Kamis, 10 Januari 2013

Ni Kadek Eka Citrawati: Meramu dan Memopulerkan Boreh Bali

NI KADEK EKA CITRAWATI

Lahir: 18 Agustus 1977
Pendidikan:
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Suami: I Putu Katra (32)
Anak:
- Putu Kay Kiandra (8)
- Kadek Kesahwa Keano (5)

"Saya tidak bisa menari. Gerakan saya kaku. Setiap kali ada acara di pura, saya lari karena malu kalau sampai diminta menari." Ucapan itu mungkin biasa saja bagi orang kebanyakan. Namun, bagi perempuan Bali, tidak bisa menari sungguh perkara besar. Itulah yang menimpa Ni Kadek Eka Citrawati (35).

OLEH IDA SETYORINI

Padahal, semasa kecil, orangtua Kadek sampai memasukkan dia ke tiga sanggar tari berbeda dengan harapan dia pandai menari seperti keeempat kakak dan teman-teman sebayanya.
   Impian itu tetap gagal terwujud. Alhasil, Kadek kecil memilih mangkir dari kegiatan tari dan menyibukkan diri dengan memetik dedaunan, bunga, aneka tumbuhan, dan meracik ramuan.
   Sejak usia empat tahun, Kadek senang mengikuti neneknya yang pandai meramu dan mengolah bahan alami menjadi boreh alias lulur tradisional. Kadek takjub melihat sang nenek berjalan-jalan ke kebun dan tepi sungai, lalu memetik aneka daun, kemudian menghasilkan produk untuk keramas, mandi, dan melulur tubuh. Dia pun ikut-ikutan meramu dan mencatat resep dari sang nenek.
   "Semua produk yang saya buat, gagal. Penasaran, saya tanya lagi ke nenek. Catat lagi, bikin lagi, dan gagal lagi. Menurut nenek, resep saya salah, kurang ini kurang itu. Namun, tetap saja saya gagal. Terus begitu. Lama-lama saya sadar, nenek tidak bisa mengeluarkan kemampuannya jika hanya menyebutkan, apalagi menuliskan resep ramuan tersebut. Dia bekerja berdasarkan ingatan dan nalurinya," tutur Kadek di galerinya di Jalan Wibisana Barat, Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
   Jadi, dia melihat tangan si nenek dan mencatatnya tanpa menanyakan resep. Sejumput bahan ini dan sejumput bahan itu, tanpa takaran pasti. Semua berdasarkan perasaan. Ternyata, kalau diminta menyebutkan atau menuliskan resep, sang nenek sulit berkonsentrasi. Nenek malah melupakan bahan baku yang dipakai serta berapa jumlah takarannya.
    "Dengan cara mengamati nenek seperti itu, saya baru berhasil membuat satu produk. Senangnya!" ujar perempuan bertubuh mungil itu dengan mata berbinar.
   Berhasil membuat boreh, Kadek pun kian semangat mencoba-coba. Apalagi banyak orang, seperti keluarga dan teman-temannya, senang dengan boreh buatan Kadek. Mereka menilai, boreh buatan Kadek hangat dan memiliki kekentalan yang pas. Dia ingin serius menekuni ilmu tersebut. Namun, apa daya, di negeri ini tidak ada sekolah untuk membuat produk alami seperti yang dia inginkan.

Kuliah arsitek

   Sepanjang ingatannya, banyak penduduk kampungnya yang memanen dedaunan, rempah-rempah, dan aneka hasil bumi lain untuk diekspor ke luar negeri sebagai bahan baku kosmetik perawatan tubuh. Dia pun galau karena tahu persis orang Indonesia juga mampu membuat produk yang sama atau bahkan lebih kualitasnya.
   Selain itu, orangtuanya, terutama sang ibu, juga tidak mengizinkan dia sekolah di luar negeri. Keempat kakaknya sempat mengenyam pendidikan di mancanegara dan berjodoh dengan orang luar Bali. Karena itu, jika diizinkan bersekolah ke luar negeri, sang ibu takut Kadek juga akan menikah dengan orang luar, apalagi orang asing.
   "Ya ampun, ada yang mau sama saya saja sudah bagus. Lha, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan semua kakak saya. Mereka lebih tinggi, lebih cantik, sementara saya kecil begini," ujar Kadek diiringi tawa meriah. Wajah mungilnya bersinar riang.
   Alhasil, dia pun studi di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Ketika kuliah, Kadek tetap semangat membuat ramuan dan meluaskan pemasaran kepada teman-teman keempat kakak perempuannya. Dia keranjingan menawarkan diri kepada semua kerabat, teman kuliah, dan teman kakaknya untuk menerima perawatan darinya. Kadek rela tidak dibayar ketika ada teman atau teman kakaknya yang mau dilulur sebagai perawatan menjelang pernikahan.

Promosi Bali Alus

   Selepas kuliah, Kadek serius berbisnis produk spa pada tahun 2000. Namun, jangan dikira semua serba mudah. Dia memang pandai meramu, tetapi belum serius memikirkan bagaimana meluaskan pemasaran, membuat kemasan yang menarik, cara membuat produk alami yang awet, dan mempromosikan produk agar dikenal luas.
   Untuk urusan bahan baku, Kadek beruntung dapat meminjam bahan mentah kepada keluarga dan banjarnya, tanpa membayar uang muka atau jaminan.
   "Saya meminjam apa saja, seperti sekarung beras atau sekeranjang lidah buaya kepada mereka. Saya baru membayar ketika produk saya laku. Jadi, modal saya tidak terlalu besar. Modal besar hanya untuk kemasan," tuturnya merendah.
   Kadek memasang merek Bali Alus untuk produknya. Dia menghasilkan produk untuk wajah (masker, sabun, serta kompres wajah dan kompres mata), produk untuk tubuh (masker, losion, pelembap, lulur, sabun mandi, sabun tangan, dan krim pencerah kulit), untuk rambut (sampo, kondisioner, ratus, dan krim creambath), serta berbagai produk aromaterapi.
   Saat memasarkan produknya, Kadek giat menawarkan ke banyak tempat spa yang ada di Bali. Tentu saja langkahnya tak  mudah karena semua pengelola spa menetapkan standar kualitas tertentu dan tidak percaya produk buatan Kadek mampu memenuhi standar tersebut.
   Pantang menyerah, Kadek memberikan sampel untuk dicoba. Sambutan konsumen spa atas produk Bali Alus sangat positif sehingga pengelola spa pun mulai berani memesan produk tersebut.
   Ketika permintaan dari spa, salon, dan konsumen terus meningkat, Kadek kembali menemui kendala. Dia menyadari, perempuan Bali senang bekerja. Namun, mereka tidak dapat bekerja penuh karena memiliki kewajiban di rumah dan keluarganya, seperti menyediakan canang setiap pagi-sore serta keperluan upacara lain. Oleh karena itu, sebagian pekerjanya dari luar Bali.
   "Karyawan saya sebagian asli Bali. Namun, mereka membuat produk yang tak terlalu cepat laju penjualannya, seperti dupa," kata Kadek yang kini memiliki 30 karyawan. Kebanyakan dari mereka adalah warga kampung sekitar tempat produksi usaha Kadek. Bahan baku pun diambil dari desa-desa sekitar.
   Kadek pun belajar hingga ke Belanda untuk membuat produksi alami yang tidak mudah rusak. Produknya mampu bertahan delapan bulan hingga dua tahun.
   Jerih payah Kadek menggali dan memopulerkan kekayaan Bali tersebut mendatangkan banyak penghargaan di tingkat provinsi hingga nasional. "Ambisi saya, menuliskan semua resep warisan nenek dan resep lain yang saya kuasai. Saya ingin mengabadikan kekayaan Bali berupa resep perawatan tubuh dari bahan-bahan alami. Pokoknya, ingat spa ingat Bali," katanya serius.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 JANUARI 2013

1 komentar: