Selasa, 15 Januari 2013

Kalfin Saya: Nasionalisme di Tapal Batas

KALFIN SAYA
Lahir: 26 November 1964, Halmahera, Maluku Utara
Pendidikan:
- SD Gereja Masehi Injil Halmahera
- SMPN 1 Galela, Halmahera
- SMAN 1 Galela, Halmahera
- Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Pattimura
Istri: Jospina Mandarasi (39)
Anak:
- Friska Julia (15)
- Farah Grei (3)
Pekerjaan:
- Guru Honorer SMAN 2 Merauke (1995-1998)
- Guru SMP Negeri 11 Merauke 1998-2004
- Kepala SMKN 1 Sota 2004-sekarang
Penghargaan:
Kalfin memperoleh penghargaan dari Pemerintah Papua Niugini atas dedikasi bidang pendidikan terhadap siswa-siswi PNG di SMK 1 Sota

Lupakan sejenak kisah buram seputar sertifikasi guru dan kehidupan guru-guru di daerah terpencil. Kiprah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, Papua, bisa jadi pelipur lara di tengah karut-marut pendidikan nasional yang sarat kebijakan akrobatik. Kepada para siswa yang mengenyam pendidikan di ujung timur Tanah Air itu, Kalfin Saya konsisten mengajarkan nasionalisme.

OLEH ERWIN EDHI PRASETYA & NASRULLAH NARA

Kalfin boleh disebut visioner dalam mengatasi kerawanan keamanan di wilayah area perbatasan negara Republik Indonesia-Papua Niugini (PNG). Upayanya merangkul siswa dari negara tetangga PNG setidaknya meredam potensi konflik lintas batas RI dan PNG.
   Sejak Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, itu berdiri pada 2004, Kalfin selaku kepala sekolah tampil memotori perekrutan siswa warga negara PNG. Setiap tahun, 20-30 anak dari negara tetangga itu diajak mengenyam pendidikan sekaligus diajak bergaul dan membaur bersama anak-anak Indonesia.
   Kalfin menyebut sekolah tersebut sebagai "istana damai". Disitulah, dibawah "satu atap" sekolah, anak-anak beragam suku bangsa ikut mengenyam pendidikan. Anak-anak PNG mengakrabi Indonesia melalui pergaulannya dengan siswa Indonesia yang terdiri dari beragam suku di Papua serta beragam suku dari Pulau Jawa-Bali. Untuk diketahui, kawasan Sota memang terletak tak jauh dari lokasi transmigrasi di Merauke.
   Pendekatan kultural yang diwujudkan dalam tindakan nyata berupa pemberian bekal kecakapan hidup kepada anak-anak lintas negara di Tanah Papua itu dengan sendirinya mengangkat citra Indonesia di mata dunia internasional.
   Kalfin-lah yang berupaya mewujudkan hal tersebut. Atas berbagai upayanya itu, tak keliru jika tahun lalu Pemerintah PNG secara khusus memberikan penghargaan dedikasi pendidikan kepada Kalfin. Pria berdarah Halmahera, Maluku Utara, ini dianggap mendorong kemajuan hubungan bilateral RI-PNG melalui bidang pendidikan.
    Dalam perbincangan dengan Kompas, beberapa waktu lalu, ayah dari dua anak itu mengakui miris setiap kali mendengar atau membaca seputar kehidupan masyarakat di area perbatasan RI-Malaysia, khususnya di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Isi berita tersebut didominasi kisah yang melorotkan harkat bangsa di mata negara tetangga dan dunia internasional.
   "Bayangkan, warga RI berbondong-bondong mencari nafkah ke Malaysia karena ekonomi setempat berkiblat ke negeri jiran itu. Akibatnya, anak-anak lebih mengenal dan bangga pada Malaysia ketimbang Indonesia, negerinya sendiri. Di sini, anak-anak negara tetangga malah antusias belajar mengenai Indonesia," ujarnya. Keprihatinan Kalfin tidak berhenti di wacana atau pembicaraan sesaat, tetapi dia mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
   Berlatar belakang pendidikan biologi dari Universitas Pattimura, Ambon, Kalfin menekankan pembekalan kompetensi dan kecakapan hidup yang berbasis pada alam sekitar terhadap siswanya.

Kekerabatan

   Perjalanan Kalfin dalam dunia pendidikan di Papua memang cukup panjang. dia turut merancang dan membidani lahirnya SMKN 1 Sota Tapal Batas RI-PNG pada 2004. Pengalamannya mengajar selama enam tahun di SMPN 11 Merauke yang juga berada di perbatasan Merauke-PNG, membuat Kalfin dipercaya menjadi Kepala SMKN 1 Sota sejak 2004 hingga sekarang. SMKN 1 Sota kini memliki dua jurusan, yakni Agribisnis Ternak Unggas (ATU) dan Agribisnis Pembibitan dan Kultur Jaringan (APK). 
   Sekolah yang berada di pinggir Taman nasional Wasur Merauke ini memiliki siswa dari kelas I hingga III sebanyak 116 orang. Dari jumlah itu, 47 diantaranya merupakan siswa asal negara tetangga, PNG, sebanyak 25 siswa PNG menempuh pendidikan di jurusan APK dan 22 siswa lain di jurusan ATU.
   "Sejak menerima pelajar asal PNG pada 2006, SMKN 1 Sota telah meluluskan 20 siswa-siswi asal PNG," kata Kalfin.
   Semua pelajar asal PNG tersebut kini tinggal di asrama sekolah bersama 30 siswa-siswi setempat. Hubungan mereka terjalin baik meski belum lancar berbahasa Indonesia. Selama menempuh studi di SMKN 1 Sota, mereka mendapat bantuan dana pendidikan dari Pemerintah PNG.
   "Siswa asal PNG selalu kami ajarkan berbahasa Indonesia agar bisa menyesuaikan diri dengan baik," kata Kalfin.
   Umumnya siswa-siswi PNG yang bersekolah di SMKN 1 Sota berasal dari kampung-kampung di Distrik Morehead yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Merauke. Secara tradisional, mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat suku Marind di Merauke yang tinggal di sekitar daerah perbatasan kedua negara.
   "Sekolah di SMKN 1 Sota ini adalah pilihan paling dekat secara geografis daari tempat tinggal mereka," katanya.
   Kalfin tak pernah lelah mengingatkan anak didiknya untuk tekun belajar dan menyelesaikan studi. Seperti saat Kompas berkunjung ke SMKN 1 Sota, ayah dua putri itu sedang mengumpulkan anak didiknya. Dia memberi nasihat agar mereka disiplin bersekolah, tidak putus sekolah, dan tidak tergoda untuk menikah sebelum lulus.
   Bagi Kalfin, tantangan terbesar di daerah perbatasan itu adalah meyakinkan orangtua dan siswa untuk sekolah. "Di kampung, mereka adalah tenaga produktif untuk berburu di hutan menangkap rusa atau mencari ikan arwana. Hasil berburu bisa dijual dan mereka menapat uang tunai yang cukup besar. Itu godaan bagi anak-anak," katanya.


Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 8 JANUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar