Rabu, 14 Desember 2011

Maria Loretha : Pemburu Benih Sorgum Flores

MARIA LORETHA 

Lahir : Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1969
Pendidikan : S-1 Universitas Merdeka Malang
Suami : Jeremias D Letor
Anak : Agostinho Randy, Benedicto Brian, Philipus Letor, Sesilia Letor
Organisasi :
- Ketua Kelompok Tani Cap Sembilan Flores Timur
- Ketua Aliansi Petani Indonesia Flores Lembata (API Florata)
Penghargaan : Pengolah Pangan Lokal dari gubernur Nusa Tenggara Timur, 2010
Sorgum tak asing bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat karena tanaman ini menjadi pangan alternatif bagi warga pada musim kemarau. Namun, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pengembangan beras, sorgum semakin jarang ditanam warga. Bibitnya pun mulai langka. Padahal, kandungan karbohidrat sorgum lebih tinggi dibandingkan beras.

OLEH SAMUEL OKTORA & KHAERUL ANWAR
Fakta itu membangkitkan semangat Maria Loretha, petani di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk membudidayakan dan mengembangkan tanaman biji-bijian (serelia) ini. 
     kondisi itu melecut Maria mewujudkan mimpinya mendirikan "bank benih" pangan lokal. Maka, kebunnya seluas 6 hektar dijadikan areal pengembangan beragam jenis tanaman seperti sorgum,jambu mete, kelapa, padi, jagung, dan jewawut.
     Sorgum dan berbagai jenis tanaman lokal lain itu dipilih untuk dibudidayakan karena relatif sudah dikenal warga. Kondisi tanah NTT pun cocok untuk sorgum yang tahan hidup di lahan kering, tahan serangan hama dan penyakit, serta produktivitasnya yang tinggi.
     Dengan motivasi dan kondisi empiris itu, kini Maria memiliki koleksi sejumlah sorgum lokal seperti sorgum merah, sorgum hitam, sorgum coklat, sorgum biji putih menjuntai, sorgum putih kelopak putih, dan sorgum putih kelopak merah yang berasal dari Kalimantan.
     "Sorgum coklat kecil ini, misalnya, diyakini masyarakat adat di Ende punya kemampuan magis sebagai penolak bala," katanya.
     Maria juga memiliki benih jelai merah, jelai putih, empat jenis jewawut (dari 13 jenis jewawut lokal Flores), dan padi hitam yang seratnya mengandung zat antioksidan tinggi. Dia masih memburu sorgum biji merah menjuntai yang terdapat di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur.
     Koleksi benih itu, terutama sorgum, dia buru di berbagai pelosok Pulau Flores. Benih itu dia beli atau didapatkannya secara barter. Benih sorgum dibudidayakan di kebunnya, lalu dia berikan kepada para petani.
    Upaya Maria mengembangkan sorgum cepat tersebar ke ranah Flores. Dia diminta melakukan pendampingan dan sosialisasi guna menggalakkan budidaya sorgum pada sejumlah kelompok tani di Kabupaten Ende, bagian tengah Pulau Flores, sisi timur Flores, hingga Kabupaten Manggarai Barat.
     Tak sebatas Pulau Flores, Maria pun diminta mempresentasikan pengembangan sorgum di NTT dalam Diskusi Regional Forum Kawasan Timur Indonesia pada Oktober lalu di Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Sepiring sorgum merah

     Maria mulai mengembangkan sorgum dan tanaman pangan lokal tahun 2007. "Ini berawal dari sepiring sorgum pemberian tetangga saya, Maria Helan," katanya.
     Sorgum itu dikukus dan ditaburi parutan kelapa. Maria mengakui, semula dia ragu apakah sorgum itu cukup enak sebagai makanan."Apa enak ya sorgum ini?" ceritanya menggambarkan situasi saat itu.
     Ini bisa dimengerti sebab sejak kecil Maria tak pernah makan sorgum. Namun, saat butiran sorgum kukus itu menyentuh lidahnya, rasa gurih membuat dia menyukai makanan tersebut.
     Sorgum tersebut berwarna merah, yang oleh warga disebut wata blolon merah atau jagung solo. Sorgum di Kabupaten Ende disebut osho, sedangkan orang Manggarai menyebutnya lepang, mesak, atau pesi.
     Pengalaman pertama itu membuat Maria penasaran pada sorgum, yang lalu diketahuinya sebagai makanan lokal warga NTT. Ia semakin penasaran sebab sorgum tak mudah diperoleh. Ia lalu mulai memburu benih sorgum merah ke Adonara.
     Maria juga menyeberang laut ke daratan Flores Timur, antara lain ke Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura. Di sini dia mendapatkan 10 kilogram (kg) benih sorgum dan sedikit benih jewawut dan jelai. Benih-benih itu dibelinya Rp 150.000.
     Dia juga menghubungi  sebuah yayasan yang diketahuinya memiliki kebun budidaya sorgum di Flores Timur. Dia gagal mendapatkan benih sorgum karena urusan membeli benih ternyata harus sepengetahuan ketua yayasan yang saat itu tak ada di tempat.
     Meski sempat kecewa, Maria tak putus asa."Apalagi, ketika ke Desa Siru, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, saya menemukan benih sorgum hitam yang populasinya termasuk langka," ujarnya.

Kelompok tani

     Benih-benih sorgum itu lalu dia kembangkan sendiri karena Maria senang bercocok tanam. Ia makin rajin mencari informasi tentang pertanian, terutama berkaitan dengan sorgum dari berbagai bahan bacaan. Ia juga bersahabat dengan para petugas pertanian lapangan.
     "Pada hari libur saya suka ke sawah atau ke kebun," kata Maria, anak sulung pasangan Hieronymus Godang dan Marsiana Idus ini. Kesukaannya berkebun dia peroleh dari sang ayah yang juga gemar bertani.
     Untuk melancarkan pekerjaan di kebun, Maria mengajak warga bergabung. Mereka membentuk kelompok tani "Cap Sembilan", singkatan dari cinta alam pertanian. Ia menjadi ketuanya. Hasil panen sorgum itu juga dibagikan kepada anggota kelompok untuk dikembangkan di kebun mereka masing-masing.
     Sorgum yang dikembangkan kelompok tani Cap Sembilan bisa dipanen dalam empat bulan, bahkan dalam cuaca ekstrem sekalipun.
     "Ini karena sorgum bisa tumbuh subur dalam curah hujan tinggi. Kalau cuacanya terlalu kering pun, panen lebih cepat dilakukan sekitar 3,5 bulan," kata maria yang bisa panen empat kali dalam setahun dengan total sekitar 100 kg.
     Secara ekonomis, sorgum lebih murah daripada beras. Harga sorgum sekitar Rp 5.000 per kg, sedangkan beras Rp 7.000-Rp 9.000 per kg. Bahkan, beras merah di Flores harganya Rp 20.000-Rp 40.000 per kg.
     "Sementara jewawut harganya sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per kg dan wijen sekitar Rp 25.000 per kg," katanya.
     Sebagai sumber pangan, sorgum memiliki kandungan nutrisi dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan beras. Sorgum juga bisa dijadikan bahan industri gula cair, etanol, lem, cat, dan kertas. Sementara batang tanaman sorgum biasa dimanfaatkan untuk pakan ternak.
     Karena itulah, menurut Maria, bila petani di Flores mau fokus pada pengembangan tanaman pangan lokal, keuntungan yang mereka dapatkan bisa diharapkan meningkat.
     "Selain mendapatkan bahan pangan yang murah, pengembangan tanaman lokal  juga memberi keuntungan lebih tinggi ketimbang kami hanya menjual jagung," kata Maria.
     Namun, dia menyadari, perjalanan untuk itu masih panjang. "Untuk menggalakkan masyarakat mau mengembangkan sorgum dan melestarikan tanaman   pangan lokal NTT lainnya diperlukan gerakan ketahanan pangan yang terpadu. Di sini diperlukan peran semua pihak, tak bisa hanya kami (kelompok tani) sendiri," kata Maria.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 13 DESEMBER 2011 

3 komentar:

  1. hi thank you for the article i too am going to look into sorghum in Flores as have land in Bajawa

    BalasHapus
  2. any advise on seeds would be welcome also would love to meet up next time im in Flores to discuss possibilities.

    BalasHapus
  3. I think,this article so inspiring for me. Let me know it many more.

    BalasHapus