HERRY GUNAWAN
Lahir: Lumajang, Jawa Timur, 15 Juni 1954
Pendidikan:
- SDN Gaplek, Kabupaten Lumajang
- SMPN 1 Pasirian, Kabupaten Lumajang
- SMA Katolik Lumajang
Penghargaan:
- Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan, 2002
- Satyalencana Pembangunan bidang Lingkungan Hidup, 2012
Sebagian hidup Herry Gunawan (58) didedikasikan untuk merawat hutan bambu Desa Sumbermujur di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Sesuai keyakinannya, kelestarian hutan bambu inilah yang membuat mata air Sumber Deling tak henti mengalir ke rumah dan sawah penduduk.
OLEH HARRY SUSILO
Hawa sejuk terasa di hutan bambu Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, awal Januari lalu. Suara gemericik air berbaur bunyi serangga terdengar di hutan bambu yang berjarak 40 kiometer arah barat pusat kota Lumajang ini.
Siang itu Herry masuk ke hutan bambu menenteng kantong berisi butiran jagung. Sembari berjalan, dia berteriak menirukan suara kera. "Biasanya mereka bergelantungan di sekitar sini," ujarnya, menunjukkan batang pohon bambu yang melintang.
Mereka yang dia maksud adalah sekelompok kera ekor panjang, penghuni hutan bambu. Saat hari mulai sore, kera-kera berdatangan, bergelayutan dari satu batang pohon bambu ke bambu lain. Herry melemparkan butiran jagung, mereka menyambar dan melahapnya.
Puluhan kera mengelilingi Herry. Kelompok kera ini hanya satu dari beragam fauna yang menjadikan hutan bambu sebagai rumah mereka. Ada kelelawar yang tidur bergelantungan di pucuk bambu, ikan di aliran mata air, burung, serangga, dan hewan lain.
Ratusan rumpun bambu yang menjulang tinggi membuat kawasan ini rimbun dan sejuk. Di sini mengalir mata air yang menghidupi warga di empat dusun yang mengelilinginya, yakni Umbulrejo, Umbulsari, Krajan, dan Wonorenggo.
Mata air Sumber Deling di tengah hutan bambu seluas 14 hektar ini menjadi berkah bagi warga, baik untuk keperluan air minum maupun irigasi sawah mereka. Alirannya tak pernah berhenti meski musim kemarau.
Debit mata air Sumber Deling berkisar 600-800 liter per detik saat musim kemarau. Ketika musim hujan, debitnya mencapai 1.300 liter per detik. Saat di tempat lain kekeringan, kawasan Sumbermujur tak pernah kekurangan air.
Mata air ini mengaliri 891 hektar sawah di Desa Sumbermujur, Penanggal, Tambakrejo, dan Kloposawit. Saat musim kemarau, 551 hektar sawah ikut dialiri di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, yang berjarak 50 kilometer dari Sumbermujur.
"Biasanya warga Desa Pandanwangi membawa air dari Sumber Deling dengan mobil tangki," kata Herry.
Selain mengairi sawah, mata air ini juga dialirkan ke rumah warga untuk air minum, memasak, mandi, dan mencuci. Desa Sumbermujur yang berpenghuni 6.778 jiwa atau 1.872 keluarga ini dianugerahi air yang melimpah.
Menurut Herry, sekitar 75 persen penduduk Sumbermujur menikmati aliran mata air Sumber Deling, sisanya menggunakan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Kondisi di Sumbermujur itu tak lepas dari kerja keras warga yang merawat hutan bambu selama puluhan tahun. Lewat Kelompok Sumber Daya Alam atau KPSA Kali Jambe yang dirintis Herry, warga memelihara hutan bambu.
Krisis air
Tahun 1970-an hutan bambu itu habis dibabat. Banyak penduduk yang terjerat kemiskinan. Mereka makan bulgur dan bermata pencarian sebagai pembuat gedek (anyaman bambu) di samping bertani.
Mereka menebangi bambu untuk sandaran penghidupan sehingga begitu cepat luasan hutan berkurang. Kala itu, dalam satu rumpun hanya tersisa tak lebih dari 20 pohon bambu yang semula mencapai lebih dari 100 batang.
Hal ini membuat debit mata air Sumber Deling menyusut drastis, dari 800 liter per detik menjadi sekitar 350 liter per detik. Kondisi itu membuat warga harus antre air bersih saat musim kemarau.
Bahkan, mereka berbondong-bondong menuju pusat mata air saat malam hari dengan membawa obor, lalu menampung air demi kebutuhan esok harinya. Situasi ini membuat warga merugi karena sawah mereka kerap krisis air sehingga gagal panen.
Herry yang juga petani tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Ia berjuang memberikan pemahaman kepada warga melalui diskusi di pematang sawah dan warung kopi. Ia juga berinisiatif mengumpulkan petani dan merintis kelompok tani Kali Jambe.
Tahun 1980-1981 masyarakat mulai sadar pentingnya keberadaan hutan bambu. Dimotori kelompok tani yang berubah nama menjadi KSPA Kali Jambe, warga kembali menanam bambu dan membiarkannya tumbuh.
Mereka juga bergotong royong membangun pelindung mata air dan menjaga hutan bambu secara bergantian agar tak ada orang yang menebang bambu sembarangan. Hutan juga ditata agar orang luar kampung senang berkunjung.
"Tanaman bambu mudah dirawat dan dikembangkan. Selain menampung banyak air, bambu juga banyak gunanya," kata Herry yang juga Ketua KPSA Kali Jambe.
Peraturan desa
Alhasil, pertengahan dekade 1980-an, debit mata air Sumber Deling berangsur meningkat. Warga pun semakin yakin, hutan bambu mampu menjaga sumber mata air itu. Ungkapan "ada bambu ada air" yang kerap disampaikan Herry pun terbukti.
Merasa hutan bambu perlu dipertahankan, warga dan aparat Desa Sumbermujur sepakat untuk merumuskan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2000. Isinya, melarang siapa pun menebang bambu tanpa seizin komponen pemerintah desa dan pengelola hutan bambu.
Regulasi ini diperkuat dengan Perdes Nomor 6 Tahun 2007 yang memuat larangan untuk mengambil atau merusak flora dan fauna di kawasan hutan bambu. Jika peraturan itu dilanggar, pelanggar akan dikenai sanksi seperti tertera dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, yakni denda Rp 500 juta.
"Sampai kini tak ada yang melanggar perdes karena warga juga sadar pentingnya hutan bambu. Tanpa bambu, air susah didapat," ucap Herry yang mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2002 karena kegigihannya menyadarkan warga.
Setiap tahun warga Desa Sumbermujur menggelar Mahesa Suroan, tradisi yang dilaksanakan setiap 1 Suro (1 Muharam) sebagai bentuk ruwatan dan ucap syukur karena berlimpahnya air. Ritual ini diawali dengan memikul gunungan hasil bumi dan diakhiri dengan mengubur kepala sapi di dekat mata air.
Tradisi ini merupakan salah satu bentuk penghargaan manusia pada alam. Jika tak dijaga, alam akan murka dan menimbulkan malapetaka. Keyakinan itu yang membuat Herry tak henti menjaga lingkungan Subermujur.
Ia juga menggerakkan petani untuk menghasilkan padi organik di Sumbermujur. Alasannya, konservasi dapat berjalan selaras dengan pertumbuhan ekonomi warga.
Hutan bambu pun dijadikan wana wisata. Secara swadaya, mereka menata hutan berisi 350 rumpun bambu itu dan membangun gapura sebagai pintu masuk. Warga mendapat penghasilan dari retribusi sukarela dan berjualan makanan ringan.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 31 JANUARI 2013
air harus terus terjaga ketersediannya kita bisa menanam pohon buah juga dan memang pohon bambu sangat banyak manfaatnya
BalasHapus