD, serta mereka yang putus SD. Mereka umumnya mengisi hari-hari dengan bermain atau membantu pekerjaan orangtua mereka di kebun.
     Banyak anak yang putus SD karena ketiadaan biaya. Kemiskinan orangtua mereka disertai dengan rendahnya kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak.
     Realitas itulah yang dia hadapi. Pengalaman hidupnya membuat Jumilah bersungguh-sungguh melaksanakan proses pembelajaran untuk membuat anak-anak yang kurang beruntung itu setidaknya bisa baca-tulis.
     Dia mengawali tugasnya dengan fasilitas sederhana, menempati bangunan semipermanen berukuran 8 meter x 4 meter. Ada dua meja kecil buat menulis, satu papan tulis, dan para murid yang duduk di lantai. Kegiatan belajar-mengajar itu berlangsung nyaris setiap hari pukul 14.00-16.00.

Harus kreatif

     Sistem pembelajaran yang dilakukan Jumilah tak seperti sekolah formal, di mana siswa duduk di kursi, memperhatikan guru menyampaikan materi pelajaran di depan kelas. Di sini siswa dibiasakan kreatif, kecuali menulis dan menggambar dengan pensil di kertas.Mereka juga memakai alat dan media seadanya, seperti menulis dan menggambar di tanah menggunakan kerikil dan ranting kayu.
     Begitupun mata pelajaran yang disampaikan Jumilah, tergantung dari pilihan siswa saat itu. Pada siang itu, misalnya, siswa tengah menggambar pohon kelapa. Setelah gambar selesai, mereka bergantian merinci kegunaan buah kelapa, serabut, batok, daun hingga batang kelapa.
     Pada hari lain, dia mendongeng tentang kecerdikan siput yang berbaris di sepanjang sungai demi menundukkan kancil dalam adu balap. Cerita itu bernilai budi pekerti bagi siswa, pihak yang lemah belum tentu kalah dari yang kuat (fisik).
     Kali lain, ia mengajak siswa ke kebun dan sungai. Di kebun, Jumilah menunjukkan beragam jenis tanaman, seperti daun sirih yang tak hanya dipakai untuk menginang, tapi bisa juga menjadi obat mimisan.
Sementara itu, di sungai mereka belajar menjaga kelestarian alam dengan membersihkan sampah plastik, ranting, dan daun yang bisa menyumbat aliran air saat musim hujan.
    Aktivitas Jumilah itu disambut positif para guru SD."Guru-guru kelas I-II bilang, lebih gampang mengajari anak-anakkarena sebelum masuk SD mereka sudah bisa baca-tulis," katanya.
Selama enam tahun "sekolah" itu berlangsung, Jumilah mampu meyakinkan orangtua siswa tentang pentingnya pendidikan."Mereka yang belajar di sini lalu melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA," katanya mengenai siswanya. Tahun ini anak didik Jumilah berjumlah 30 orang.

Pengalaman pribadi

     Tentang apresiasi pihak lain terhadap apa yang dilakukannya selama ini. Jumilah mengaku hal itu tidak pernah terlintas dalam pikirannya. 
     "Apa yang saya lakukan memang benar-benar bermula dari pengalaman saya pribadi," ungkap Jumilah yang merasakan sendiri betapa sulit mengembangkan diri tanpa bekal kemampuan baca-tulis.
     Jumilah yang sehari-hari menjual jasa sebagai tukang cuci atau buruh bangunan lahir sebagai anak petani di perkebunan. Anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Hari dan Icah ini putus sekolah saat dia duduk di kelas II SD.
     "Waktu itu wali murid diminta menyumbang uang buat membangun tembok pembatas sekolah. Bapak saya tidak mampu menyumbang, lalu saya diminta berhenti dari sekolah," ceritanya.
     Tidak lagi bersekolah, Jumilah pun membantu orangtuanya bekerja di kebun yang terletak di kawasan hutan obyek wisata Senggigi. Pekerjaannya adalah mengusir kawanan monyet yang gemar "mencuri" tanaman kacang tanah dan kedelai. Waktu selebihnya dia bertugas menggembalakan dua ekor sapi.
     Selaku penggembala, Jumilah punya pengalaman menyedihkan. Dia pernah didatangi  seorang lelaki yang "menawarkan" sebuah arloji untuk ditukar dengan seekor sapi. Saking takutnya, dia menangis dan berlari menemui ayahnya untuk menyampaikan kejadian itu. Ketika Jumilah dan sang ayah tiba di lokasi penggembalaan, lelaki tersebut sudah tak ada.
     "Beginilah nasib orang yang tidak sekolah, tidak punya pendidikan. Kami jadi sasaran dibodohi orang-orang pintar," ujar Jumilah, yang juga istri Ishak, petugas keamanan sebuah penginapan, mengungkapkan isi hatinya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 27 OKTOBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar