Kamis, 31 Januari 2013

Tentrem Sriminarsih: Membawa Kayu Lantung ke Pentas Dunia

TENTREM SRIMINARSIH 

Lahir: Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 8 Agustus 1959
Suami: Joko Susetyanto (53)
Anak:
- Bara Perdana Yustisia (31)
- Dian Aroma Yustisia (30)
Pekerjaan: Perajin kulit kayu lantung
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Genengadal, Purwodadi, grobogan
- SMPN 1 Purwodadi, Grobogan
- SMK Widyawacana, Purwodadi, Grobogan
- Diploma 3 Perhotelan, Akademi Kepariwisataan indonesia, Yogyakarta
Penghargaan:
- Nominasi Inacraft Award, 2009 dan 2011
- Paramakarya, penghargaan kualitas dan produktivitas UKM, 2009
- Upakarti Bidang Kepeloporan, 2010
- Juara I Wirausaha Mikrososial Terbaik, Citigroup Microentrepreneurship 
  Award, 2012

Di tangan orang kreatif, benda yang bagi kebanyakan orang tak memiliki manfaat besar jutru menjadi kerajinan yang bernilai ekonomi. Proses kreativitas itu tak boleh berhenti karena selera dan tuntutan pasar terus berubah. Kalau kita tak mampu berinovasi, berarti mati.

OLEH ADHITYA RAMADHAN

Bengkulu memiliki sumber daya alam melimpah, salah satunya berupa kayu lantung. Akan tetapi, sebagian besar warga hanya menjadikan kayu lantung sebagai kayu bakar. Padahal, lewat proses kreatif , kulit kayu lantung bisa menjadi benda fungsional dan berharga jual ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
   Tentrem Sriminarsih, ibu rumah tangga di Kota Bengkulu, melihat peluang itu. Ia mengolah kulit kayu lantung menjadi barang kerajinan tangan yang diminati pasar luar negeri.
   "Saya prihatin, kayu lantung yang banyak di Bengkulu itu ditebang menjadi kayu bakar. Padahal, kulit kayu ini unik, sayang disia-siakan. jika diolah, kulit lantung bisa dibuat menjadi berbagai kerajinan yang ramah lingkungan," kata Sri, panggilannya.
   Dia lalu memberanikan diri  menjadi perajin dengan bahan baku kulit lantung sejak tahun 2000. Ia membuat berbagai barang kerajinan, seperti tempat tisu, kartu ucapan, bingkai foto, gantungan kunci, topi, dan peci. Ia pula yang mendesain semua produk itu. Lembaran kulit lantung diperolehnya dari petani di Kabupaten Kaur, Bengkulu.
   selain mendesain sendiri, ia juga suka bereksperimen dalam proses produksi. Misalnya, Sri mencoba merebus kulit lantung dengan waktu yang berbeda-beda untuk mengetahui hasilnya, sampai ia menemukan warna kulit lantung yang terlihat bagus jika direbus selama tiga jam. Tekstur kayu lantung yang khas itu muncul meski umur kayu juga ikut berpengaruh.
   Alhasil, Sri digandeng PT Pos Indonesia lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Program ini menjadi pintu gerbang bagi Sri untuk mengikuti pameran kerajinan produk usaha mikro, kecil, dan menengah di sejumlah tempat.
   Selain membuat produk sendiri, Sri juga menularkan ketrampilannya itu kepada orang lain. Ia justru senang jika semakin banyak orang yang merasakan manfaat ekonomi dari kulit lantung.
   Sri membina sembilan pedagang kaki lima di jalan Soeprapto, Kota Bengkulu, untuk membuat barang kerajinan kulit kayu lantung. Ia melatih mereka mulai dari mendesain, membuat, hingga barang kerajinan itu layak jual. Ia juga tak segan memasarkan hasil kerajinan buatan mereka. Pendampingannya kepada pedagang kaki lima itu membuat Sri meraih penghargaan Upakarti Bidang Kepeloporan.

Mengikuti perubahan

   Pengalaman mengikuti pameran membuat pemilik produk kerajinan Askara Art Galery itu dapat melihat tren. Kemampuannya melihat perubahan tersebut membuat dia bisa merancang produk kerajinan yang sesuai dengan selera konsumen.
   "Selera (konsumen) selalu berubah. Kalau kita tak bisa mengikuti, mereka akan bosan dan kabur. Contoh, sekarang lagi tren tablet, jadi saya pun membuat (kerajinan) sarung untuk tablet," ujar Sri.
   Guna meningkatkan kemampuan, Sri menyisihkan sejumlah uang untuk menambah ilmu dan keterampilan mengolah kulit lantung. Misalnya, ia mengikuti pelatihan pewarnaan alami di Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik Yogyakarta. Beberapa kali dia juga mengikuti pelatihan di Pusat Pelatihan Ekspor indonesia.
   "Saya juga mau pintar biar bisa berbagi ilmu dengan sesama perajin," katanya.
   Setelah bertahun-tahun memproduksi berbagai produk kerajinan kulit lantung, belakangan Sri membuat tas berbahan kulit lantung dipadu dengan batik tulis. "Tas kulit lantung inilah yang diminati warga Belanda, Jepang, Italia, China, Jerman, dan Korea.
   Untuk memasarkan produknya ke luar negeri, selain mengikuti pameran, Sri juga kerap menitipkan produknya kepada sesama perajin yang mengikuti pameran di luar negeri.
   "Khusus untuk pembuatan tas kulit lantung tidak sepenuhnya dikerjakan di Bengkulu, sebagian diproduksi di Bantul, Yogyakarta. Kami bekerja sama dengan perajin setempat," kata Sri.

Marak pengijon

   Terdapat tiga lokasi penjualan kerajinan berbahan baku kulit kayu lantung yang dibuat Sri dan perajin setempat. Di Bengkulu, Sri memiliki galeri selain memasarkan produknya di Hotel Grage Horizon, Bengkulu.
  Sementara untuk menangkap konsumen dari luar Bengkulu, dia "menitipkannya" di Galeri Smesco, Jakarta.
   "Agar pemasaran produk ini semakin luas, saya sekarang sedang berusaha mendapat tempat di mal yang lokasinya sekitar kawasan Sudirman, Jakarta," ujar Sri yang mengaku tidak risau mengenai modalnya. Alasannya, sudah beberapa periode ini dia mendapat kredit usaha rakyat dari Bank Tabungan Negara cabang Bengkulu.
   Bagaimanapun, usaha kerajinan yang digeluti Sri tak selalu berjalan mulus. Salah satu kendala yang dia hadapi adalah mulai maraknya pengijon di Bengkulu. Mereka memborong kulit lantung dengan harga murah. Kondisi ini membuat Sri tidak bisa lagi bergantung pada kulit kayu lantung liar.
   Ia khawatir, suatu ketika usahanya bakal kesulitan mendapatkan bahan baku kulit kayu lantung. "Apa saya perlu mempunyai kebun kayu lantung sendiri agar tak perlu bergantung pada lantung liar seperti selama ini?" ucap Sri.
   Dia memiliki beberapa batang pohon lantung yang dia tanam di kebun. Namun, jumlah pohon lantung itu tak cukup memenuhi kebutuhan produksinya. Dalam sebulan, Sri membutuhkan 700 lembar kulit kayu lantung berukuran 90 sentimeter x 120 sentimeter.
   Sekadar contoh, harga tas berbahan lantung bervariasi, mulai Rp 450.000 per buah. Sri memang tak membuat produknya secara massal.
 "Ini produk kerajinan tangan, bukan buatan pabrik," katanya.
   Upayanya  mengangkat derajat kayu lantung dari kayu bakar menjadi produk kerajinan bernilai ekonomi membawa Sri mendapatkan penghargaan. Namun, bukan itu tujuan utamanya.
   "Saya ingin membawa kayu lantung ke pentas dunia. Selain itu, masak dari dulu spanduk pemerintah hanya berbunyi cintailah produk dalam negeri. Seharusnya tak sekadar mencintai, tetapi kita membeli dan memakai produk Indonesia," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 23 JANUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar