Kamis, 01 November 2012

M Zuhdi, Alfian, dan Maryam: Menghidupkan Kembali Senandung Jolo


BIODATA

M ZUHDI
- Lahir: 2 Mei 1955
- Anak: 4 orang

ALFIAN 
- Umur: 50 tahun
- Anak: 3 orang

MARYAM
- Umur: 70 tahun
- Anak: 10 orang

Pencapaian:
- Zuhdi, Alfian, dan Maryam mendirikan sanggar Mengorak Silo sebagai upaya 
  menghidupkan kembali kesenian senandung jolo
- Pada 2012, sanggar tersebut melatih tradisi senandung jolo kepada para 
  siswa sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama
- Ketika sebagian besar tradisi tutur lisan Melayu di Jambi hampir punah, 
  senandung jolo mampu bertahan, bahkan bangkit menjadi salah satu ikon 
  kesenian tradisi Provinsi Jambi

Senandung jolo pernah tenggelam selama 20 tahun. Mungkin banyak penggalan darinya yang nyaris terlupakan, dan bukan hal yang mudah untuk menghidupkan kembali seni berpantun ini. Semarak calung dan gambus pernah melampaui senandung jolo yang merupakan warisan seni Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi.

OLEH IRMA TAMBUNAN

Bermula saat kampanye pemilihan umum legislatif sekitar tahun 1980, salah seorang pengurus partai menghadiahi kelompok seniman Desa Tanjung seperangkat alat musik calung. Kesenian asli Jawa Barat itu pun kemudian mengisi berbagai acara hiburan setempat, seperti pesta pernikahan dan sunatan.
   Pada masa-masa itu, seni tutur tradisional tersebut tidak pernah tampil lagi dalam berbagai acara budaya. Senandung jolo pun semakin terlupakan.
   Senandung jolo dapat diartikan menyenandungkan rangkaian pantun. Sebagian bait pantun berbahasa Melayu itu terangkai secara tetap. Namun, keindahannya justru mengalir ketika para penutur saling berbalas pantun secara spontan dengan baris-baris kata yang tidak terduga.
   Pada masa lalu, senandung jolo berisikan rayuan kepada orang yang dicintai. Senandung jolo tidak hanya dilantunkan di dalam rumah atau di atas pentas, tetapi justru lebih sering muncul di pematang sawah atau di tengah kebun karet.
   Senandung jolo muncul ketika para petani tengah menyadap karet, menebar benih padi, ataupun menjaring ikan di Sungai Batanghari. Sambil mengayuh sampan, mereka berpantun diiringi alat-alat musik.
   Menjelang masa tanam padi, secara khusus senandung jolo dimainkan orang beramai-ramai di tepi sawah. Mereka menyebutnya nugal jolo. Ini merupakan saat yang menyenangkan, ketika musik mengalun, sementara para petani bergotong royong menebar benih padi. Keindahan alunan musik dan pantun itu berpadu dengan suara alam.

Rasa rindu

   Keindahan senandung jolo inilah yang merindukan hati trio seniman M Zuhdi, Alfian, dan Maryam. Ketiganya adalah seniman lokal yang berupaya menghidupkan kembali kesenian senandung jolo di Desa Tanjung.
   Perjuangan mereka membangkitkan seni ini, seingat Zuhdi, berproses sejak 1983. Dia ingat almarhum ayahnya, Hasyim, sebelum meninggal pernah berpesan agar dia tidak meninggalkan senandung jolo.
   "Kami memiliki warisan seni yang sangat istimewa, tetapi selama ini kami meninggalkannya. Kami berpaling pada kesenian milik daerah lain," ujarnya.
   Pada 1983 Zuhdi menjual semua perangkat calung yang diperolehnya dari pengurus partai. Dia lalu mengajak Alfian dan Maryam menghidupkan kembali senandung jolo.
   Mereka membuat kembali alat-alat musik untuk bersenandung yang bahannya didapat dari hutan. Hampir semua alat musik itu terbuat dari kayu mahang dan marelang, jenis kayu lokal yang sudah semakin langka.
   Untuk membuat alat musik senandung jolo, kulit mahang dikupas, lalu dibentuk menjadi balok-balok tanpa ukuran yang pasti, dan menghasilkan nada sir alias nada yang dihasilkan dari perkiraan atau "perasaan". Hal terpenting pada semua perangkat berjumlah tiga batang, yang mereka sebut sebagai gambang itu, adalah menghasilkan alunan musik selaras mirip kolintang.
   Kayu-kayu itu juga dibentuk menjadi gendang dan gong. Dua penutur lalu melantunkan pantun saling berbalas. Membawakan senandung jolo bisa memakan waktu panjang, bahkan semalam suntuk. Itu bergantung pada kepiawaian para penutur atau jika ada penonton yang ingin ikut bersenandung.

Sanggar seni

   Menghidupkan kembali seni lawas senandung jolo bukan hal mudah di desa yang cepat akrab dengan budaya luar ini. Menurut Zuhdi, butuh sekitar 20 tahun hingga senandung jolo benar-benar bangkit. Ini ditandai dengan terbentuknya sanggar seni dan perekaman rangkaian senandung jolo yang seluruhnya mereka lakukan atas biaya sendiri.
   Selama masa itu, mereka menuliskan kembali koleksi pantun yang kerap dibawakan para orang tua. Setelah itu, mereka mendokumentasikan senandung jolo dalam bentuk rekaman. Hasil rekaman mereka itulah yang sering dibawa pejabat pemerintah daerah ke ajang promosi pariwisata dan budaya.
   Tidak hanya itu, Zuhdi bersama Alfian dan Maryam juga membentuk Sanggar Seni Mengorak Silo. Mereka ingin meneruskan seni senandung jolo kepada kaum muda. Sejumlah siswa sekolah dilatih bertutur serta memainkan dan membuat alat musik gambang, gong, dan gendang.
   "Sekarang anak-anak kami sudah semakin lancar bersenandung jolo dan memainkan alat-alat musiknya," ujar Maryam.
   Senin (24/9), misalnya, Zuhdi, Alfian, dan Maryam duduk di pentas membawakan senandung jolo di hadapan para penggiat Asosiasi Tradisi Lisan Nusantara.
   Kepada para tamu, Alfian berpantun, "Kalau bapak naik perahu, jangan lupo bawa jalo, kalau bapak ingin tahu, inilah dio senandung jolo."
   "dengan cara itulah kami memperkenalkan senandung jolo kepada orang lain," ujar Alfian, dan bait-bait selanjutnya mengalir begitu saja sebagaimana alunan nada-nada sir.

Bayaran minim

   Bagi Alfian, menghidupkan kembali senandung jolo sama sekali tidak untuk tujuan ekonomi. Sanggar mereka memang kerap diundang untuk tampil dalam pesta atau acara-acara budaya, tetapi nilai bayaran untuk penampilan senandung jolo tidak menjadi pertimbangan. Bahkan, hasilnya masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
   Alfian, Zuhdi, dan Maryam, bukanlah petani berduit banyak. Hasil panen padi mereka hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari hingga panen berikutnya. Kalaupun mereka memiliki kebun karet, luasnya tidak lebih dari 1-2 hektar.
   Akan tetapi, kata Maryam, bersenandung jolo di atas pentas bagi mereka jauh lebih bernilai ketimbang bayarannya. Hal terpenting bagi dia adalah ketika semakin banyak orang menikmati senandung jolo.
   "Soal bayaran tak pernah kami pikirkan. Orang mau mendengar dan menyukai senandung jolo saja, kami sudah senang. inilah kebanggaan kami," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 NOVEMBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar