Rabu, 19 Oktober 2011

Saufni Chalid: Kegigihan Seorang Pustakawan

HJ SAUFNI CHALID, SIP

Lahir : Baso, KabupatenAgam, Sumbar, 4 Januari 1942
Suami : H Nurmasni, SH
Anak :
- Media Febri Dewi
- Mastia Gusni
- Pitra Akhriadi
- Malta Nelisa
Pendidikan :
- Akademi administrasi Niaga Negeri, Padang, lulus 1969
- Sarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, jakarta, lulus 1978
Pengalaman kerja :
- Kepala Perpustakaan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang (1978-1990)
- Kepala Perpustakaan Universitas Bung Hatta, Padang (1981-1987, 2000)
- Kepala Perpustakaan Universitas Andalas, Padang (1987-1998)
- Kepala Perpustakaan Universitas Ekasakti-Akademi Akuntansi Indonesia, Padang (1987-sekarang)

Menyebut dirinya sebagai pemulung ilmu pengetahuan, Saufni Chalid (69) mulai mendirikan Rumah Baca Radesa di Nagari Koto Baru, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tahun 2004. Tahun 2006 dibuka lagi rumah baca serupa di muka rumahnya di Perumahan Universitas Andalas Griya Andalas, Gadut, Kota Padang.

OLEH INGKI RINALDI

Radesa adalah kependekan dari Raden Saleh, yang juga nama jalan di Kota Padang, tempat tinggal mula-mula Saufni dan keluarga. Perpustakaan yang diresmikan dua tahun lalu itu sudah menggunakan sistem katalogisasi sesuai dengan standar perpustakaan dunia. Kini, hari-hari ibu empat anak itu praktis tersita untuk memajukan rumah-rumah baca tersebut.
     "Ayo, Sayang, diisi dulu buku tamunya,. Mau baca apa?," sapa Saufni kepada seorang bocah saat ditemui di rumah bacanya di Kota Padang. bocah tersebut tampak sedikit bingung sebelum meninggalkan kami berbincang.
     Tentu tidak mudah menentukan sekitar 15.000 buku yang disusun dalam empat ruang terpisah. Itu pun masih dipersiapkan tiga ruang lagi untuk menampung koleksi yang masih tercecer.
    Selain buku, majalah, katalog, dan buku tamu layaknya perpustakaan, sejumlah poster berisikan kalimat-kalimat inspiratif juga dipajang di bagian-bagian dinding.
     Salah satunya yang mencolok adaah ketikan soal sifat-sifat negatif yang patut diwaspadai, yakni sifat tergesa-gesa, suka membantah, berprasangka negatif, mencari-cari aib orang lain, suka bergunjing, tidak pandai berterima kasih, berkeluh kesah, berputus asa, pelit, dan sombong. Itu disarikan Saufni dari ayat-ayat dalam kitab suci Al Quran.

Tidak lulus

     Perjuangan Saufni sesungguhnya sudah dimulai sejak ia tidak lulus SMA di Kota Bukittinggi pada 1961. "Waktu itu banyak yang tidak lulus. Lalu saya ke Kota Padang, ikut ujian persamaan dan lulus pada tahun 1962," katanya.
     Sebelumnya, Oktober 1961, ia juga sudah memulai perjuangan lain. Ia melamar ke bagian tata usaha Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Saufni diterima dengan ijasah SMP. Tugas pertamanya di bagian tata usaha dan keuangan adalah mengetik tabel gaji pegawai.
     Ia lalu lulus SMA. hal yang tidak pernah terjadi pada rekan kerja yang pernah mencemoohnya dahulu. Saufni makin melaju dengan melanjutkan pendidikan ke Akademi Administrasi Niaga Negeri, Padang.
     Tekadnya makin membaja untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi sejak 1964 ia mulai bertugas di Perpustakaan Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
     Oleh karena itu, tahun 1973 ia mulai kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Ilmu perpustakaan digelutinya dan pada 1974 ditemukannya makna tentang memulung ilmu pengetahuan. Saat itu, saufni muda usai membeli ikan dan cabai di Pasar Rawamangun. Ketika itu, kenangnya, kertas koran pembungkus cabai ternyata berisi artikel soal penerbitan buku.
     Secara kebetulan, makalah soal penerbitan buku adalah tugas terbaru dari seorang dosennya pada hari tersebut. makalah  itu lantas diseminarkan dan Saufni adalah mahasiswa yang tampil paling cemerlang pada hari yang ditentukan.
     Namun, sikap cerobohnya membuat dia tidak lulus ujian. Itulah titik balik yang mengubah sikap hidupnya untuk tidak menganggap ringan hal apa pun. Dia semakin bersemangat mengumpulkan informasi apa pun dan memiliki kandungan ilmu pengetahuan.
    Sumber-sumber bacaan itu juga bisa datang dari mana saja. Sumbangan dari perpustakaan daerah, keluarga, dan membeli sendiri. Banyak sumber bacaan lama yang nyaris dimusnahkan akhirnya terselamatkan berkat tangan dingin Saufni.
     Sejumlah kampus tempatnya pernah mengabdi pun kerap ia sambangi. Kebiasaan tersebut makin ditekuni terutama setelah Saufni pnsiun pada 2002.
     Satu pekan sekali bahan-bahan bacaan itu dibawanya pula ke Nagari Koto Baru, tempat pertama Rumah Baca Radesa dibuka.

Kumpulkan pengetahuan

     Ia meyakini, upayanya itu masih sangat diperlukan sekalipun arus informasi kini dengan bebasnya melaju di jaringan internet. Apalagi akses banyak orang pada sumber-sumber bacaan bermutu secara gratis masih teramat sedikit. "Anak-anak sekarang kalau sudah berhadapan dengan komputer malah program permainan yang disasarnya," kata Saufni.
     Mengumpulkan ilmu pengetahuan ketimbang harta kekayaan menjadi tujuannya sejak mula. Karena itulah ia baru memulai kredit rumah di Perumahan Universitas Andalas Griya Andalas, Gadut, Kota Padang, sejak tahun 1990-an.
     Sebuah rumah tipe 36 dicicilnya selama 15 tahun, dengan kredit Rp 26.000 per bulan. Sebuah rumah serupa dibelinya di muka rumah lama dari hasil keuntungan penjualan sebidang tanah di Pekanbaru.
     Saat ini, selain menunggui rumah bacaan, aktivitas Saufni yang utama adalah mengajar sekali dalam sepekan di program D3 Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol, Padang. Selain itu, selama beberapa hari dalam sepekan, ia juga masih bertugas sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Ekasakti-Akademi Akuntansi Indonesia, Padang. Tidak ada kekhawatiran untuk meninggalkan sebentar Radesa.
     Selain dirinya, sejumlah anak asuh yang sebagian adalah mahasiswinya juga siap menjaga perpustakaan umum itu. "Tapi mungkin mulai tahun depan saya tidak bekerja lagi karena bapak (suami) sedang sakit dan tidak bisa ditinggal. Kalau mengajar mungkin masih karena  kan hanya sekali dalam sepekan," ujarnya.
     Pada usia menjelang 70 tahun, nenek empat cucu itu masih energik. Sepasang matanya menerawang mengingat masa lalunya yang bahkan lebih berwarna. Saufni mengatakan, saat itu bukan hal aneh jika dalam sehari ia harus bolak-balik ke sejumlah tempat kerja.
     "Saya tidak pernah menghitung-hitung berapa gaji saya, berapa uang saya. Pokoknya yakin saja ada rejeki," kata saufni yang juga memenuhi impiannya mengunjungi sejumlah benua selain menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan sudah bahagia dan puas dengan apa yang dilakukannya selama ini. Anak-anaknya pun sudah berhasil meniti kehidupan dengan keluarga masing-masing.
     Resep hidup Saufni selama ini adalah selalu bersyukur terhadap apa pun yang sudah diperolehnya. "Jangan mengeluh, syukuri saja apa yang didapat," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 19 OKTOBER 2011
              .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar