Senin, 31 Oktober 2011

Wahyono: "Kuncen" Mangrove Segara Anakan

THOMAS HERI WAHYONO

Lahir : Kecamatan Ujung Alang, Cilacap, Jawa Tengah, 8 Agustus 1965
Istri : Monica Tumirah (41)
Anak :
- Yuvita Reni Windiastuti
- Antoni Joni Rianto
- Andreas Aji Wibowo
- Rizki Tegar Saputro
Pekerjaan :
- Kepala Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut 
- Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari
Pelatihan, antara lain :
- Pelatihan Peningkatan Keterampilan Kelompok Masyarakat Desa Tertinggal
  Cilacap, 2000
- Pelatihan Hutan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir se-Indonesia, 2007
Penghargaan, antara lain :
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, 2010
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, 2010

"Hamparan mangrove di hutan dan tepian laguna bagi Anda mungkin tak ada artinya. Tetapi,saya yakin, menanam dan memelihara hutan mangrove di tanah dan kebun sendiri akan bermanfaat bagi kehidupan kita dan anak cucu di kemudian hari......"

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Kalimat tersebut menjadi "mantra' dalam hidup Thomas Heri Wahyono. Kalimat itu kembali diulang saat ia berjalan kaki melintasi hutan mangrove  menuju rumah semipermanen di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Daerah pelosok ini berdekatan dengan bibir laut selatan kawasan laguna Segara Anakan.
     Kalimat itu pula yang menjadi pedoman Wahyono selama belasan tahun meyakinkan warga di sekitar laguna untuk menanami lahan mereka dengan mangrove (bakau). Kawasan ini mulai rusak akibat degradasi lingkungan.
     Bagi warga Kampung Laut yang rata-rata berpendidikan SD, semangat menanam mangrove yang tumbuh di benak Wahyono itu tidak lazim. "Desa, kok, malah dihutankan," katanya menirukan cibiran warga desa saat gerakan menanam mangrove dimulainya tahun 1999.
     Perjuangan pria tamatan SD ini dalam menghijaukan hutan berawal dari keprihatinan melihat desa kelahirannya kian gersang. Mengenang masa kecilnya, Wahyono merasa bahagia dengan hutan bakau di sekitarnya. hamparan pepohonan itu menjadikan lingkungan tempat tinggalnya kaya biota laut. Udang, kepiting, dan ikan begitu melimpah.
     Tak hanya asri, hamparan mangrove di sekitar Pulau Nusakambangan saat itu juga bermanfaat bagi warga yang hendak menggunakan kayu untuk rumah. Meski begitu, warga kampung Laut hanya mengambil kayu sesuai dengan keperluan mereka. 

Dihancurkan tambak

     Nostalgia Wahyono menjadi mimpi buruk kala 1995 puluhan investor dari Jawa Barat membabati hutan mangrove untuk tambak udang. Apalagi, warga setempat tertarik akrena mereka dimungkinkan memperoleh banyak uang sebagai pekerja tambak. tahun-tahun awal masyarakat menikmati hasilnya. 
     Namun, masa keemasan tambak udang tak bertahan lama. Sekitar tahun 1999, satu persatu tambak bangkrut. Serangan virus dan turunnya harga udang dunia memaksa investor angkat kaki dari Kampung Laut, meninggalkan ribuan hektar gundul.
     Tinggallah kampung Laut yang sebelumnya asri menjadi "gurun pasir", panas dan gersang. Tergugah mengembalikan keasrian alam, Wahyono mulai menanami mangrove di lahan bekas tambak itu seorang diri.
     "Awalnya, saya sendiri mencari biji mangrove dengan perahu ke hutan-hutan yang masih tersisa. Saya pergi siang, pulang malam. Setelah terkumpul banyak, saya menanami lahan bekas tambak dengan biji mangrove itu,"ungkap Wahyono yang sejak 2003 menjadi Kepala Dusun Lempong Pucung.
     Dia lalu mengajak kerabatnya untuk ikut menghijaukan lingkungan dengan mangrove. "Kali ini, ide saya diterima. Kami membentuk semacam kelompok,  namanya Keluarga Lestari, beranggota tujuh orang. Tujuannya sederhana, menghijaukan lingkungan mangrove yang rusak.," katanya bersemangat.
     Namun, gerakan penghijauan lahan di sekitar laguna tak mudah.Caci maki, bahkan tuduhan sebagian tetangga bahwa upaya menanam mangrove itu adalah proyek titipan yang hanya menguntungkannya harus dia hadapi. Wahyono tak menyerah.
     "Jika hutan mangrove lebat, ikan, udang, dan kepiting akan gampang  didapat. Itu pengalaman nyata panjenengan (Anda), bukan? Kalau butuh kayu, tinggal memotong ranting pohon mangrove yang besar. Tidak seluruhnya, agar pohon tidak mati," kata Wahyono setiap bertemu warga setempat.

Tanpa upah

     Gerakan penghijauan itu  lambat laun mampu menggugah kesadaran warga, bukan hanya warga di dusunnya, melainkan juga warga di desa tetangga, seperti Ujung gagak dan Klaces. Ia memanfaatkan setiap pertemuan dengan warga untuk bicara soal mangrove.
     Setelah menjadi kepala dusun, Wahyono pun punya kesempatan lebih besar untuk mengajak warga melestarikan mangrove. maka,terbentuklah kelompok Krida Wana Lestari pada 2004, yang lalu berubah nama menjadi Patra Krida Wana Lestari.
     "Sejak awal, saya sudah wanti-wanti untuk tak bicara upah. Apa yang kami lakukan ini tidak ada yang membayar. Kegiatan ini murni penghijauan, tak ada yang lain," katanya.
     Untuk menambah pengetahuan tentang mangrove, Wahyono mengikuti pelatihan dan lokakarya mengenai tumbuhan endemik perairan payau hingga ke luar daerah. Setiap mendengar ada seminar budidaya mangrove, dia mengajukan diri menjadi peserta.
     Dari berbagai seminar itu, wawasannya mengenai budidaya mangrove semakin luas. Ia jadi tahu bahwa memelihara mangrove jauh lebih sulit dibandingkan dengan saat menanam.
     "Saya bersama kelompok secara rutin membabati ilalang dan benalu yang tumbuh di sekotar mangrove. Cukup berat karena luas lahan yang ditanami mangrove mencapai 66 hektar.Kami melakukannya setiap Jumat," tuturnya.

Apresiasi

     Apa yang dilakukan kelompok itu mendapat perhatian banyak pihak, mulai dari Pemerintah Kabupaten Cilacap hingga PT Pertamina unit Pengolahan IV di Cilacap.
     PT Pertamina memberikan pendampingan budidaya kepiting, mulai dari basket (rumah kepiting dari plastik tebal) sampai benih kepiting. Sekitar 33 anggota kelompok pun merasakan manfaat ekonomi dari hasil keringat selama bertahun-tahun.
     Kini, setelah berjalan sekitar 10 tahun, hampir semua halaman warga di Desa Ujung Alang, khususnya Dusun Lempong Pucung, ditanami mangrove, terutama jenis tancang (Bruguiera) dan bakau (Rhizophora) yang kokoh. Bibit-bibit mangrove diberikan Wahyono gratis kepada para tetangga.
     Kesadaran memiliki mangrove telah tertancap kuat dihati warga Kampung Laut. Jika ada warga dari luar kampung yang menebangi mangrove, warga setempat akan menyuruh mereka pergi. Luas lahan di sekitar laguna yang ditanami mangrove sekitar 65 hektar.
     "Itu belum termasuk yang ditanam secara mandiri oleh warga di sekitar rumah mereka," ujarnya.
     Maka, Kampung Laut berangsur kembali asri. Ikan dan udang berenang di celah-celah akar mangrove. Meski persoalan sedimentasi laguna terlalu besar untuk diatasi tangan Wahyono yang kian menua, setidaknya dia bersama kelompoknya telah memulai langkah kecil untuk menyelamatkan lingkungan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 OKTOBER 2011

3 komentar:

  1. bisa minta nomer kontaknya mas wahyono?

    BalasHapus
  2. kebetulan beliau adalah sahabat saya, semangatnya memang luarbiasa, penghargaan diatas hanya dua dari penghargaan yang lain, silahkan mampir ke ujung alang, kampunglaut, cilacap, mari selamatkan bumi kita

    BalasHapus
  3. selamat malam, bisa mint kontak pa wahyono yang bisa dihubungi?

    BalasHapus