Minggu, 06 Januari 2013

Triyono: Mimpi Empat Triliun Rupiah

TRIYONO 
Lahir: Sukoharjo, Jawa Tengah, 21 Juni 1981
Pendidikan:
- SD Mancasan 2, Baki, Sukoharjo
- SMP 1 Baki, Sukoharjo 
- SMA 3 Sukoharjo
- S-1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret 
  (UNS) Solo
Penghargaan: Finalis Wirausaha Muda Mandiri 2010
Orangtua: Priyono (ayah) dan Marinah (ibu). Ia anak ke-3 dari 4 bersaudara (2 kakaknya meninggal dunia).

Kakinya yang lumpuh membuat dia harus dibantu dua kruk untuk berjalan. Namun, kondisi itu tak mampu mengalahkan bara semangat Triyono (31) untuk menggapai cita-cita. Ia bermimpi dalam dua-tiga tahun mendatang, perusahaan yang ia rintis sudah beromzet Rp 4 triliun.

OLEH SRI REJEKI

Menderita polio yang membuat kedua kaki lumpuh sejak usia satu setengah tahun tidak membuat Triyono menjadi sosok yang minder. Orangtuanya, Priyono dan Marinah, memilih membaurkan sang anak dengan anak-anak lain yang normal.
   Orangtuanya menyediakan banyak mainan dan makanan yang membuat anak-anak sekampung senang datang ke rumah mereka dan bermain bersama Triyono dan kakak-adiknya. Triyono pun tumbuh menjadi anak yang percaya diri, berpikiran positif, dan pantang menyerah. Ia aktif bermasyarakat dan berorganisasi, baik di kampung maupun kampus yang mengasah jiwa kepemimpinannya.
   "Kalau teman-teman main sepak bola, saya ikut jadi kiper atau asisten pelatih. Kali lain, saya mencarikan sponsor untuk seragam dan sepatu mereka. Saya bisa berperan menjadi apa saja dan tetap menajdi bagian tim," kata Triyono saat ditemui di rumahnya di Dusun Teplok, Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
   Memastikan diri sejak dini tak ingin menjadi karyawan, Triyono merintis usaha bidang desain bersama beberapa teman saat kuliah pada semester III Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ia juga menerima jasa mencetak undangan pernikahan, kalender, hingga kaus.
   "Ada teman saya yang bertugas di bidang marketing dan desain. Saya bagian mencari modal, negosiasi harga, dan mencari percetakan," katanya.
   Berjalan setahun, Triyono memilih aktif berorganisasi di kampus. Ia menjadi Sekretaris Jenderal Mahasiswa UNS dan Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa UNS.Bisnis desain dilanjutkan teman-temannya.
   Setahun menjadi aktivis kampus, ia lantas bergabung dengan Yayasan Penyandang Cacat Pelangi Hati dan sempat menjadi Ketua II. Hanya bertahan empat bulan, Triyono mengundurkan diri karena idealismenya berbenturan dengan realitas.

Kembali berbisnis

   Dia kembali berbisnis. Kali ini pilihannya beternak bebek potong. Triyono memberanikan diri mengambil kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 5 juta. Kandang bebek dibuatnya di kebun samping rumah. Usaha ini hanya berjalan lima bulan karena mendapat protes tetangga yang merasa terganggu dengan bau dari aktivitas peternakan ini.
  Namun, ia merasa beruntung karena hasil peternakannya sudah bisa digunakan untuk mengembalikan kredit. Semua bebek yang berjumlah 500 ekor itu lantas dijual.
   Triyono banting setir menjadi makelar sapi kurban. Ia menawarkan jasa kepada para takmir masjid di Solo dan sekitarnya yang tengah mencari sapi untuk kurban pada Idul Adha. Sebagian takmir itu adalah temannya di kampus.
    Ia juga memanfaatkan jaringan, para peternak sapi. Saat itu, Triyono berhasil menyediakan 66 sapi yang dibawa dengan 11 truk. Dari setiap sapi ia memperoleh keuntungan Rp 200.000-Rp 300.000. Uang itu lantas dibagi dengan dua teman yang membantu. "Saya lalu berpikir, mengapa tidak menyediakan sendiri sapinya," ujarnya.
   Ia lantas menggandeng Joko, pegawai tata usaha di kampus untuk bekerja sama. Joko memiliki lahan di Desa Gentan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, yang cukup untuk menampung 70 sapi.
  Saat itu, akhir 2007, Triyono membangun kandang sederhana dari bambu yang awalnya berisi tiga sapi. Ia lalu membentuk kelompok dengan anggota petani yang punya sapi. Jumlah sapi pun berkembang menjadi 17 sapi.
   Triyono mengajukan proposal program Sarjana Membangun Desa kepada Kementerian Pertanian dan mendapat dana Rp 360 juta. Uang itu untuk membeli 40 sapi dan membangun kandang permanen, termasuk instalasi pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair. Pupuk dijual kepada anggota kelompok tani.
   Sapi dia beri makanan campuran konsentrat berformula tertentu agar kotoran tak berbau. Jumlah sapi berkembang menjadi 90 ekor yang sebagian besar merupakan pembibitan dan sisanya sapi penggemukan.
   Investor yang menitipkan uang untuk gaduh sapi mendapat keuntungan 30 persen dalam dua-tiga bulan. Atas pencapaian itu, ia masuk finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010.

Melirik yang lain

   Namun, harga sapi fluktuatif dan penjualannya pun tak secepat ternak lain. Itu membuat Triyono melirik ayam potong sebagai peluang lain. Ayam potong bisa dipanen dalam 28-33 hari sehingga perputaran uangnya lebih cepat.
   Awalnya, ia memelihara 6.000 ayam potong di lahan milik mitra bisnis di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Ia juga memelihara 6.000 ekor lain di Desa Rejosari, Kecamatan Bendosari.
   Pada 2012, Triyono mendirikan pangkalan ayam di Pulogadung, Jakarta, setelah melegalkan usaha di bawah bendera CV Tri Agra Aurum Multifarm yang disingkat Tama.
   Setiap hari, ia mampu memasok dua-lima truk ayam potong ke Jakarta dengan omzet rata-rata Rp 200 juta per bulan. Setiap truk itu berisi sekitar 150.000 ayam. Selain diambil dari peternakan sendiri, ayam juga didapat Triyono dari daerah lain, seperti Tegal, Madura, dan Jabodetabek. Keuntungan bersih dari setiap truk pasokan ayam Rp 1,8 juta. Usahanya pun kebanjiran investor.
   Bahkan, ada investor yang mau menanamkan uang Rp 5 miliar di bidang ini. Triyono tengah menggodok konsep kemitraan dengan para peternak dan mitra bisnis. Selain itu, dia juga tengah memulai ekspor perdana udang beku ke Osaka, Jepang. Ia membeli udang dari petambak  di Lampung, membawanya ke perusahaan pengolah dan pengemas di Tanjung Priok, Jakarta.
   Di sela-sela aktivitas yang lain, yakni memberi motivasi dari kampus ke kampus, pria lajang ini terus mengejar mimpi. Ia ingin perusahaannya, yang dalam proses menjadi perseroan terbatas, berkembang merambah bisnis lain. Dari pertanian kemitraan meluas menjadi perkebunan, kehutanan, ekspor, hingga perbankan, dengan omzet Rp 4 triliun per tahun. Ia bahkan telah menyiapkan nama banknya kelak, Tama Bank.
   Triyono membuktikan, cacat fisik tak mampu menghalangi cita-citanya. Kekurangan justru menjadi "bahan bakar" untuk terus menghidupkan semangat mengejar mimpi, termasuk menonton klub sepak bola idola, Manchester United, berlaga di Old Trafford, Inggris.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 3 JANUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar