Senin, 04 Februari 2013

Maria Ulfah: Pendobrak Kemandirian Energi

MARIA ULFAH

Lahir: banda Aceh, 28 maret 1971
Suami: Agusman (43)
Anak: Afif Kholish
Pendidikan:
- SD Negeri 24, Banda Aceh, lulus 1983
- SMP Negeri 6, Banda Aceh, 1986
- SMA Negeri 3, Banda Aceh, 1989
- S-1 di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1996
- S-2 di Institut Teknologi Bandung (ITB), 2003
- S-3 di ITB, 2011

Lewat tangan Dr Maria Ulfah, ketergantungan pada katalis impor guna mempercepat reaksi penghilangan senyawa pengotor dalam minyak mentah selama bertahun-tahun mulai diakhiri. Katalis untuk proses "hydrotreating" bernama TN100-2T itu juga dipergunakan pada Refinery Unit II Dumai yang dijalankan PT Pertamina (Persero). Jumlahnya memang baru 5 ton atau 0,25 persen dari total kebutuhan katalis "hydrotreating" yang mencapai 2.000 ton per tahun.

OLEH INGKI RINALDI

Hydrotreating merupakan proses untuk menghilangkan senyawa-senyawa pengotor sekaligus menjenuhkan minyak bumi sebelum bisa digunakan.Selain hydrotreating, dikenal pula hydrocracking, reforming, cracking, alkilasi, dan isomerasi dalam pemrosesan minyak bumi dengan jenis katalis yang dibutuhkan relatif berbeda.
    Katalis yang ditemukan Ulfah dalam studi doktoralnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) telah meretas jalan baru pada persoalan energi nasional. Karena sudah dipakai dalam skala industri, kualitas katalis temuan staf pengajar Jurusan Teknik Kimia di Universitas Bung Hatta, Kota Padang, Sumatera Barat, itu bisa diandalkan.
   Bahkan, dalam beberapa parameter, kinerja TN 100-2T lebih unggul dibandingkan dengan katalis yang diimpor dari Eropa. Pengujian di skala industri membuktikan TN 100-2T menyingkirkan senyawa nitrogen dalam proses hydrodenitrification (HDN) lebih baik dibandingkan dengan katalis impor.
   Nitrogen yang menjadi salah satu pengotor minyak bumi bisa dienyahkan sebesar 97,25 persen dengan TN 100-2T. Sementara memakai katalis impor, senyawa nitrogen yang lenyap hanya 66,67 persen.
   Adapun kinerja untuk menghilangkan senyawa sulfur dalam proses hydrodesulfurization (HDS), TN 100-2T setara dengan katalis impor. Kedua katalis mampu 99 persen menyingkirkan senyawa sulfur.
   Target operasi PT Pertamina Refinery Unit II Dumai, kata Ulfah, untuk mengurangi kandungan sulfur dari 34 part per million (ppm) menjadi 0,5 ppm juga tercapai. "Kinerja ini sesuai standar yang ditetapkan dalam proses hydrotreating nafta, kandungan sulfur harus 0,5 ppm," kata Ulfah.
   Keunggulan lain katalis tersebut adalah tercapainya tingkat penurunan tekanan yang tak terlalu besar. Besaran penurunan tekanan relatif rendah ini diperlukan agar tekanan dalam satuan atmosferik tertentu yang dibutuhkan pada proses selanjutnya tercapai.

Lebih murah

   Hal itu bisa dicapai berkat bentuk trilobe dalam silinder untuk katalis dengan luas permukaan lebih besar sehingga aliran fluida dalam tungku yang tinggi relatif lebih cepat.
   Meski belum bisa memastikan biaya produksi total, menurut Ulfah TN 100-2T diyakini lebih murah ketimbang katalis impor. Sekalipun sejumlah bahan baku pembuatan TN 100-2T, seperti nikel nitrat, molibdenum trioksida, dan boehmite, masih diimpor.
   "Soal harga saya tidak tahu. Saya fokus meneliti. Namun, ini jelas lebih murah karena dibuat di sini (Indonesia). Saya juga tak tahu persentase perbedaan harganya dengan katalis impor," katanya.
   TN 100-2T yang ditemukan Ulfah secara umum sama dengan katalis impor. Perbedaan terletak pada metode pembuatannya. "Kita tak pernah tahu cara pembuatan katalis impor karena itu rahasia industri," katanya.
   Katalis punya karakteristik yang supersensitif terhadap beragam perlakuan selama proses pembuatan. Maka, sekalipun komposisi dan bahan yang dipergunakan sama, jika metode dan kondisi pembuatannya berbeda, katalis yang dihasilkan pun berbeda sifatnya.
   Katalis TN 100-2T merupakan tipe nikel molibdenum dengan penyangga gamma alumina (NiMo/a-Al203). Selain tipe itu, dikenal sejumlah tipe lain, di antaranya cobalt molibdenum gamma alumina (CoMo/a-Al203), NiMo/a-Al203, Amorf silika untuk katalis hydrocracking, dan platinarenium gamma alumina (Pt-Re/a-Al203) untuk katalis reforming.
   Ulfah menyebutkan, pembuatan katalis untuk proses hydrotreating nafta merupakan tahap awal untuk memlopori industri katalis dalam negeri. Ini dipilih karena bahan bakunya relatif mudah diperoleh, tersedianya sarana pengujian, umur katalis yang relatif pendek, dan pembuatannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis katalis lain.
   Upaya itu juga tak lepas dari kerja sama Program Studi Teknik Kimia ITB dengan PT Pertamina untuk memproduksi salah satu katalis dalam penyulingan minyak mentah. Kerja sama yang dirintis sejak 2005 itu membuahkan hasil setelah Ulfah menyelesaikan disertasi berjudul Hydrotreating Nafta dengan Katalis NiMo Berpenyangga Gamma-Alumina yang dipertahankannya pada Oktober 2011.
   Untuk paten TN 100-2T sampai kini masih dibicarakan. "Karena ini hasil kerja sama antara ITB dan PT Pertamina," ujarnya.
   Upaya memproduksi mandiri katalis tersebut di dalam negeri terkait juga dengan meningkatnya kebutuhan katalis dunia dari 1995 hingga 2005. Itu terjadi karena semakin kotornya kandungan minyak mentah. Di sisi lain, tuntutan untuk menyelamatkan dan melestarikan lingkungan semakin tinggi.

Tantangan

 Tantangan membuat Ulfah fokus pada studi tentang pembuatan katalis penyulingan minyak mentah. Rentetan kegagalan pembuatan katalis oleh sejumlah rekan di masa lalu  semakin melecutnya. "Itu membuat saya tertantang, mengapa kita tak bisa?"
   Dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Ulfah tak tumbuh dalam tradisi akademik. Ayahnya seorang PNS di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, dan ibunya adalah ibu rumah tangga.
   Motivasinya menekuni teknik kimia bersemi saat duduk di bangku SMA. Ketika itu ada alumnus tempatnya bersekolah yang menjelaskan tentang cabang ilmu teknik kimia berikut segala peluang kariernya di bidang industri. Alumnus itu memberi gambaran betapa nyamannya bekerja di dunia industri sebagai ahli teknik kimia. "Itu membuat saya tertarik."
   Ia lalu berbelok ke dunia akademik, yang disebutnya sebagai garis takdir. Setelah lulus S-1, ia ke Padang mencari informasi lowongan pekerjaan."Waktu itu ada tawaran di Universitas Bung Hatta (UBH)," katanya.
   Saat itu Jurusan Teknik Kimia baru didirikan di UBH dan membutuhkan pengajar. "Syaratnya, kami mau disekolahkan lagi studi S-2," ujarnya. Ia terima tawaran itu.
   Sekalipun menyukai tantangan, relatif tak ada tentangan yang ditemui Ulfah dari lingkungan sosial selama berupaya memelopori kemandirian bangsa di bidang energi. Keluarga mendukung dia, para mahasiswa pun memberi apresiasi.
   Sejak mengajar tahun 1998, hal yang membahagiakannya adalah melihat keberhasilan sejumlah mahasiswa. Beberapa di antaRa mereka berhasil menembus ketatnya persaingan di sejumlah industri besar dan menjadi bagian di dalamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 1 FEBRUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar