Kamis, 29 November 2012

Nugroho Widiasmadi: Mencari Jawaban dengan Alfaafa

NUGROHO WIDIASMADI
Lahir: Semarang, 22 November 1966
Istri: Krisna Swiswanti (43)
Anak: Rahman Adib Nugroho (18), Mohamad Adhim Nugroho (9)
Pendidikan:
- SMA Negeri 1 Boyolali
- Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Fakultas Teknik Sipil Pengairan 
  (S-1) 
- Roorkee University India, Fakultas Teknik Sipil Pengairan (S-2)
- Universitas Tarumanegara (Untar), Fakultas Teknik Sipil Pengairan (S-3)
Pekerjaan:
- Konsultan Japan International Cooperation Agency (JICA)
- Pembantu Rektor III Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Semarang
- Pengajar di Unwahas, UGM, dan Untar
Penghargaan:
- Dosen Berprestasi Nasional (2007)
- International Wood Ball Federation, atas pembuatan lapangan berstandar 
  internasional yang ramah lingkungan

Nugroho Widiasmadi (46) mengawali penelitiannya dengan pertanyaan sederhana. Bagaimana agar petani mandiri dan tidak bergantung pada pupuk atau pakan pabrikan yang harganya kerap tak menguntungkan petani? Ternyata, ia menemukan jawabannya pada mikroorganisme agresif yang berinang pada tanaman alfaafa ("Medicago sativa").

OLEH AMANDA PUTRI NUGRAHANTI

Namun, jawaban itu tidak diperolehnya secara instan. Nugroho memulainya sejak 1998 ketika mengerjakan proyek pembuatan saluran irigasi di perkebunan alfaafa di Taiwan. Sejak itu, tahun-tahun penuh perjuangan mewarnai kegagalan demi kegagalan upayanya.
   Nugroho bekerja keras mengupayakan tanaman subtropis itu agar dapat hidup dan berkembang di iklim tropis, khususnya di Indonesia. ia menjaga iklim mikro di tanah dengan sistem irigasi menggunakan metode interflow.
   Berkali-kali tanaman alfaafa yang dibawanya dari Iran mati karena perbedaan iklim, cuaca, air, dan tanah. Namun, akhirnya tanaman itu dapat tumbuh stabil pada 2007.
   Tanaman yang di negara asalnya disebut bapak segala tanaman itu pun dapat tumbuh di lingkungan tropis dengan stabil. Bahkan, kandungan proteinnya bisa lebih tinggi setelah ditanam di Indonesia. Indukan alfaafa memiliki kandungan protein 15 persen, sementara anakan yang dihasilkan Nugroho mengandung protein hingga 35 persen.
   "Di Indonesia, proteinnya menjadi lebih tinggi karena pengaruh sinar matahari yang berlimpah. Sekarang, bibit alfaafa dapat ditanam di mana saja tanpa diperlukan perlakuan khusus," kata Nugroho.
   Tanaman itu bisa memiliki kandungan protein sedemikian besar karena adanya bakteri Rhizobium pada tanaman alfaafa yang berinang pada akarnya. Alfaafa memiliki akar tunggang yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter dan juga akar serabut.
   Nugroho menemukan, kinerja bakteri itu begitu mengagumkan. Ia, seperti halnya Rhizobium pada kedelai, mengikat nitrogen bebas di udara. Bedanya, Rhizobium  alfaafa mengikat nitrogen hanya dalam waktu empat detik.
   Riset pun dilanjutkan dengan memanfaatkan bakteri tersebut. Nugroho coba menggabungkan Rhizobium alfaafa dengan bakteri pada rumen sapi, yaitu bakteria selulolitik, proteolitik, dan amilolitik. Dari kombinasi tersebut, Nugroho memperoleh formasi bakteri yang mampu merombak material organik dengan sangat cepat, yang kemudian dinamakan Microbacter Alfaafa-11 (MA-11).
   Mikroorganisme ini mampu menjadi dekomposer yang sangat andal. Ia bisa memecah dinding lignin yang menyelubungi kandungan gizi yang ada pada tanaman, yang selama ini sulit dirombak. Hasilnya, semua limbah pertanian yang difermentasi dengan bakteri ini memiliki kandungan gizi yang melesat jauh dibandingkan sebelumnya.
   Sebut saja jerami, eceng gondok, ampas teh, bonggol jagung, ampas tahu, hingga ampas singkong yang kandungan protein awalnya rendah, bisa meningkat tiga hingga 10 kali lipat dalam kurun waktu 24 jam. Jerami, misalnya, yang pada awalnya mengandung protein 0,8 persen, setelah difermentasi sehari semalam, proteinnya naik hingga 8,0 persen.
   "Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan petani jauh lebih murah ketimbang membeli pakan pabrikan. Petani dapat memanfaatkan limbah pertanian yang ada menjadi pakan ternak yang gizinya setara dengan pakan pabrikan," ujar Nugroho.
   Tidak hanya pakan, pupuk juga bisa dibuat dengan memfermentasikan tanaman atau kotoran hewan. Hasilnya, padi yang diberi pupuk organik dari hasil fermentasi dengan MA-11, ditemukan tidak mengandung bahan kimia dan bakteri berbahaya sedikitpun.
   Bahkan, dengan mengolah singkong menjadi pakan, petani dapat memperoleh pupuk cair dan bioetanol sekaligus. Bioetanol yang dihasilkan memiliki oktan hingga 117, jauh lebih tinggi dibandingkan Pertamax yang beroktan 98.
   Sejauh ini, Nugroho hanya menjual MA-11 langsung kepada petani dengan harga Rp 50.000 per botol berukuran satu liter. Dia tidak mau MA-11 dijual di pasaran untuk menghindari permainan pasar atau rantai distribusi yang panjang yang pada akhirnya merugikan petani karena harga bisa menjadi lebih mahal.

Untuk petani Indonesia

   Nugroho mengaku pernah mendapat tawaran dari Raja Perlis Malaysia pada 2007 untuk mengembangkan tanaman alfaafa di Malaysia, dengan syarat, pengembangan tidak boleh dilakukan di tempat lain, termasuk Indonesia. Namun, dengan tegas Nugroho menolak walau ia tahu belum tentu risetnya lebih mudah diterima di negerinya sendiri.
   Amerika Serikat, salah satu negara yang membudidayakan alfaafa, menurut Nugroho, bahkan tidak membiarkan tanaman alfaafa dibudidayakan di negara lain. Karena itu, mereka membuat bibit yang dimandulkan untuk negara lain.
   Meski demikian, Nugroho tetap teguh dan percaya bahwa suatu saat para petani Indonesia dapat mencapai kemandiriannya. Dia terus bergerak, berpromosi, dan memperkenalkan alfaafa sehingga semakin lama semakin banyak pihak yang mengetahui dan ingin belajar bagaimana membuat pakan, pupuk, hingga bahan bakar secara mandiri.
   Perwakilan dari negara-negara seperti Afrika Selatan, Taiwan, Malaysia, Filipina, India, Uganda, Kenya, dan Etiopia datang untuk mempelajari alfaafa. Nugroho menyanggupi pendampingan kepada mereka dengan catatan tidak untuk monopoli.
   Di dalam negeri, petani-petani dan pemerintah daerah, di antaranya dari Lampung, Aceh, Bukittinggi, Papua, Kalimantan Timur, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, juga berdatangan untuk  belajar bagaimana membuat pakan dan pupuk secara mandiri dengan alfaafa, MA-11 kini diproduksi hingga 10.000 liter per bulan untuk dijual kepada petani-petani di Jawa Tengah dan daerah-daerah lain yang memesan.
   Nugroho juga membagikan benih alfaafa secara gratis kepada petani yang menginginkannya. Dalam kemasan tertulis bahwa benih itu tidak untuk dijual, tetapi untuk dibagikan kepada para petani. Syaratnya, petani harus memperkenalkan tanaman itu kepada petani yang lain.
   Benih tersebut dapat ditanam dimana saja tanpa perlakuan khusus dan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan teh (pucuk daunnya), juga untuk pakan ternak dan pupuk yang kaya kandungan gizi.
   "Ya, syaratnya hanya satu, petani harus memperkenalkan tanaman dan bakteri ini kepada petani yang lain. Yang saya inginkan hanya satu, semua petani sejahtera," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 28 NOVEMBER 2012

Priyono: Menghidupkan Seni Tari Probolinggo

PRIYONO 
Lahir: Banyuwangi, Jawa Timur, 2 April 1958
Pendidikan: Sekolah Menengah Olahraga Atas di Probolinggo
Istri: Tatik Sumarti
Anak: Ika Suryawuri, Risang Dwi Ananta, Niar Tri Finansih
Pekerjaan: Staf Dinas Pendidikan Kota Probolinggo
Penghargaan:
- Penata Tari Terbaik Jawa Timur melalui tari Beksan Lengger, 1985
- Penata Tari Terbaik Jawa Timur melalui tari Kiprah Lengger, 1987
- Penghargaan Seniman Tari Jawa Timur dari Gubernur Jawa Timur, 2010

Menari adalah alat komunikasi lewat gerakan tubuh seseorang. Dengan menari, orang bisa mengekspresikan beragam persoalan di sekitarnya, yang terkadang tidak bisa diangkat dengan cara yang lain. Demikianlah yang dirasakan Priyono, seniman tari asal Kota Probolinggo, Jawa Timur.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Bagi Priyono, pria berusia 54 tahun ini, melalui gerakan-gerakan tari dia bisa mengungkapkan kritik paling pedas sekalipun atas situasi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya.
   "Itu sebabnya seorang seniman tari harus tanggap dan bisa menangkap fenomena di sekitar kehidupannya untuk berkreasi. Fenomena sekitar kita bisa menjadi bahan tarian yang sangat indah dan benar-benar membumi. Ini karena idenya ada di dekat diri kita sendiri," tutur Peni, nama panggilan seniman tari ini.
   Peni adalah sosok penari di Kota Probolinggo yang dikenal getol menghidupkan dan melestarikan kesenian tari di kota pantai utara Jawa Timur tersebut. Sehari-hari dia adalah staf pada Dinas Pendidikan Kota Probolinggo. Meski begitu, hari-hari Peni bisa dikatakan tidak pernah lepas dari dunia tari.
   Dia mendirikan sekaligus mengajar  di sanggar tari Bina Tari Bayu Kencana (BTBK). Sanggar itu kini mendidik 250-an murid dari beragam usia, mulai usia kelompok bermain hingga ibu-ibu.
   Di sanggar tari BTBK, para murid belajar beragam tari tradisional, seperti tarian khas Probolinggo dan tarian Pendalungan. Para ibu yang belajar menari di sanggar BTBK umumnya adalah guru tari di sekolah-sekolah di Probolinggo.
   "Saya ingin Kota Probolinggo memiliki kebanggaan dalam kesenian. Saya ingin kota ini menjadi kota kesenian sebab potensi seni di Probolinggo sebenarnya cukup besar. Budaya Pendalungan sebagai percampuran budaya Madura dengan budaya etnis lain di Probolinggo telah melahirkan suatu budaya tersendiri yang relatif unik," ujarnya.
   Peni ingin Probolinggo sebagai "kota Pendalungan" bisa memiliki kultur seni dan budaya Pendalungan yang kental. Dia ingin seni dan budaya Pendalungan bisa tumbuh sebagaimana kultur budaya yang sangat terasa di tanah kelahirannya, Banyuwangi.

Pendalungan

   Selain menari dan mengajar tari, Peni juga aktif menciptakan berbagai tarian dengan dasar tari tradisional. Dia mengambil dasar budya Pendalungan, campuran antara budaya etnis Madura dan berbagai etnis lain yang melahirkan suatu budaya baru, untuk menciptakan berbagai tarian baru.
   Peni sudah tidak ingat lagi berapa banyak tari tradisi baru yang dia ciptakan. "Mungkin sudah puluhan jenis tari tradisi," ucapnya sambil mencoba mengingat-ingat.
   Dia relatif tak menemukan kesulitan berarti untuk menciptakan tari tradisi baru sebab gerakan-gerakan yang ditampilkan dalam tarian-tarian ciptaannya terinspirasi dari aktivitas warga sehari-hari di Probolinggo.
   Salah satu contohnya adalah tari Cercer. Peni menciptakan tarian untuk anak-anak itu karena terinspirasi dengan kebiasaan anak-anak di Probolinggo yang suka memainkan tutup gelas. Dua tutup gelas saling dipukulkan dengan kedua tangan penari.
   Tarian lain ciptaan Peni adalah tarian Nyo'co. Tarian ini, menurut dia, terinspirasi dari proses mengolah  tanah sebelum petani menanam bawang merah di Probolinggo.
   Pada waktu luang, Peni suka mengamati kegiatan orang-orang dari berbagai kalangan dan profesi di Probolinggo. "Mengamati kegiatan rutin orang itu mengasyikkan. Biasanya dari sini saya mendapat ide menciptakan satu tarian baru," kata Peni yang bisa menciptakan satu tarian dalam sehari, tetapi kadang baru sebulan kemudian dia merasa puas dengan gerakan-gerakan tarian barunya.

Guru olahraga

   Peni yang lahir di Banyuwangi itu awalnya menetap di Probolinggo untuk bersekolah di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di kota tersebut. Lulus SMOA tahun 1977, dia bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Ia menjadi guru olahraga di Probolinggo.
   "Meski mengajar olahraga, saya sering diminta bantuan untuk melatih tari dan mengurusi kesenian. Saya juga sering mengajak murid-murid ikut lomba tari hingga ke tingkat provinsi," kata Peni yang semasa kecilnya di Banyuwangi lekat dengan tari tradisi setempat.
   Berkat keseriusannya membina tari tradisional, tahun 1983 Peni mendapat tugas belajar di sekolah tari Wilwatikta Surabaya. Pada tahun yang sama, dia juga memutuskan berhenti sebagai guru olahraga. Dia memilih menjadi guru tari.
   Sejak saat itu Peni aktif membina tari, terutama di Probolinggo. Meski dia juga kerap diminta membina seni tari di beberapa daerah lain sekitar Probolinggo. "Mungkin karena di Probolinggo tidak banyak seniman tari, jadi beberapa pihak meminta saya membantu mereka."
   Meski dasarnya penari, Peni turut membina beragam kesenian lain di Probolinggo, seperti lengger, ludruk, sampai karawitan. Ia menyumbangkan ide dan mengarahkan kesenian itu agar mampu bertahan, sampai mendukung kelengkapan kostum mereka.
   "Menghidupkan kesenian di Probolinggo tidak mudah. Sebagian orang belum menganggap kesenian itu bagian dari kehidupan mereka, sepertinya kurang ada rasa bangga pada budaya Pendalungan. Ini tak mengherankan sebab kesenian tradisional tak bisa menjadi gantungan hidup." Sebagai masyarakat agraris, bercocok tanam dan bekerja menghidupi keluarga lebih utama.
   Meski begitu, ia tetap gigih berusaha menghidupkan seni Pendalungan. Alasannya, kesenian khas Probolinggo itu terancam punah. Selain karena tak ada penerus, minat terhadap kesenian tradisional pun semakin minim. Beberapa kesenian yang terancam punah antara lain ludruk Probolinggo, tari Topeng Tengger, dan Kemplang Bergending.
   Kecintaan pada dunia tari membuat Peni tak jemu mengajak para seniman di Probolinggo agar bertahan. Caranya antara lain dengan mengajak mereka berdialog, mengikuti seminar, hingga berpentas di luar kota.
   "Bagaimanapun mengajarkan tari tradisional kepada generasi penerus adalah hal yang utama buat saya. Di tangan mereka, masa depan budaya kita bergantung. Kalau mereka tak cinta dan tidak tahu budaya tradisinya, maka sebaik apa pun budaya itu akan lenyap," kata Peni prihatin.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 30 NOVEMBER 2012

Jumat, 09 November 2012

Viktor Emanuel Rayon: Hutan Bakau untuk Pesisir Sikka

VIKTOR EMANUEL RAYON

Lahir: Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, 2 September 1947
Pendidikan: SMP Betun, Belu
Istri: Anselina Nona (60)
Anak: Yeni (35), Toni (33), Yanti (31), Roni (29), Doni (26), Veni (24)
Pekerjaan:
- Koordinator Lingkungan Hidup Sikka
- Ketua Kelompok Tani Sabar Subur, Dusun Mageloo
Penghargaan:
- Juara I Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam, Sikka, 2002
- Petugas Lapangan Penghijauan Terbaik Sikka, 1999/2000
- Peraih Kalpataru Nasional, 2005
- Perintis Lingkungan Hidup Provinsi, 2006
- Peraih Kalpataru Nasional, 2007, 2008, 2010
- Pemeran film dokumenter lingkungan hidup terbaik, 2009

Bagi Viktor Emanuel Rayon, tsunami yang melanda Maumere, Flores, tahun 1992, memberi perubahan besar dalam kehidupannya. Ia prihatin dengan kondisi pesisir. Berkat kerja kerasnya selama ini, sekitar 150 hektar kawasan di sepanjang pesisir utara Sikka, termasuk sebagian pesisir Ende, kini tertutup hutan bakau.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Pria yang biasa disapa Akong itu setiap hari mulai pukul 07.30 hingga pukul 11.30 memimpin kelompok tani Sabar Subur atau bersama istri dan anaknya menyemai dan menanam bakau di tepi pantai. Terkadang ia mengajak mereka menggantikan pohon yang rusak atau gagal tumbuh. Pengetahuannya tentang bakau atau mangrove membuat dia menjadi tempat orang bertanya.
  Berkat pengetahuan yang luas dan keterampilannya dalam budidaya bakau, Rayon kerap diundang hampir ke semua provinsi di Indonesia terkait dengan penanaman bakau. Ia juga memberi pelatihan pembibitan anakan bakau sampai lomba cerdas cermat tentang bakau.
   Pengundang pun tidak kecewa karena hasil karya Rayon umumnya nyata. Oleh karena itulah, meski telah berusia 65 tahun dan pernah terserang stroke serta penyakit jantung, ia tetap berkiprah di bidang budidaya bakau.
   "Saya baru dari Jakarta, menanam baku di Jakarta Utara, September lalu. Saya menanam bakau dengan ilmu yang sederhana saja. Saya tanam (bakau) dengan kedalaman sampai 40 sentimeter agar akar bakau berada dalam pasir dengan udara yang dingin. Ini membuat bakau bisa hidup," kata Rayon di rumahnya, Dusun Mageloo, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka.
   Pengetahuan Rayon tentang bakau membuat dia menjadi juara pertama pada lomba cerdas cermat yang diadakan PT Kaltim Pasifik Amoniak di Bontang, Kalimantan Timur, tahun 2010. Ia menyisihkan puluhan peserta lomba. Saat peserta lain menyebutkan hanya ada empat jenis bakau, dia menjelaskan tentang 15 jenis bakau dengan ciri, sifat, dan manfaat masing-masing. Semua itu ia pelajari secara otodidak.

Hancur

   Ketertarikan Rayon pada bakau muncul pascatsunami di Flores akhir 1992. Waktu itu pesisir Sikka hancur diterjang gelombang laut. Namun, salah satu titik di Pantai Fakta, sekitar 15 kilometer arah utara Maumere, aman. Beberapa rumah penduduk di kawasan itu tidak mengalami kerusakan, bahkan tak kemasukan air laut saat kawasan tersebut diterjang tsunami.
   "Saya tertegun melihat kejadian itu. Ternyata di bibir pantai itu ada hutan bakau yang cukup rimbun. Saya berkesimpulan ternyata bakau dapat menghadang gelombang tsunami. Sejak itu saya berdiskusi dengan istri dan anak-anak, kemudian kami membuat rencana sederhana. Tekad kami cuma satu, yakni menanam bakau di sepanjang pesisir ini," katanya.
   Rayon bersama anggota keluarga lalu berjalan kaki sejauh sekitar 2 kilometer. Mereka mengambil lima karung biji dan anakan bakau di Pantai Fakta. Biji bakau disemaikan, setelah tumbuh dimasukan ke dalam polybag, kemudian mereka tanam di sepanjang pantai. Dalam lima bulan, sebagian kawasan Teluk Ndete sudah ditumbuhi  tanaman bakau.
   Bakau yang ditanam dengan kedalaman 40-50 cm itu pasti tumbuh. Pengalaman awal ini membuat rayon terus belajar tentang sifat dan jenis bakau, baik dengan membaca buku, ikut seminar, berbicara dengan turis asing, maupun berdasarkan pengalaman lapangan.
   Akhir 1993, sebanyak 1.000 anakan bakau sudah dia tanam dan tumbuh subur di sepanjang pantai Teluk Ndete, lokasi yang saat tsunami termasuk porak poranda. Kini, hutan bakau itu mencapai ketinggian 4-6 meter dan menjadi tempat tinggal burung laut, kepiting, dan kerang.
   Beberapa dusun yang berhadapan langsung dengan Teluk Ndete pun dipastikan aman dari abrasi pantai dan gelombang laut. Namun sayang, saat itu warga setempat belum tertarik mengikuti jejak Rayon.
   Waktu itu, apa yang dilakukan Rayon tersebut dianggap suatu pekerjaan sia-sia karena tidak mendatangkan uang secara langsung. Bahkan, Rayon harus merelakan waktu, uang, dan tenaganya. Polybag, misalnya, harus dia beli sendiri dengan harga Rp 25.000 per kg.

Permukiman penduduk

   Selama 19 tahun Rayon dan keluarga tanpa lelah berjuang menanam bakau secara swadaya. Lebih dari 150 hektar kawsan pesisir ditanaminya mulai teluk Ndete, Sikka, lalu menyusur pantai utara dan berbelok ke pantai selatan Ende, Kabupaten Ende. Penanaman itu terfokus pada titik-titik tertentu, yakni permukiman penduduk.
   "Pulau Ende di Kabupaten Ende juga saya tanami, tetapi tidak semuanya. Saya serahkan kelanjutan (penanaman bakau) kepada Ibu Tute dan masyarakat sekitar pulau itu. Saya hanya memberi bimbingan awal," kata Rayon.
   Ia tak hanya menanam dan membiarkan hutan bakau seakan tumbuh liar begitu saja. Lokasi pesisir yang telah ditanami selalu diberinya papan nama dan tanda larangan agar orang tidak menebang atau merusak tanaman bakau.
   Warga Dusun Mageloo, Sikka, NTT, ini mengisahkan, saat tsunami 1992 puluhan penduduk di sepanjang pesisir Sikka sampai perbatasan Kabupaten Ende tewas tersapu tsunami. Selain itu, warga juga harus menanggung kerusakan rumah dan tempat ibadah.
   "Waktu itu kantor-kantor pemerintah, jaringan listrik, tanaman pertanian, dan hewan piaraan juga terkena dampak tsunami," cerita Rayon.
  Peristiwa tsunami 1992 itu didokumentasikan sebuah stasiun televisi swasta pada 2009. Dalam film dokumenter itu, Rayon bersama istri dan anaknya menjadi pemeran utama.
   Berkat kepeduliannya terhadap lingkungan, rumah Rayon yang terbuat dari bambu, berukuran sekitar 6 meter x 8 meter, dan berlantai semen itu sering didatangi turis asing. Bahkan, rumah di Dusun Mageloo, sekitar 33 kilometer dari Maumere itu juga dikunjungi  para ahli bakau dan aktivis lingkungan dari dalam dan luar negeri.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 NOVEMBER 2012

Selasa, 06 November 2012

Suti Rahayu: Sejahtera Bersama Singkong

SUTI RAHAYU

Lahir: Gunung Kidul, 7 Juli 1954
Suami: Miskijan (70)
Anak: Esti Susilaningsih (36), Rini Widianingsih (29)
Penghargaan:
- Penyuluh partisipatif dari Pusat Pengembangan Penyuluh Pertanian (2009)
- Program Magang Petani Mozambik dan Komoro dari Kementerian Luar Negeri 
  (2010)
- Petani Berprestasi dalam Pekan Nasional XIIIPetani-Nelayan (2011)
- Petani Berprestasi dari Kementerian Pertanian (2011)
- adhikarya Pangan Nusantara (2011)

Berawal dari keprihatinan dengan potensi singkong di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Suti Rahayu (58) menjadi rujukan ratusan ibu rumah tangga, peneliti, hingga petani dalam dan luar negeri. Mimpinya membawa singkong menopang hidup masyarakat Indonesia.

OLEH CORNELIUS HELMY

"Tidak hanya menambah penghasilan ekonomi, singkong bisa ikut berperan memperkuat ketahanan pangan masyarakat Indonesia,"kata Suti Rahayu kepada Kompas saat ditemui di rumahnya di Dusun Sumberjo, Desa Ngawu, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, beberapa waktu lalu. Suti adalah pendiri dan ketua "Putri 21", sebuah kelompok pemberdayaan perempuan di daerah tersebut.
   Suti mengatakan, singkong adalah harta yang belum tergali sepenuhnya oleh masyarakat Gunung Kidul. Setidaknya sebelum tahun 2003 singkong lebih banyak diolah menjadi gaplek atau sekadar menjadi makanan ternak. Padahal, potensi singkong di Gunung Kidul terbilang besar, mencapai 850.000 ton per tahun.
   Di lain sisi, ia menemukan fakta banyak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya yang menganggur. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka hidup dalam keterbatasan karena hanya bergantung pada penghasilan suami. Mayoritas warga Sumberjo bekerja sebagai petani dengan pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan.
   Suti pun kemudian berpikir. "Kenapa tidak menggabungkan keduanya untuk hasil yang lebih baik?" katanya. Dia tidak berhenti hanya pada wacana, Suti segera mencari jalan untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya.
   Awalnya tidak mudah memperkenalkan makanan olahan singkong kepada ibu-ibu. Sebagian besar beralasan, mereka tidak bisa membagi waktu dengan kesibukan di rumah. Suti tidak menyerah. Lewat arisan dan simpan-pinjam ia selalu menawarkan emping melinjo yang ia buat dan pasarkan sebelumnya.
   "Perlahan mereka melihat keuntungan dari penjualan emping melinjo yang dijual Rp 10.000 per kilogram, kemudian 21 orang menyatakan ingin belajar. Nama Putri 21 diambil dari jumlah keanggotaan kami saat itu. Pengembangan pertama adalah emping melinjo dan keripik pisang," katanya.
   Untuk meningkatkan keahlian pribadi dan kelompoknya, Suti kerap mengikuti pelatihan dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Undangan mengikuti pelatihan pengembangan makanan olahan umbi dan tepung di Trenggalek dan Bogor pun tak pernah ditolaknya.

Mocaf

   Salah satu pelajaran berharganya adalah pengolahan mocaf (modified cassava flavour). Mocaf adalah tepung singkong yang sudah menjalni proses fermentasi. Modifikasi itu ampuh mendongkrak nilai ekonomi singkong.
   Ia mencontohkan, harga jual singkong kini hanya Rp 1.000 per kg. Bila singkong diolah menjadi tepung mocaf, harganya mencapai Rp 6.000 per kg. Nilai ekonominya bahkan lebih tinggi bila tepung mocaf diolah menjadi kue kering. Satu kilogram mocaf cukup untuk membuat 2 kilogram kue kering yang dijual Rp 30.000 per kg.
   Sejalan dengan mimpinya, usaha pembuatan tepung mocaf dan makanan olahannya perlahan memberikan keuntungan bagi ratusan petani singkong Gunung Kidul. Saat ini, sebanyak 22 kelompok tani singkong dan umbi-umbian di Gunung Kidul menjadi mitra kerjanya. Dalam sebulan, ia membutuhkan 8 ton singkong untuk bahan baku usahanya. Kiprah Putri 21 juga memicu munculnya pabrik pengolahan mocaf di lima kecamatan di Gunung Kidul.
   Sukses mocaf tidak membuat dia berhenti melakukan inovasi. Melihat banyaknya kulit singkong yang dibuang percuma, Suti terdorong untuk mencari alternatif mengolahnya.
   Lewat berbagai percobaan, ia hanya mengambil kulit arinya. Selanjutnya, lewat proses fermentasi dan pengolahan bersama tepung mocaf, kulit singkong tersebut dijadikan keripik.
   Keripik kulit singkong itu kini berhasil menjadi tumpuan beberapa kelompok usaha kecil menengah masyarakat. Salah satunya adalah "Nggowo Berkah" di Rongkop, Gunung Kidul. Kelompok ini beranggotakan bekas tahanan politik dan keluarganya binaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.    
   "Bukan hanya mocaf dan kulit singkong, Putri 21 juga mengembangkan sekitar 30 jenis makanan olahan berbahan umbi-umbian, kacang-kacangan, hingga bonggol pisang," katanya.
   Keberhasilan itu tidak membuatnya besar kepala dan pelit ilmu. Undangan sebagai tutor dari berbagai daerah dia penuhi meskipun pernah tersasar di hutan jati Gunung Kidul hingga menempuh perjalanan laut menuju Masohi dan Pulau Seram.
Setidaknya ada 200 kelompok tani dan perempuan yang pernah mengundang Suti.
   Ia juga terbukti menerima mereka yang datang ke sekretariat Putri 21 di Dusun Sumberjo. Sejumlah petani dari Fiji, Gambia, Senegal, Mozambik dan Komoro pernah belajar di Putri 21 dalam kurun waktu 2007-2011. Mereka tinggal beberapa hari untuk belajar cara menanam singkong dan membuat makanan olahannya.
   "Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga kerap datang. Mocaf dan makanan olahan Putri 21 sama kualitasnya dengan yang mereka kembangkan," katanya.

Alternatif baru

   Lewat kiprahnya, berbagai penghargaan datang silih berganti. Dari penghargaan sebagai Penyuluh Partisipatif dari Pusat Pengembangan Penyuluh Pertanian hingga Ketahanan Pangan di Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dari Kementerian Pertanian. Akhir tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara atas usaha Suti meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.
   Akan tetapi, Suti mengatakan, sesungguhnya banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Salah satunya pembuatan mi dari tepung mocaf. Mi mocaf ini adalah kerja bersama dengan Pemda Gunung Kidul dan Pemprof DIY. Ia mengklaim pihaknya sudah mendapatkan formula yang tepat setelah lima kali percobaan yang gagal. Targetnya, mi mocaf akan dilepaskan ke pasar beberapa minggu ke depan.
   Suti mengklaim, mi mocaf bisa menjadi pilihan lebih murah, tetapi berkualitas. Dengan rasa yang tidak jauh berbeda dengan mi terigu, harga mi mocaf jauh lebih murah. Mi mocaf akan dijual Rp 12.000 per kg atau lebih murah Rp 4.000 dibandingkan dengan mi terigu.
   "Kami berharap mi mocaf bisa menjadi alternatif makanan pokok. Namun, lebih dari itu, kehadirannya sekali lagi membuktikan kehebatan singkong," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 6 NOVEMBER 2012

Minggu, 04 November 2012

Husna Faad Maonde: Kukuh Melestarikan Kayu Kuku

HUSNA FAAD MAONDE

Lahir: Mawasangka, Buton, Sulawesi Tenggara, 31 Desember 1960 
Suami: Prof Dr H Faad Maonde MS
Anak: Toto Gunarto Faad
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar, 1985
- S-2 Program Studi Agronomi, Unioversitas Haluoleo (Unhalu), Kendari, 2010
Pekerjaan:
- Dekan Fakultas Pertanian Unhalu, 2000-2004
- Wakil Ketua I Asosiasi Mikoriza Indonesia, 2007-2011
- Ketua Asosiasi Mikoriza Indonesia cabang Sulawesi Tenggara, 2003-2014

Pemahaman teori dan bicara saja tidak cukup bagi seorang ilmuwan untuk mewujudkan perbaikan atas berbagai masalah di sekelilingnya. Kadang diperlukan langkah nyata yang penuh peluh dan perjuangan di lapangan. Husna Faad Maonde (51) melakukan semua itu demi kelestarian kayu kuku yang dicintainya.

OLEH MOHAMAD FINAL DAENG

Di salah satu habitatnya, di Sulawesi Tenggara, kayu kuku (Pericopsis mooniana THW) merupakan jenis pohon yang terancam punah. Tanaman tropis ini sejak lama menjadi buruan manusia karena nilai ekonominya yang tinggi.
   Soal kekuatan dan keawetan, kayu kuku tak kalah bersaing dengan kayu jati. Kayu kuku biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, jembatan, geladak kapal, kusen, lantai rumah, hingga bantalan rel kereta api.
   Sebagai akademisi dan dosen pada Jurusan Kehutanan Universitas Haluleo (Unhalu), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Husna merasa terpanggil untuk menyelamatkan kayu kuku dari ancaman kepunahan. Upaya penelitian, pengembangan, serta aksi penanaman ribuan bibit kayu kuku di sejumlah tempat di Sultra terus-menerus dilakukannya sejak tahun 1995.
   Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN) menempatkan kayu kuku atau disebut juga nandu wood sebagai spesies flora yang statusnya rawan punah. Habitatnya selain di Indonesia, juga di Malaysia, Papua Niugini, Filipina, dan Sri Lanka.
   Di Sultra, pohon kayu kuku tumbuh subur di hutan dataran rendah, terutama pada tanah podsolik dan aluvial. Salah satu habitat alamiah terbesarnya adalah di Cagar Alam Lamedai, kabupaten Kolaka, Sultra.

Cinta

   Ketertarikan Husna pada kayu kuku bermula tahun 1990. Ketika itu, dia tengah mengikuti program magang pelatihan staf dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara kebetulan ia membaca artikel tentang kayu kuku pada salah satu jurnal ilmiah.
   Dari jurnal ilmiah itulah Husna mengetahui jika kayu kuku juga hidup di Sultra dan terancam punah akibat eksploitasi berlebihan. "Dari membaca tentang kayu kuku, saya mulai tertarik dan mengangkatnya untuk materi presentasi di kelas," cerita Husna saat ditemui di kampus Unhalu, awal Oktober.
   Kisah "cinta" Husna dan kayu kuku terus berlanjut. Saat pulang ke Kendari, Rektor Unhalu saat itu, Soleh Salahuddin, mendorong dia meneliti lebih jauh soal kayu kuku. Husna lalu menyusun proposal penelitian dan mengirimkannya ke Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
   Gayung bersambut dan penelitian dilakukan dengan fokus pembibitan dan perbaikan proses pertumbuhan kayu kuku. Salah satu masalah utama kayu kuku adalah pertumbuhannya yang lambat.
   "Kalau (kayu kuku) tumbuh secara normal, bibit memerlukan waktu selama satu tahun sebelum bisa ditanam di lapangan," katanya.
   Husna pun mencoba mengatasi hal tersebut dengan bantuan rhizobium (bakteri) dan mikoriza (jamur) saat pembibitan benih kayu kuku. Hal itu terbukti berhasil memangkas proses pertumbuhan bibit dalam polybag hingga menjadi tiga bulan saja.
   "Hasil awal sebanyak 100 bibit kayu kuku ditanam di sekitar gedung Rektorat Unhalu tahun 1995," katanya.
   Kini, bibit pertama yang dikembangkan Husna telah tumbuh menjadi pohon-pohon besar nan kokoh, menambah kerindangan kampus, dan bisa dinikmati banyak orang.
   Ia terus mengembangkan dan memperbanyak bibit, serta memberikannya kepada siapa pun yang mau menanam. Di lahan pembibitan Fakultas Pertanian Unhalu terdapat 3.000 bibit kayu yang siap tanam hasil kerja Husna dan para mahasiswa.

Hasrat hidupnya

   Berbagai kegiatan penanaman kayu kuku, baik dengan biaya sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain juga terus dilakukannya. Ia merasa beruntung karena banyak pihak yang mau peduli dan mendukung upaya melestarikan kayu kuku.
   Beberapa lokasi yang telah ditanami, selain kampus Unhalu, adalah Kantor Gubernur Sultra, markas Polda Sultra, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, jalan poros Kota Baubau, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Buton, hingga pondok pesantren di Kabupaten Konawe Selatan.
   Kapan pun ada kesempatan untuk menanam kayu kuku, Husna tak pernah melewatkannya. Pelestarian kayu kuku menjadi hasrat hidupnya. "Walaupun hanya satu-dua bibit, saya akan terus tanam. Saat anak saya berulang tahun, saya suruh menanam kayu kuku juga," ujarnya.
   Untuk memperbanyak kajian tentang kayu kuku, Husna terus mendorong lahirnya penelitian-penelitian berkaitan dengan kayu kuku. Sampai tahun 2011, telah dihasilkan 23 judul karya ilmiah terkait kayu kuku, baik yang dia lakukan sendiri maupun oleh mahasiswa yang dibimbingnya di Program Sarjana Jurusan Kehutanan Unhalu.
   Saat mengambil gelar S-2, Husna mengangkat tesis yang meneliti pertumbuhan bibit kayu kuku melalui aplikasi fungsi mikoriza arbuskula dan ampas sagu pada media tanam bekas tambang nikel.
   Kini, ia tengah mengejar gelar doktor di IPB. "Rencananya, untuk disertasi nanti saya akan melibatkan penelitian soal kayu kuku," kata Husna yang mengambil spesialisasi studi silvikultur hutan tropika.
   Sebuah buku berjudul Hutan Indonesia, Nasibmu Kini juga dihasilkan Husna bersama seorang rekan dosen di Unhalu, Faisal Danu Tuheru. Pada salah satu bagian buku terbitan tahun 2007 itu, seluk beluk dan upaya konservasi kayu kuku dikupas.
  Di sela-sela aktivitasnya menempuh pendidikan S-3, Husna tetap menyempatkan diri menggarap naskah untuk buku berikutnya, Ekologi, Silvikultur, dan Konservasi Kayu Kuku.
   Satu harapan Husna yang masih tersimpan, yakni munculnya kesadaran pemerintah untuk menyelamatkan kayu kuku, baik di dalam maupun di luar habitatnya. Sumber daya pemerintah yang besar akan membuat upaya penyelamatan kayu kuku bisa lebih masif.
   Langkah ini dinilainya perlu agar generasi berikutnya bisa terus menikmati kekayaan hayati alam Nusantara. "Tetapi sampai sekarang belum ada program khusus yang dilakukan pemerintah untuk penyelamatan kayu kuku," ujar Husna prihatin.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 5 NOVEMBER 2012

Jumat, 02 November 2012

Siswaya dan Rukayah: Pelopor Perajin Batik di Kota Bogor

SISWAYA SYAMHUDI
Lahir: Sleman, DI Yogyakarta, 25 September 1961

RUKAYAH
Lahir: Wonosobo, 6 November 1968
Anak:
- Lisha Luthfiana Fajri (24)
- Afri Yudhawan (19)

Berawal dari upaya untuk membantu sejumlah pembatik yang menjadi korban gempa bumi di Yogyakarta, Siswaya Syamhudi (51 yang menjadi pengurus Paguyuban Orang Yogyakarta di Jakarta dan Bogor, bersama kawan-kawan mengadakan bakti sosial di lokasi gempa. Kembali ke Bogor, Siswaya dan istrinya, Rukayah (44) membawa serta empat perajin batik yang menjadi korban gempa.

OLEH FX PUNIMAN

Sambil berupaya merintis usaha batik di Kota Bogor, Siswaya dan Rukayah juga berharap bisa memberdayakan keempat perajin batik asal Yogyakarta tersebut. Dengan modal awal sekitar Rp 150 juta, hasil menjual rumah dan mobil, keduanya membatik bersama dengan empat pembatik asal Yogyakarta tersebut.
   "Saya ingin memberi kontribusi di kota tempat tinggal kami. Selain juga karena kami merasa rasa nasionalisme terusik ketika batik diklaim milik negara lain," kata Siswaya tentang motivasinya merintis usaha kerajinan batik di Kota Bogor, tempat tinggalnya sejak 25 tahun lalu.
   Tekadnya semakin bulat untuk menjadi perajin batik karena dia belum melihat ada warga Kota Bogor yang menjadi perajin batik tulis atau pun cap. Tak seperti umumnya motif batik yang dikenal di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Siswaya dan Rukayah mulai membatik dengan motif gambar yang dikenal di Kota Bogor. "Biar batik kami punya ciri khas tersendiri," ujar Siswaya.
   Jadilah mereka membatik dengan motif-motif yang berbeda dengan batik daerah lain, misalnya motif rusa, Tugu Kujang, bunga bangkai, dan daun talas. Karena  Bogor dikenal sebagai "Kota Hujan", Siswaya juga membuat motif batik hujan gerimis.
   Ketelatenan dan kerja keras mereka membuahkan hasil. Siswaya yang semula karyawan sebuah bank perkreditan di Bogor dan Rukayah yang sebelumnya bekerja di sebuah pabrik garmen kemudian dikenal sebagai pelopor perajin batik di Kota Bogor.
   Pembatik yang dimulai dengan empat orang kini terus bertambah menjadi 30 orang.Sebagian besar pembatik di tempat usaha mereka adalah kaum muda. "Bagi kami, angka 13 itu merupakan keberuntungan." Pasalnya, keduanya memulai usaha batik di Bogor pada 13 Januari 2008. Batik hasil karya mereka tak hanya dikenal warga setempat, tetapi juga dijadikan cendera mata oleh wisatawan lokal dan asing.
   "Wisatawan biasanya datang langsung ke galeri dan bengkel batik kami," kata Siswaya saat ditemui pada September lalu.

Menjadi ikon

   Usaha membatik dengan motif khas Kota Bogor yang dilakukan Siswaya dan Rukayah rupanya menarik perhatian Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan istrinya, Fauziah. Diani Budiarto lalu meminta Siswaya menunjukkan beberapa contoh motif batik yang bisa dijadikan ikon batik Kota Bogor.
   Beberapa motif yang kami ciptakan kemudian disetujui Wali Kota (sebagai salah satu ikon batik Kota Bogor), seperti motif rusa tutul, yang memang idenya kami ambil dari rusa koleksi Istana Bogor, dan motif Tugu Kujang," tutur Siswaya.
   Maka, pada Hari Jadi Ke-527 Kota Bogor tahun 2009, batik-batik dengan motif khas Kota Bogor itu pun diluncurkan Fauziah sebagai Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Bogor. Batik-batik yang diproduksi Siswaya dan Rukayah itu kemudian dikenal dengan nama Batik Bogor Tradisiku (BBT).
   Motif andalan BBT, adalah kujang kijang sebagai perlambang ketenteraman dan keamanan Kota Bogor dan motif hujan gerimis yang merupakan wujud Kota Bogor sebagai "Kota Hujan".
   Diani Budiarto juga mengimbau pegawai negeri sipil pada berbagai instansi di lingkungan Pemerintahan Kota Bogor sampai murid SD di kota itu mengenakan baju batik setiap hari Kamis, terutama produk BBT. Dukungan dari Pemerintah Kota Bogor itu membuat BBT semakin dikenal.
   "Wali Kota sering memberi cendera mata BBT untuk tamu-tamu dari mancanegara yang berkunjung ke Pemerintahan Kota Bogor," ungkap Siswaya.

Tujuan wisata

   Tak hanya produk BBT yang dikenal orang. Wisatawan asing dan lokal pun menjadikan galeri BBT di Jalan Jalak 2, Kota Bogor, dan bengkel kerja BBT di Cibuluh sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bogor.
   "Wisatawan asing bisa melihat langsung pembuatan batik di Bogor, tak terlalu jauh dari Jakarta," ujar Siswaya.
   Dengan tenaga pembatik yang relatif terbatas, produksi batik Siswaya-Rukayah setiap bulan sekitar 100 lembar batik tulis, sekitar 1.000 lembar batik cap, dan sekitar 4.000 lembar batik printing. Harganya sangat bervariasi, muai Rp 100.000 sampai Rp 2,5 juta per lembar.
   Siswaya semakin yakin pilihan usahanya tak salah. Tahun 2011, BBT dibawa berpromosi oleh Kementerian Perdagangan. Siswaya pun membawa produksinya berpameran ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Belanda, Jepang, dan China.
   "Prospek batik Indonesia cerah, saya optimistis," kata Siswaya. Apa lagi awal, awal September lalu, Lisha, anak sulungnya yang juga bekerja di BBT, bersama dua desainer Indonesia di fasilitasi Kementerian Perindustrian untuk bekerja sama dengan tiga desainer Jepang guna menciptakan motif-motif batik yang akan dipasarkan di Jepang.
   Di Bogor, Siswaya tetap berusaha memasyarakatkan batik. Ia, antara lain, membuka kursus membuat batik tulis setiap hari Sabtu dan Minggu.
   "Ke depan, kami berangan-angan di Kota Bogor nanti ada kampung batik. Saya ingin mewujudkan hal itu," kata Siswaya seraya menambahkan, jejaknya telah disusul dua perajin batik di kota itu, yang juga mengusung motif berciri khas Kota Bogor.

                                        FX PUNIMAN Wartawan, Tinggal di Bogor)

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 29 OKTOBER 2012

Kamis, 01 November 2012

M Zuhdi, Alfian, dan Maryam: Menghidupkan Kembali Senandung Jolo


BIODATA

M ZUHDI
- Lahir: 2 Mei 1955
- Anak: 4 orang

ALFIAN 
- Umur: 50 tahun
- Anak: 3 orang

MARYAM
- Umur: 70 tahun
- Anak: 10 orang

Pencapaian:
- Zuhdi, Alfian, dan Maryam mendirikan sanggar Mengorak Silo sebagai upaya 
  menghidupkan kembali kesenian senandung jolo
- Pada 2012, sanggar tersebut melatih tradisi senandung jolo kepada para 
  siswa sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama
- Ketika sebagian besar tradisi tutur lisan Melayu di Jambi hampir punah, 
  senandung jolo mampu bertahan, bahkan bangkit menjadi salah satu ikon 
  kesenian tradisi Provinsi Jambi

Senandung jolo pernah tenggelam selama 20 tahun. Mungkin banyak penggalan darinya yang nyaris terlupakan, dan bukan hal yang mudah untuk menghidupkan kembali seni berpantun ini. Semarak calung dan gambus pernah melampaui senandung jolo yang merupakan warisan seni Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi.

OLEH IRMA TAMBUNAN

Bermula saat kampanye pemilihan umum legislatif sekitar tahun 1980, salah seorang pengurus partai menghadiahi kelompok seniman Desa Tanjung seperangkat alat musik calung. Kesenian asli Jawa Barat itu pun kemudian mengisi berbagai acara hiburan setempat, seperti pesta pernikahan dan sunatan.
   Pada masa-masa itu, seni tutur tradisional tersebut tidak pernah tampil lagi dalam berbagai acara budaya. Senandung jolo pun semakin terlupakan.
   Senandung jolo dapat diartikan menyenandungkan rangkaian pantun. Sebagian bait pantun berbahasa Melayu itu terangkai secara tetap. Namun, keindahannya justru mengalir ketika para penutur saling berbalas pantun secara spontan dengan baris-baris kata yang tidak terduga.
   Pada masa lalu, senandung jolo berisikan rayuan kepada orang yang dicintai. Senandung jolo tidak hanya dilantunkan di dalam rumah atau di atas pentas, tetapi justru lebih sering muncul di pematang sawah atau di tengah kebun karet.
   Senandung jolo muncul ketika para petani tengah menyadap karet, menebar benih padi, ataupun menjaring ikan di Sungai Batanghari. Sambil mengayuh sampan, mereka berpantun diiringi alat-alat musik.
   Menjelang masa tanam padi, secara khusus senandung jolo dimainkan orang beramai-ramai di tepi sawah. Mereka menyebutnya nugal jolo. Ini merupakan saat yang menyenangkan, ketika musik mengalun, sementara para petani bergotong royong menebar benih padi. Keindahan alunan musik dan pantun itu berpadu dengan suara alam.

Rasa rindu

   Keindahan senandung jolo inilah yang merindukan hati trio seniman M Zuhdi, Alfian, dan Maryam. Ketiganya adalah seniman lokal yang berupaya menghidupkan kembali kesenian senandung jolo di Desa Tanjung.
   Perjuangan mereka membangkitkan seni ini, seingat Zuhdi, berproses sejak 1983. Dia ingat almarhum ayahnya, Hasyim, sebelum meninggal pernah berpesan agar dia tidak meninggalkan senandung jolo.
   "Kami memiliki warisan seni yang sangat istimewa, tetapi selama ini kami meninggalkannya. Kami berpaling pada kesenian milik daerah lain," ujarnya.
   Pada 1983 Zuhdi menjual semua perangkat calung yang diperolehnya dari pengurus partai. Dia lalu mengajak Alfian dan Maryam menghidupkan kembali senandung jolo.
   Mereka membuat kembali alat-alat musik untuk bersenandung yang bahannya didapat dari hutan. Hampir semua alat musik itu terbuat dari kayu mahang dan marelang, jenis kayu lokal yang sudah semakin langka.
   Untuk membuat alat musik senandung jolo, kulit mahang dikupas, lalu dibentuk menjadi balok-balok tanpa ukuran yang pasti, dan menghasilkan nada sir alias nada yang dihasilkan dari perkiraan atau "perasaan". Hal terpenting pada semua perangkat berjumlah tiga batang, yang mereka sebut sebagai gambang itu, adalah menghasilkan alunan musik selaras mirip kolintang.
   Kayu-kayu itu juga dibentuk menjadi gendang dan gong. Dua penutur lalu melantunkan pantun saling berbalas. Membawakan senandung jolo bisa memakan waktu panjang, bahkan semalam suntuk. Itu bergantung pada kepiawaian para penutur atau jika ada penonton yang ingin ikut bersenandung.

Sanggar seni

   Menghidupkan kembali seni lawas senandung jolo bukan hal mudah di desa yang cepat akrab dengan budaya luar ini. Menurut Zuhdi, butuh sekitar 20 tahun hingga senandung jolo benar-benar bangkit. Ini ditandai dengan terbentuknya sanggar seni dan perekaman rangkaian senandung jolo yang seluruhnya mereka lakukan atas biaya sendiri.
   Selama masa itu, mereka menuliskan kembali koleksi pantun yang kerap dibawakan para orang tua. Setelah itu, mereka mendokumentasikan senandung jolo dalam bentuk rekaman. Hasil rekaman mereka itulah yang sering dibawa pejabat pemerintah daerah ke ajang promosi pariwisata dan budaya.
   Tidak hanya itu, Zuhdi bersama Alfian dan Maryam juga membentuk Sanggar Seni Mengorak Silo. Mereka ingin meneruskan seni senandung jolo kepada kaum muda. Sejumlah siswa sekolah dilatih bertutur serta memainkan dan membuat alat musik gambang, gong, dan gendang.
   "Sekarang anak-anak kami sudah semakin lancar bersenandung jolo dan memainkan alat-alat musiknya," ujar Maryam.
   Senin (24/9), misalnya, Zuhdi, Alfian, dan Maryam duduk di pentas membawakan senandung jolo di hadapan para penggiat Asosiasi Tradisi Lisan Nusantara.
   Kepada para tamu, Alfian berpantun, "Kalau bapak naik perahu, jangan lupo bawa jalo, kalau bapak ingin tahu, inilah dio senandung jolo."
   "dengan cara itulah kami memperkenalkan senandung jolo kepada orang lain," ujar Alfian, dan bait-bait selanjutnya mengalir begitu saja sebagaimana alunan nada-nada sir.

Bayaran minim

   Bagi Alfian, menghidupkan kembali senandung jolo sama sekali tidak untuk tujuan ekonomi. Sanggar mereka memang kerap diundang untuk tampil dalam pesta atau acara-acara budaya, tetapi nilai bayaran untuk penampilan senandung jolo tidak menjadi pertimbangan. Bahkan, hasilnya masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
   Alfian, Zuhdi, dan Maryam, bukanlah petani berduit banyak. Hasil panen padi mereka hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari hingga panen berikutnya. Kalaupun mereka memiliki kebun karet, luasnya tidak lebih dari 1-2 hektar.
   Akan tetapi, kata Maryam, bersenandung jolo di atas pentas bagi mereka jauh lebih bernilai ketimbang bayarannya. Hal terpenting bagi dia adalah ketika semakin banyak orang menikmati senandung jolo.
   "Soal bayaran tak pernah kami pikirkan. Orang mau mendengar dan menyukai senandung jolo saja, kami sudah senang. inilah kebanggaan kami," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 NOVEMBER 2012

Achmad Rofiq: Menemukan Tujuan Animasi


ACHMAD ROFIQ

Lahir: Pasuruan, Jawa Timur, 20 April 1981
Pendidikan:
- Jurusan Seni dan Desain Program Studi Desain Komunikasi Visual, 
  Universitas Negeri Malang, 1999-2007
- Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, 2008-kini
Filmografi, antara lain:
- Iklan Orodin, Jepang
- Serial Catatan Dian
- Serial Kukurockyou
- Serial Songgo-Rubuh
Pengalaman kerja, antara lain:
- Tanah Air Studio, 2004-2005
- Instruktur pada Digital Studio Workshop Malang, 2005-2006
- Kdeep Animation Malang, 2004-2008
- Kampung Animasi Malang, 2007-2008
- Univeritas Negeri Malang, 2008
- PT Digital Global Maxinema
Organisasi, antara lain:
- Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI) Cabang 
  Malang, 2005-2009
- Ketua Pelaksana Festival Animasi Nasional-Depdiknas, 2007
- Ketua Pelaksana Move awards malang, 2008
Penghargaan, antara lain:
- Juara 1 Asiagraph Jepang, 2008
- Sutradara Animasi Terbaik, Festival Film indonesia, 2008
- Juara I Wirausaha Muda Mandiri Nasional, kategori industri kreatif, 2010
- Wirausaha Muda Mandiri Sukses, Kementerian Koperasi dan UKM, 2011

Animasi atau seni menciptakan efek gambar bergerak bagi Indonesia seolah buku resep masakan yang terbuka. Isinya sudah dibaca, tetapi tak kunjung bisa membuatnya. Achmad Rofiq yang kala itu, 1999-2007 adalah mahasiswa Jurusan Seni dan Desain Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Malang, gelisah pada masa depan animasi nasional.

OLEH DODY WISNU PRIBADI

Ia khawatir selulus nanti bakal terdampar sebagai ilustrator atau desainer grafis. "Saya memang sarjana seni dan mendalami animasi, tetapi juga penggemar dunia pemasaran. Jika pembuat animasi lain senang belajar teknik dan efek animasi, saya asyik membaca buku-buku manajemen dan pemasaran."
   Bagi Rofiq, manajemen dan pemasaran penting agar animasi di Indonesia tumbuh sebagai industri seperti di negeri lain, semisal Jepang dan Amerika Serikat. Ia mencontohkan bagaimana kartun televisi Kapten Tsubasa mampu menggerakkan kegairahan sepak bola di Jepang. Meski Kapten Tsubasa "hanyalah" karakter animasi.
   "Bagaimana produk itu bisa menyatu dengan masyarakat, bahkan menggerakkan 'semangat' masyarakat," ucapnya.
   Pikiran itulah yang membuat dia berhasil memimpin perusahaan animasi beromzet sekitar Rp 1 miliar. Tahun 2012, lewat PT Dgmaxinema (singkatan Digital Global Maxinema), ia menargetkan omzet Rp 2 miliar. Dia, antara lain, mengerjakan animasi untuk iklan komersial, profil perusahaan, dan iklan layanan masyarakat dari pemerintah.
   Studio animasi Rofiq juga mengerjakan animasi klip video band Padi. Ia pun mendapat order iklan dari Jepang lewat komunikasi Facebook. Namun, yang paling membanggakan adalah produk yang disebutnya IP (intellectual property), berupa karakter animasi Songgo-Rubuh yang diciptakan dan berhasil dipasarkan. Di dunia animasi, bisa memiliki IP adalah cita-cita animator dan perusahaan animasi.
   Kartun Songgo-Rubuh berkisah tentang persahabatan dua prajurit Keraton Yogyakarta dengan pakaian khas lombok abang (cabai merah).
Kartun itu sejak Mei 2012 ditayangan jaringan televisi MNC.
   Songgo-Rubuh memecahkan kebuntuan kepercayaan pengelola stasiun televisi sebagai salah satu pasar animasi terhadap kualitas studio dalam negeri. Kami mendapatkan budget (biaya) produksi setara sinetron. Songgo-Rubuh juga dikelola dengan campur tangan ahli. Skenarionya melibatkan penulis sinetron," katanya.
   Berbagai proyek animasinya membuat Rofiq meraih penghargaan Juara I Wirausaha Muda Mandiri Jawa Timur kategori Industri Kreatif (2010). Ia juga menjadi Juara I Wirausaha Muda Mandiri Nasional kategori Industri Kreatif (2010) serta Wirausaha Muda Sukses dari Kementerian Koperasi dan UKM (2011)
   Sebagai animator, ia meraih Juara I dalam kompetisi Asiagraph Jepang tahun 2008. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 2008, ia terpilih sebagai sutradara animasi terbaik.

Kegiatan ekonomi

   Sejak muda Rofiq percaya, animasi bisa berkembang sebagai kegiatan ekonomi. Animasi tak sekadar hobi utak-atik perangkat lunak (software) komputer. Namun, sebagai mahasiswa Diskomvis, ia gelisah karena bisnis animasi di Indonesia belum tumbuh.
   "Padahal, semua film, seperti di Hollywood, sudah menggunakan jasa animasi untuk memperkuat efek spesial. Animasi menggantikan efek ledakan atau aksi berbahaya yang dulu dikerjakan aktor pengganti. Ini mengubah wajah industri animasi menjadi strategis," katanya.
   Obsesi Rofiq terhadap pasar dan industri animasi  dipacu pengamatannya terhadap sang bunda, penyedia jasa menjahit di tempat asalnya, Kota Pasuruan, Jawa Timur.
   "Kemampuan produksi ibu saya amat terbatas. Beliau bekerja hanya dengan dua tangan, ditambah bantuan satu-dua penjahit sehingga kapasitas produksinya minim," katanya.
   "Saya ingin kerja menggambar yang bisa dilakukan banyak orang dan dikonsumsi banyak orang juga. Ini akan membuat kapasitas produksi kami tinggi, animasilah jawabannya. Saat para animator berkumpul menyatukan ide, terbentuk model bisnis yang kokoh," lanjut Rofiq.
   Dia percaya Indonesia adalah gudang seniman animasi. Alasannya, "Lama saya mengamati Candi Kidal di malang. Di sini saya sadar, gerakan karakter dalam relief candi itu hidup, tidak mati. Bangsa Indonesia punya akar animasi."
   Banyak mengikuti proyek dan lomba animasi, Rofiq dan sejumlah teman mendirikan Studio Kdeep Animation pada 2008. "Teman-teman pendiri satu per satu keluar karena mendapat proyek animasi lain, seperti di Batam. Saya memutuskan membuat IP produk sendiri dan mendirikan PT Dgmaxinema."

Kendala

   Kendala awal yang dihadapi Rofiq adalah mendapatkan penonton. "Semua karya seni itu berujung pada pertanyaan dasar, siapa yang mau menonton?" ucapnya. Jawabannya, dia peroleh dari konsep pemasaran. "Saya lalu menyusun kemampuan menciptakan IP dengan konsep pemasaran."
   Pelan-pelan ia berhasil mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan, yakni tenaga animator dan penonton. Ia mendirikan proyek kampung animasi. Setelah sejumlah pameran dan kepanitiaan d dunia animasi, Kemendikbud memberinya dana untuk mengelola kampung animasi.
   "Kini, kampung animasi kurang aktif karena dananya terhenti. Di sisi lain, terbentuk komunitas animator dan penonton potensial yang sering datang. Mereka, remaja dan guru yang menikmati membuat animasi. Saya tak membuka lowongan kerja animator, tetapi mendatangi dan melamar animator yang punya hasrat besar," tuturnya.
   Untuk mempertahankan loyalitas animator, Rofiq menawarkan hubungan kerja yang menyenangkan dengan membiarkan animator memiliki IP sendiri. "IP milik animator yang digunakan dan dijual perusahaan. Ini membuat mereka bekerja serius menemukan karakter IP dan tetap bisa memiliki selamanya."

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 NOVEMBER 2012