Kamis, 29 November 2012

Priyono: Menghidupkan Seni Tari Probolinggo

PRIYONO 
Lahir: Banyuwangi, Jawa Timur, 2 April 1958
Pendidikan: Sekolah Menengah Olahraga Atas di Probolinggo
Istri: Tatik Sumarti
Anak: Ika Suryawuri, Risang Dwi Ananta, Niar Tri Finansih
Pekerjaan: Staf Dinas Pendidikan Kota Probolinggo
Penghargaan:
- Penata Tari Terbaik Jawa Timur melalui tari Beksan Lengger, 1985
- Penata Tari Terbaik Jawa Timur melalui tari Kiprah Lengger, 1987
- Penghargaan Seniman Tari Jawa Timur dari Gubernur Jawa Timur, 2010

Menari adalah alat komunikasi lewat gerakan tubuh seseorang. Dengan menari, orang bisa mengekspresikan beragam persoalan di sekitarnya, yang terkadang tidak bisa diangkat dengan cara yang lain. Demikianlah yang dirasakan Priyono, seniman tari asal Kota Probolinggo, Jawa Timur.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Bagi Priyono, pria berusia 54 tahun ini, melalui gerakan-gerakan tari dia bisa mengungkapkan kritik paling pedas sekalipun atas situasi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya.
   "Itu sebabnya seorang seniman tari harus tanggap dan bisa menangkap fenomena di sekitar kehidupannya untuk berkreasi. Fenomena sekitar kita bisa menjadi bahan tarian yang sangat indah dan benar-benar membumi. Ini karena idenya ada di dekat diri kita sendiri," tutur Peni, nama panggilan seniman tari ini.
   Peni adalah sosok penari di Kota Probolinggo yang dikenal getol menghidupkan dan melestarikan kesenian tari di kota pantai utara Jawa Timur tersebut. Sehari-hari dia adalah staf pada Dinas Pendidikan Kota Probolinggo. Meski begitu, hari-hari Peni bisa dikatakan tidak pernah lepas dari dunia tari.
   Dia mendirikan sekaligus mengajar  di sanggar tari Bina Tari Bayu Kencana (BTBK). Sanggar itu kini mendidik 250-an murid dari beragam usia, mulai usia kelompok bermain hingga ibu-ibu.
   Di sanggar tari BTBK, para murid belajar beragam tari tradisional, seperti tarian khas Probolinggo dan tarian Pendalungan. Para ibu yang belajar menari di sanggar BTBK umumnya adalah guru tari di sekolah-sekolah di Probolinggo.
   "Saya ingin Kota Probolinggo memiliki kebanggaan dalam kesenian. Saya ingin kota ini menjadi kota kesenian sebab potensi seni di Probolinggo sebenarnya cukup besar. Budaya Pendalungan sebagai percampuran budaya Madura dengan budaya etnis lain di Probolinggo telah melahirkan suatu budaya tersendiri yang relatif unik," ujarnya.
   Peni ingin Probolinggo sebagai "kota Pendalungan" bisa memiliki kultur seni dan budaya Pendalungan yang kental. Dia ingin seni dan budaya Pendalungan bisa tumbuh sebagaimana kultur budaya yang sangat terasa di tanah kelahirannya, Banyuwangi.

Pendalungan

   Selain menari dan mengajar tari, Peni juga aktif menciptakan berbagai tarian dengan dasar tari tradisional. Dia mengambil dasar budya Pendalungan, campuran antara budaya etnis Madura dan berbagai etnis lain yang melahirkan suatu budaya baru, untuk menciptakan berbagai tarian baru.
   Peni sudah tidak ingat lagi berapa banyak tari tradisi baru yang dia ciptakan. "Mungkin sudah puluhan jenis tari tradisi," ucapnya sambil mencoba mengingat-ingat.
   Dia relatif tak menemukan kesulitan berarti untuk menciptakan tari tradisi baru sebab gerakan-gerakan yang ditampilkan dalam tarian-tarian ciptaannya terinspirasi dari aktivitas warga sehari-hari di Probolinggo.
   Salah satu contohnya adalah tari Cercer. Peni menciptakan tarian untuk anak-anak itu karena terinspirasi dengan kebiasaan anak-anak di Probolinggo yang suka memainkan tutup gelas. Dua tutup gelas saling dipukulkan dengan kedua tangan penari.
   Tarian lain ciptaan Peni adalah tarian Nyo'co. Tarian ini, menurut dia, terinspirasi dari proses mengolah  tanah sebelum petani menanam bawang merah di Probolinggo.
   Pada waktu luang, Peni suka mengamati kegiatan orang-orang dari berbagai kalangan dan profesi di Probolinggo. "Mengamati kegiatan rutin orang itu mengasyikkan. Biasanya dari sini saya mendapat ide menciptakan satu tarian baru," kata Peni yang bisa menciptakan satu tarian dalam sehari, tetapi kadang baru sebulan kemudian dia merasa puas dengan gerakan-gerakan tarian barunya.

Guru olahraga

   Peni yang lahir di Banyuwangi itu awalnya menetap di Probolinggo untuk bersekolah di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di kota tersebut. Lulus SMOA tahun 1977, dia bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Ia menjadi guru olahraga di Probolinggo.
   "Meski mengajar olahraga, saya sering diminta bantuan untuk melatih tari dan mengurusi kesenian. Saya juga sering mengajak murid-murid ikut lomba tari hingga ke tingkat provinsi," kata Peni yang semasa kecilnya di Banyuwangi lekat dengan tari tradisi setempat.
   Berkat keseriusannya membina tari tradisional, tahun 1983 Peni mendapat tugas belajar di sekolah tari Wilwatikta Surabaya. Pada tahun yang sama, dia juga memutuskan berhenti sebagai guru olahraga. Dia memilih menjadi guru tari.
   Sejak saat itu Peni aktif membina tari, terutama di Probolinggo. Meski dia juga kerap diminta membina seni tari di beberapa daerah lain sekitar Probolinggo. "Mungkin karena di Probolinggo tidak banyak seniman tari, jadi beberapa pihak meminta saya membantu mereka."
   Meski dasarnya penari, Peni turut membina beragam kesenian lain di Probolinggo, seperti lengger, ludruk, sampai karawitan. Ia menyumbangkan ide dan mengarahkan kesenian itu agar mampu bertahan, sampai mendukung kelengkapan kostum mereka.
   "Menghidupkan kesenian di Probolinggo tidak mudah. Sebagian orang belum menganggap kesenian itu bagian dari kehidupan mereka, sepertinya kurang ada rasa bangga pada budaya Pendalungan. Ini tak mengherankan sebab kesenian tradisional tak bisa menjadi gantungan hidup." Sebagai masyarakat agraris, bercocok tanam dan bekerja menghidupi keluarga lebih utama.
   Meski begitu, ia tetap gigih berusaha menghidupkan seni Pendalungan. Alasannya, kesenian khas Probolinggo itu terancam punah. Selain karena tak ada penerus, minat terhadap kesenian tradisional pun semakin minim. Beberapa kesenian yang terancam punah antara lain ludruk Probolinggo, tari Topeng Tengger, dan Kemplang Bergending.
   Kecintaan pada dunia tari membuat Peni tak jemu mengajak para seniman di Probolinggo agar bertahan. Caranya antara lain dengan mengajak mereka berdialog, mengikuti seminar, hingga berpentas di luar kota.
   "Bagaimanapun mengajarkan tari tradisional kepada generasi penerus adalah hal yang utama buat saya. Di tangan mereka, masa depan budaya kita bergantung. Kalau mereka tak cinta dan tidak tahu budaya tradisinya, maka sebaik apa pun budaya itu akan lenyap," kata Peni prihatin.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 30 NOVEMBER 2012

2 komentar:

  1. saya sangat tertarik untuk mau mempelajari budaya probolinggo
    saya berencana ke probolinggo dengan teman-teman saya
    tapi saya kesulitan untuk menemukan tempat dan narasumber bagi penelitian saya
    saya mohon solusinya

    BalasHapus