Selasa, 06 November 2012

Suti Rahayu: Sejahtera Bersama Singkong

SUTI RAHAYU

Lahir: Gunung Kidul, 7 Juli 1954
Suami: Miskijan (70)
Anak: Esti Susilaningsih (36), Rini Widianingsih (29)
Penghargaan:
- Penyuluh partisipatif dari Pusat Pengembangan Penyuluh Pertanian (2009)
- Program Magang Petani Mozambik dan Komoro dari Kementerian Luar Negeri 
  (2010)
- Petani Berprestasi dalam Pekan Nasional XIIIPetani-Nelayan (2011)
- Petani Berprestasi dari Kementerian Pertanian (2011)
- adhikarya Pangan Nusantara (2011)

Berawal dari keprihatinan dengan potensi singkong di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Suti Rahayu (58) menjadi rujukan ratusan ibu rumah tangga, peneliti, hingga petani dalam dan luar negeri. Mimpinya membawa singkong menopang hidup masyarakat Indonesia.

OLEH CORNELIUS HELMY

"Tidak hanya menambah penghasilan ekonomi, singkong bisa ikut berperan memperkuat ketahanan pangan masyarakat Indonesia,"kata Suti Rahayu kepada Kompas saat ditemui di rumahnya di Dusun Sumberjo, Desa Ngawu, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, beberapa waktu lalu. Suti adalah pendiri dan ketua "Putri 21", sebuah kelompok pemberdayaan perempuan di daerah tersebut.
   Suti mengatakan, singkong adalah harta yang belum tergali sepenuhnya oleh masyarakat Gunung Kidul. Setidaknya sebelum tahun 2003 singkong lebih banyak diolah menjadi gaplek atau sekadar menjadi makanan ternak. Padahal, potensi singkong di Gunung Kidul terbilang besar, mencapai 850.000 ton per tahun.
   Di lain sisi, ia menemukan fakta banyak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya yang menganggur. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka hidup dalam keterbatasan karena hanya bergantung pada penghasilan suami. Mayoritas warga Sumberjo bekerja sebagai petani dengan pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan.
   Suti pun kemudian berpikir. "Kenapa tidak menggabungkan keduanya untuk hasil yang lebih baik?" katanya. Dia tidak berhenti hanya pada wacana, Suti segera mencari jalan untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya.
   Awalnya tidak mudah memperkenalkan makanan olahan singkong kepada ibu-ibu. Sebagian besar beralasan, mereka tidak bisa membagi waktu dengan kesibukan di rumah. Suti tidak menyerah. Lewat arisan dan simpan-pinjam ia selalu menawarkan emping melinjo yang ia buat dan pasarkan sebelumnya.
   "Perlahan mereka melihat keuntungan dari penjualan emping melinjo yang dijual Rp 10.000 per kilogram, kemudian 21 orang menyatakan ingin belajar. Nama Putri 21 diambil dari jumlah keanggotaan kami saat itu. Pengembangan pertama adalah emping melinjo dan keripik pisang," katanya.
   Untuk meningkatkan keahlian pribadi dan kelompoknya, Suti kerap mengikuti pelatihan dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Undangan mengikuti pelatihan pengembangan makanan olahan umbi dan tepung di Trenggalek dan Bogor pun tak pernah ditolaknya.

Mocaf

   Salah satu pelajaran berharganya adalah pengolahan mocaf (modified cassava flavour). Mocaf adalah tepung singkong yang sudah menjalni proses fermentasi. Modifikasi itu ampuh mendongkrak nilai ekonomi singkong.
   Ia mencontohkan, harga jual singkong kini hanya Rp 1.000 per kg. Bila singkong diolah menjadi tepung mocaf, harganya mencapai Rp 6.000 per kg. Nilai ekonominya bahkan lebih tinggi bila tepung mocaf diolah menjadi kue kering. Satu kilogram mocaf cukup untuk membuat 2 kilogram kue kering yang dijual Rp 30.000 per kg.
   Sejalan dengan mimpinya, usaha pembuatan tepung mocaf dan makanan olahannya perlahan memberikan keuntungan bagi ratusan petani singkong Gunung Kidul. Saat ini, sebanyak 22 kelompok tani singkong dan umbi-umbian di Gunung Kidul menjadi mitra kerjanya. Dalam sebulan, ia membutuhkan 8 ton singkong untuk bahan baku usahanya. Kiprah Putri 21 juga memicu munculnya pabrik pengolahan mocaf di lima kecamatan di Gunung Kidul.
   Sukses mocaf tidak membuat dia berhenti melakukan inovasi. Melihat banyaknya kulit singkong yang dibuang percuma, Suti terdorong untuk mencari alternatif mengolahnya.
   Lewat berbagai percobaan, ia hanya mengambil kulit arinya. Selanjutnya, lewat proses fermentasi dan pengolahan bersama tepung mocaf, kulit singkong tersebut dijadikan keripik.
   Keripik kulit singkong itu kini berhasil menjadi tumpuan beberapa kelompok usaha kecil menengah masyarakat. Salah satunya adalah "Nggowo Berkah" di Rongkop, Gunung Kidul. Kelompok ini beranggotakan bekas tahanan politik dan keluarganya binaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.    
   "Bukan hanya mocaf dan kulit singkong, Putri 21 juga mengembangkan sekitar 30 jenis makanan olahan berbahan umbi-umbian, kacang-kacangan, hingga bonggol pisang," katanya.
   Keberhasilan itu tidak membuatnya besar kepala dan pelit ilmu. Undangan sebagai tutor dari berbagai daerah dia penuhi meskipun pernah tersasar di hutan jati Gunung Kidul hingga menempuh perjalanan laut menuju Masohi dan Pulau Seram.
Setidaknya ada 200 kelompok tani dan perempuan yang pernah mengundang Suti.
   Ia juga terbukti menerima mereka yang datang ke sekretariat Putri 21 di Dusun Sumberjo. Sejumlah petani dari Fiji, Gambia, Senegal, Mozambik dan Komoro pernah belajar di Putri 21 dalam kurun waktu 2007-2011. Mereka tinggal beberapa hari untuk belajar cara menanam singkong dan membuat makanan olahannya.
   "Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga kerap datang. Mocaf dan makanan olahan Putri 21 sama kualitasnya dengan yang mereka kembangkan," katanya.

Alternatif baru

   Lewat kiprahnya, berbagai penghargaan datang silih berganti. Dari penghargaan sebagai Penyuluh Partisipatif dari Pusat Pengembangan Penyuluh Pertanian hingga Ketahanan Pangan di Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dari Kementerian Pertanian. Akhir tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara atas usaha Suti meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.
   Akan tetapi, Suti mengatakan, sesungguhnya banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Salah satunya pembuatan mi dari tepung mocaf. Mi mocaf ini adalah kerja bersama dengan Pemda Gunung Kidul dan Pemprof DIY. Ia mengklaim pihaknya sudah mendapatkan formula yang tepat setelah lima kali percobaan yang gagal. Targetnya, mi mocaf akan dilepaskan ke pasar beberapa minggu ke depan.
   Suti mengklaim, mi mocaf bisa menjadi pilihan lebih murah, tetapi berkualitas. Dengan rasa yang tidak jauh berbeda dengan mi terigu, harga mi mocaf jauh lebih murah. Mi mocaf akan dijual Rp 12.000 per kg atau lebih murah Rp 4.000 dibandingkan dengan mi terigu.
   "Kami berharap mi mocaf bisa menjadi alternatif makanan pokok. Namun, lebih dari itu, kehadirannya sekali lagi membuktikan kehebatan singkong," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 6 NOVEMBER 2012

1 komentar:

  1. Perkenalkan saya sukani ,memproduksi tepung mocaf saya ingin bekerjasama dalam memasarkan hasil produc dari kami ,
    Hb,0857988579777
    Tks ,sukani

    BalasHapus