Rabu, 28 Juli 2010

Ma'ad, Teman "Curhat" Kaum Papa

Rendah hati, sanggup memberikan argumentasi, memiliki pengetahuan luas, adalah syarat bagi seorang petugas pekerja sosial masyarakat. Modal itu ditopang lagi oleh sifat genem alias suka bertanya, berdialog guna mengetahui dan memahami persoalan orang lain.

MA'AD
Lahir : 31 desember 1959
Istri : Rumisah (45)
Orang tua : Lalu Kamal - Denda Mawiah
Anak : Lailatul Wahyuni dan Hasiatillah (keduanya sudah menikah)
Pendidikan :
- SD tamat tahun 1973
- SMP tamat tahun 1976
- PGA tamat tahun 1980
-
Sarjana Muda IAIN Mataram tamat tahun 1996

Oleh KHAERUL ANWAR

Kesan itu segera muncul saat mengobrol dengan Ma'ad, warga Dusun Jagapati, Desa Dopang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dia sudah seperti teman kaum miskin mencurahkan isi hati (curhat)-nya. "Tugas pekerja sosial masyarakat (PSM) adalah memberikan penuluhan agar masyarakat tergerak motivasi dan partisipasinya dalam proses pembangunan, termasuk menjadikan masyarakat ataupun individu mandiri, berdaya secara ekonomi," katanya.
Memanfaatkan lahan tidur yang ditanami ubi jalar, vanili, dan lainnya aalah bentuk nyata pemberdayaan dan kemandirian itu.
Lingkungan sekitar tempat tinggalnya adalah media uji coba bagi Ma'ad untuk menerapkan syarat kepribadian yang dimilikinya. Desa Dopang terletak di dekat perbukitan yang dulunya lebat populasi kayunya. Perbukitan itu lambat laun menjadi gundul karena kayunya dibabat habis, mengakibatkan lahan tidur.
Penduduk sekitar yang rata-rata buruh tani hanya berharap penghasilan dari musim tanam petik padi dan palawija. Selebihnya mereka memburuh sebagai pekerja bangunan. Kondisi sosial ekonomi warga itu menimbulkan ekses sosial seperti pencurian ternak dan unggas piaraan penduduk.
Ma'ad juga melihat anak-anak keluarga tidak mampu yang hidup prihatin. "Jangankan beli baju, untuk memenuhi kebutuhan makan minum tiap hari saja orang tua mereka tidak mampu," ujar Ma'ad yang berprofesi sebagai guru agama Islam di SDN 2 Mambalan, Lombok Barat.
Dalam situasi demikian, Ketua Forum Komunikasi Pekerja sosial Masyarakat Lombok barat itu seperti menghadapi ujian sejati di kampunya, yang perilaku ataupun kebiasaan warganya cenderung malas, pasrah, dan pesimistis. "Saya juga dari keluarga miskin, bertahun-tahun jadi anak panti asuhan, tetapi dengan ketekunan dan ridha Tuhan, saya bisa jadi guru. Bapak-ibu pun bisa, asalkan mau bekerja keras," kata Ma'ad saat ditanya soal bagaimana menyuntik semangat masyarakat akar rumput.

Sisihkan gaji

Berbekal realitas empirik itu, tahun 1981-1982 Ma'ad mengajak warga memanfaatkan lahan tidur, kemudian tiap jengkal tanah ditanami agar menjadi lahan produktif. "Pokoknya, kami mau buat kebun jadi hutan dan hutan jadi kebun," ujarnya.
Tanaman yang dipilih, antara lain, adalah jambu mete, cokelat, ubi jalar, ketela pohon, dan tanaman umbi-umbian lainnya. Tanaman palawija ini diharapkan sebagai penghasilan tambahan.
"Kebiasaan warga disini, yang penting sudah ada beras, mereka agak tenang. Soal sayuran, banyak dedaunan yang bisa mereka petik," ungkap Ma'ad.
Pada areal tertentu, yang memiliki pohon pelindung, ditanami tanaman vanili dan jambu. Hal ini untuk mengajak masyarakat terbiasa melakukan diversifikasi tanaman, juga tanaman tahunan itu lebih tinggi nilai ekonomisnya dibanding padi.
Untuk memenuhi kebutuhan bibit vanili dan jambu mete, Ma'ad berkeliling ke beberapa kecamatan, dengan menggunakan ssepeda dayung. Bahkan dia rela menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli bibit tanaman dan membelikan baju seragam bagi siswa. tahun 1981-1982 gaji Ma'ad Rp.14.000,- per bulan.
Lambat laun kehidupan ekonomi masyarakat mulai membaik, apalagi Ma'ad juga rajin mengunjungi instansi yang mengalokasi bantuan untuk kegiatan ekonomi produktif, diantaranya Dinas Sosial NTB. Atas dukungan dana dari dinas itu, Ma'ad mendirikan Koperasi Usaha Bersama (Kube) yang anggotanya antara lain, adalahpedagang bakulan, perajin meubeler, pemilik kios, dan peternak.
Bantuan dana itu digulirkan dari satu anggota kelompok ke kelompok lain. Agar distribusi dan pengguliran dana mencapai sasaran, Ma'ad rajin menyambangi, mengontrol anggota, ataupun kelompok penerima. Kontrol seperti ini ditempuh guna mempersempit gerak oknum provokator yang merayu dan memengaruhi anggota untuk membelanjakan dana itu bagi keperluan lain.
Kelompok pedagang bakulan, usaha meubeler, peternak, dan petani itu kini memiliki Kube. Dari 300 anggota koperasi itu, kini mendapat hasil keuntungan 50 kg beras per orang ditambah Rp.20.000, yang dibagikan saat bulan puasa atau menjelang Idul Fitri.
Kiprah Ma'ad agaknya tercium oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang tahun 2002 kemudian menyalurkan dana untuk kegiatan ekonomi produktif. Sebelumnya, pihak LSM itumenguji Ma'ad dengan bantuan Rp.5 juta. Pengguliran uang itu ditargetkan mencapai Rp.15 juta dalam tempo setahun.Dalam setahun ternyata dana itu berkembang menjadi Rp. 20 juta.

Dicibir

Bagi Ma'ad, menjadi petugas PSM adalah panggilan hati nurani yang merasa prihatin melihat kesusahan orang lain. Terlebih lagi kemiskinan menjadi bagian perjalanan hidupnya. Lahir di Dusun Beririjarak, Desa Karang Baru, Kecamatan Wanasabe, Lombok Timur, sejak usia tiga tahun Ma'ad ditinggal ayahnya, Lalu Kamal.
Karena tidak mampu, ibunya, Denda Mawiah, menyerahkan Ma'ad ke panti asuhan anak yatim di desanya. dari panti asuhan inilah dia merasakan beratnya beban hidup. Untuk itu, menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya sesuai kemampuannya adalah cita-citanya. Tamat sekolah pendidikan guru agama, Ma'ad melamar jadi pegawai negeri sipil dan ditugaskan di desa tempatnya berdomisili saat ini.
Di tempat tugasnya inilah batin Ma'ad berhadapan dengan kondisi yang dialaminya semasa kecil. Untuk membantu warga yang kesusahan, terlebih dahulu ia memberdayakan mereka dari kebutuhan hidup sehari-hari.
hanya saja banyak tantangan yang harus dihadapi, selain ulah provokator tadi, dia juga harus menahan emosi atas cibiran ataupun kecurigaan kalangan tertentu. "Saya dibilang mau memperkaya diri sendiri dengan tameng membantu masyarakat," ujarnya. Respon negatif itu diacuhkannya ddan dijawab dengan perbuatan nyata yang menjadikan orang yang sinis dan mencibir itu "mati kutu".
Kalau kemudian Ma'ad meraih piagam penghargaan sebagai PSM terbaik tingkat nasional tahun 1996, agaknya tidak lepas dari totalitas dan perannya selaku teman "curahan hati (curhat)"kaum papa sampai saat ini.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 22 OKTOBER 2009


Selasa, 27 Juli 2010

Margaretha, Menghidupkan Danau Limboto

Margaretha Solang prihatin saat melihat banyak nelayan meninggalkan budidaya ikan nila di Danau Limboto, Kota Gorontalo, tahun 2005.
Keprihatinan itu kemudian justru mampu menambah nilai jual ikan nila dengan cara yang tak lazim.


MARGARETHA SOLANG
Lahir : Surabaya, 15 Maret 1968
Suami : John Ottay (45)
Anak :
- Christina (14)
- Yuswa (6)
- Beatrix (4)
Pendidikan :
- SD Negeri 364 Surabaya
- SMP Negeri 4 Surabaya
- SMA Negeri 6 Surabaya
- Program Sarjana Universitas Negeri Gorontalo, Jurusan Pendidikan Biologi, 1992
- Program Magister Fisiologi Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000
Pencapaian :
- Penghargaan Fadel Muhammad Award dalam Kongres Inovasi Gorontalo untuk Indonesia,
2007
- Mengembangkan budidaya ikan nila untuk 150 nelayan di Danau Limboto, Gorontalo, 2006-
kini

Oleh ASWIN RIZAL HARAHAP

Rasa prihatin itu menggerakkannya untuk memulihkan budidaya ikan nila lewat teknik pemotongan sirip ekor yang ditemukannya pada 2003. Niat itu diutarakan Margaretha, dosen pada Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo, kepada Djunna Lamondo, ketua jurusannya.
Atas saran Djunna, ia lalu mengajukan proposal pengabdian masyarakat kepada Kementerian Pendidikan Nasional, setelah proposal disetujui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Tinggi, Margaretha menerapkan hasil inovasinya itu. hasilnya, selain mempercepat pertumbuhan, juga menambah bobot ikan nila.
"Sirip ekor ikan merupakan titik tumpu pergerakan, dengan memotongsirip tegak lurus, pergerakan ikan dibatasi. Ini membuat asupan makanan tidak terbakar menjadi energi, tetapi menjadi daging," katanya tentang penerapan hasil inovasinya pada 2006.
Pertumbuhan dan penambahan berat daging yang pesat itu membuat nelayan bisa memanen ikan nila (yang telah dipotong sirip ekornya) setiap dua bulan sekali.
Teknik pemotongan sirip ekor mulanya dia terapkan diDesa Dembe yang berlokasi di sekitar Danau Limboto. dana bantuan Ditjen Pendidikan Tinggi sebesar Rp.49 juta digunakannya membuat empat jaring apung percontohan, masing-masing berukuran 6 meter x 6 meter dan berisi 1.500 bibit ikan.
Setelah ikan nila berusia sebulan, Margaretha ddan sejumlah mahasiswa jurusan biologi memotongi sirip ekor ikan nila. "Panjang sirip ekor yang dipotong tidak lebih dari 2 sentimeter agar ikan tidak terluka dan infeksi akibat terkena bagian tulangnya," ungkapnya.
Hasil pemotongan sirip ekor itu sudah tampak hasilnya 1-1,5 bulan kemudian. Inivasi ini sukses menambah nilai jual ikan nila. Kalau biasanya 1 kilogram ikan nila berisi enam ekor, kini jumlanya berkurang menjadi tiga ekor," tuturnya.

Menarik nelayan

Tujuan Margaretha menarik kembali perhatian nelayan di sekitar Danau Limboto berhasil,. Sejumlah nelayan mau mengikuti metode pembudidayaan ikan nila yang dia ajarkan. Pada periode 2007-2008, ia bisa mengajak 20 nelayan menerapkan metode pemotongan sirip ekor.
Menurut Harun (52), nelayan di Desa Dembe, teknik yang diajarkan Margaretha mengembalikan semangatnya berbudidaya ikan nila. Dari satu jaring apung ukuran 6meter x 6 meter dengan 1.500 ikan nila yang dikelolanya, harun bisa menghasilkan Rp.6.250.000,- atau naik dua kali lipat dibandingkan sebelum menerapkan teknik pemotongan sirip ekor.
Keuntungan nelyan bertambah karena Margaretha juga menciptakan pakan ikan nila alternatif. Pakan alternatif dengan mencampur ampas tahu, udang Danau Limboto, dan Konga (sejenis dedak) itu mengurangi biaya operasional nelayan. Pembuatan 50 kilogram pakan alternatif hanya membutuhkan Rp.250.000,- atau lebih hemat Rp.100.000,- dibandingkan harga 50 kg pelet yang biasanya digunakan nelayan.
Keberhasilannya "menghidupkan" kembali Danau Limboto mendapat apresiasi Pemerintahan Propinsi Gorontalo. Pada 2007, Gubernur Gorontalo (saat itu) Fadel Muhammad memberinya penghargaan dalam Kongres Inovasi Gorontalo untuk Indonesia. Inovasi Margaretha yang sederhana tetapi aplikatif ini, mengalahkan 52 karya inovatif lainnya.
baginya inovasi tak harus berbiaya mahal. Penemuan jauh lebih berharga apabila orisinal dan bisa diterapkan oleh masyarakat. "saya hanya berupaya memanfaatkan potensi perikanan di Propinsi Gorontalo," ujarnya.
Penghargaan itu kian memicu semangatnya untuk mengembangkan budidaya ikan nila di Danau Limboto. tahun lalu, metode pemotongan sirip ekor ikan nila itu dikembangkannya di Desa Iluta, masih di kawasan danau. Ia rutinmengunjungi desa yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Gorontalo itu setiap bulan.
Ia suka menumpang becak motor, angkutan umum yang dominan di Kota Gorontalo. Seringkali biaya pergi dan pulang ke lokasi ditanggungnya sendiri, mengingat keterbatasan dana penelitian dari kampus atau pemerintah pusat.
"Kadang saya mengajak mahasiswa yang tertarik mendalami metode ini," ujarnya.

Jaring apung

Kini sekitar 150 nelayan dari kedua desa itu telah mengembangkan metode temuan Margaretha itu. Danau seluas ssekita 3.000 hektar tersebut kembali dipenuhi ribuan jaring apung berukuran 6 meter x 6 meter.
Guna menyempurnakan metode ini, ia tengah mengkaji kemungkinan pembuatan alat untuk memotong sirip ekor.
Berbagai penelitian dilakukan Margaretha sejak 2001, setahun setelah ia meraih gelar magister fisiologi hewan di Universitas Gadjah Mada. Kala itu, ia melakukan dua penelitian sekaligus, yakni efek rambut buah jagung sebagai penurunan kadar glukosa dan efek akar lamtoro sebagai antifertilitas.
Namun, penelitian yang spesifik pada ikan nila baru dilakukan pada 2003. setelah pemotongan sirip ekor, Margaretha sempat menganalisis pengaruh detergen terhadap mentalitas ikan mas dan ikan nila serta penerapan teknik kastrasi untuk meningkatkan produksi ikan nila.
"Penelitian itu bukan semata-mata tuntutan pekerjaan, tetapi saya tertantang untuk menemukan hal baru," ungkap anak pasangan Jan Solang dan Supiah ini. Kecintaannya kepada ikan tak lepas dari hobi sang ayah memelihara ikan mas dan ikan nila di kampung halamannya di Manado, Sulawesi Utara.
Saat duduk dibangku SD, Margaretha sering mengikuti aktivitas sang ayah di kolam ikan. Ia kian menggemari mata pelajaran biologi dan memutuskan mendalami saat kuliah di Universitas Sam Ratulangi, Gorontalo (kini Universitas Negeri Gorontalo), tahun 1987.
Meski metode pemotongan sirip ekor cukup berhasil, Margaretha berharap peran pemerintah lebih besar. Sebab, dukungan pemerintah terhadap penyediaan para penyuluh untuk menggenjot produksi perikanan, masih minim.
"Peningkatan taraf hidup nelayan tidak bisa diembankan kepada akademisi semata. Pemerintah perlu meningkatkan peran pada bidang yang selama ini menjadi unggulan di Tanah Air," tuturnya.

Dikutip ddari KOMPAS, RABU, 28 JULI 2010

Senin, 26 Juli 2010

Sunarto, Memberdayakan Petani

Keprihatinan terhadap nasib petani yang selalu tak berdaya oleh cengkeraman tengkulak dan permainan harga pedagang membawa Sunarto Atmo Taryono, pegusaha sukses di Jakarta, kembali ke kampung, tepatnya ke Desa Ender, Pangenan, Cirebon, Jawa Barat.

SUNARTO ATMO TARYONO

Lahir : Cirebon, 23 Februari 1968
Istri : Hj Nani
Anak :
- Sunarsih (17)
- M. Fauzan (13)
- Mawaddah Tri Cahyaningrum (9)
Pendidikan :
- SD di Solo, 1979
- SMP di Solo, 1982
- SMA di Jakarta, 1985

Oleh M FAJAR MARTA

Perusahaan perikanan miliknya di Pluit, Jakarta yang beromzet Rp.1,5 triliun per tahun, ditinggalkannya. "Saya ibarat kembali memulai usaha dari nol. namun, saya merasa bergairah dan tenteram karena ini sesuai dengan hati dan keinginan," tutur Sunarto.
Di Desa Ender, dia mendirikan Koperasi Nusantara Jaya dengan modal awal dari hasil tabungan selama bekerja di Jakarta. Dibantu enam karyawan, ia memulai kerja kerasnya dengan mengajak para petani di daerah sekitar untuk bergabung dan membangun koperasi.
Awalnya sulit karena petani umumnya telah lama bekerja sasma dengan tengkulak. Meski tercekik tengkulak, petani enggan berubah.
Sunarto menyadari bahwa citra koperasi tak selalu baik karena dituding hanya menguntungkan pengurusnya. Ia membuat konsep koperasi simpan pinjam dipadukan dengan bengkel tani yang menyediakan jasa konsultasi dan penyuluhan teknis produksi. Ia melengkapi koperasi dengan menyediakan sarana produksi pertanian, seperti pupuk, obat-obatan,dan peralatan.
Sunarto merekrut para ahli lulusan perguruan tinggi sebagai tenaga penyuluh. Para petani yang selama ini tak pernah mendapatkan penyuluhan teknis produksi dari pemerintah seolah melepas dahaga. Petani tak hanya mendapat informasi tentang apa yang yang diperlukan untuk mengobati penyakit tanaman, tetapi juga pendampingan, mulai dari menggarap lahan, menanam bibit, hingga panen.
Petani diajari cara berproduksi secara modern dengan sistem usaha tani berbiaya rendah, efektif, efisien, dan menguntungkan.
"Semua jasa konsultasi dan pendampingan itu gratis. Kami tidak mau membebani petani. Kami hanya ingin mendorong usaha pertanian masyarakat yang mandiri, efisien, produktif, berdaya saing, ramah lingkungan, dan lestari," ujar Sunarto.
Sistem produksi yang diperkenalkan bengkel tani Nusantara Jaya itu langsung membuahkan hasil. Tanaman padi, bawang, dan jenis lainnya yang ditanam petani jarang terkena penyakit. Tingkat produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan panen sebelumnya.
"Para tenaga penyuluh kami selalu berkonsultasi dengan peneliti pertanian di perguruan tinggi. Mereka selalu update hasil riset pertanian terkini," tutur Sunarto.
Keberhasilan petani binaan Koperasi Nusantara Jaya pun menjadi pembicaraan di kalangan petani, bukan hanya di daerah sekitar, melainkan juga di daerah lain.
Dalam waktu singkat, para petani plasmabinaan Nusantara Jaya bertambah banyak. Hingga kini bergabung 900 petani dengan total luas lahan garapan sekitar 500 hektar. Para petani itu tersebar di sentra pertanian di Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Brebes.

Dukungan bank

Tonggak kemajuan Koperasi Nusantara Jaya makin memuncak pada April 2009, ketika koperasi itu mendapat dukungan PT Bank Bukopin Tbk. Bersama Bukopin, koperasi membentuk swamitra, jaringan lembaga keuangan mikro yang menjadi kepanjangan tangan Bukopin dalam menyalurkan kredit kecil dan mikro lewat koperasi.
Tak hanya mendapatkan pembiayaan murah untuk disalurkan kepada petani. Koperasi Nusantara Jaya juga mendapatkan dukungan memanfaatkan jaringan teknologi dan peningkatan sistem manajemen agar lebih profesional.
Modal awal dari Bukopin Rp.750 juta dapat dikembangkan Sunarto sehingga total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp.2,75 miliar untuk sekitar 400 petani. Ia berencana mengajukan tambahan pinjaman ke Bukopin, agar nantinya makin banyak petani yang berkesempatan mendapatkan modal usaha.
Sunarto menciptakan mekanisme pembiayaan yang relatif unik, berbeda dengan banyak koperasi lain. Mekanisme pembiayaan dibuat sedemikian rupa untuk menjamin petani memanfaatkan pinjaman tersebut secara benar sehingga panennya berhasil. Dengan demikian, pengembalian pinjaman dari petani akan lancar.
Pembiayaan usaha tani diberikan dalam bentuk bibit, pupuk,dan obat-obat pertanian. Jenis barang yang ditetapkan untuk dibiayai disesuaikan dengan komoditas yang ditanam dan luas tanam. Kebijakan ini dimaksudkan agar penyaluran pembiayaan tepat dan sesuai sasaran. Bila pembiayaan diberikan dalam bentuk uang, bukan tak mungkin uang itu dipakai untuk keperluan yang bersifat konsumtif. Jika pembiayaan tepat sasaran, diharapkan resiko kredit macet diminimalkan.
Sunarto menjelaskan, paling lambat dua minggu sebelum musim tanam, petani mengajukan rencana tanam yang meliputi lokasi lahan, luas tanam, dan jenis komoditas. Rencana usaha tani yang diajukan petani lalu dipelajari tim analis koperasi untuk ditentukan kelayakan dan nilai pembiayaannya.
Setelah rencana usaha tani disetujui, petani mendapatkan skema pembiayaan yang meliputi jenis dan waktu pengambilan barang, disesuaikan dengan waktu aplikasi. Selanjutnya, koperasi membuat order barang yang dibutuhkan ke penyuplai mitra koperasi.
Jatuh tempo pembayaran pinjaman dua minggu setelah panen. Jeda waktu itu memberi kesempatan petani menjual hasil panennya. Angsuran pengembalian pembiayaan dilakukan berkala, sesuai siklus tanam. Margin pembiayaan ditetapkan 6-8 persen persiklus tanam.
Kiprah swamitra Nusantara Jaya, menurut Sunarto, membuat banyak petani lepas dari jeratan tengkulak. Jika sebelumnya petani harus membayar bunga pinjaman sampai 500 persen per tahun kepada tengkulak, melalui swamitra petani hanya dikenakan bunga pasar.
Kendati demikian, hati Sunarto masih gelisah memikirkan nasib petani. hal itu karena ia belum bisa sepenuhnya menolong petani terhindar dari permainan harga pedagang. Ia masih kerap melihat petani binaannya harus menjual hasil panennya dengan harga sangat jatuh. Ia ingin hasil petani dijual dengan harga layak sehingga hidup mereka sejahtera.
Oleh karena itu, dia berencana mengajukan pinjaman untuk membangun gudang penampungan hasil panen berkapasitas 1.000 ton. Dengan adanya gudang, petani bisa menyimpan hasil panen dan menunda penjualan jika harga di pasar tengah jatuh. Hasil panen baru dijual jika harga di pasar sedang bagus.
Setelah menjalankan usahanya lebih dari setahun, Sunarto makin mantap mengembangkan koperasi dan membina para petani. Langkahnya melepaskan usaha di Jakarta tidak salah. Usaha yang digelutinya kini lebih banyak memberi kebahagiaan karena bermanfaat bagi banyak orang.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 27 JULI 2010

Minggu, 25 Juli 2010

Djoko, Katak, dan Kerusakan Lingkungan

Bagi sebagian orang,katak dankodok adalah hewan yang menjijikan karena kulitnya berlendir, bahkan ada yang beracun. Namun, bagi Djoko Tjahjono Iskandar, herpetolog atau peneliti reptil dan amfibi dari Institut Teknologi Bandung, katak adalah salah satu amfibi yang sexy dan khas.

Data Diri
Nama : Djoko Tjahjono Iskandar
Lahir : Bandung, 23 Agustus 1950
Anak : 2 orang
Pendidikan :
- Strata 1 Institut Teknologi Bandung, 1975
- Strata 2 Universite des Sciences et Technique du Languedoc Montpellier Perancis, 1981
- Strata 3 Universite des Sciences et Technique du Languedoc Monpellier Perancis, 1984
Penghargaan dan penelitian antara lain :
- Medali perak pengabdian 20 tahun dari Pemerintah Indonesia, 2003
- Medali perak pengabdian 25 tahun dari ITB, 2003
- Habibie Award dalam Ilmu Pengetahuan Dasar, 2005
- Kennedy Award Best Published Paper of The Yer with RM Brown dari The International
Society for the Study of Amphibian and Reptile, AS, 2001
- Penelitian Herpetofauna Sulawesi bersama Universitas Lausanne, Texas, Kansas, McMaster,
Berkeley dan South Australian Museum, 1989-kini
- Penelitian Herpetofauna Papua, antara lain bersama South Australian Museum dan Enesar,
1988-kini

Oleh CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang beraneka ragam menjadi daya tarik tersendiri, bahkan, karena bisa hidup di air dan di darat, katak dapat digunakan untuk mengukur adanya kerusakan lingkungan hidup. Cacat atau hilangnya jenis katak tertentu bisa menjadi indikasi kerusakan lingkungan.
"Keaneka ragaman katak di Indonesia adalah surga bagi peneliti. Kini baru 400-500 spesies katak yang ditemukan di Indonesia. Kemungkinanbesar masih banyak katak yang menunggu ditemukan" katanya.
Djoko membuktikannya sendiri dengan menjelajah ke berbagai tempat di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, hinga Papua. Hasil penelitiannya antara lain 16 jenis baru katak, diakui sebagai kontribusi yang penting.
Oleh karena itu, para peneliti sing mengabadikan penemuan ini untuk menghormati dia, antara lain dengan menamakan temuannya sebagai Collocasiomya Iskandari (2000), Luperosaurus Iskandari (2003), Fejervarya Iskandari (2004), dan Draco Iskandari (2007).
Ia juga melakukan penelitian ilmiah pada beberapa katak khas Indonesia lainnya seperti katak tanpa paru-paru, yakni katak kepala pipih kalimantan (Barbaroula kalimantanensis)
Sempat mendeskrpsikan jenis itu pada 1978, Djoko berhasil menemukan kembali pada tahun 2007 di Taman Nasional Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat.
Katak ini merupakan satu-satunya katak di dunia yang bernapas tanpa paru-paru, tetpi menggunakan kulit. Nenek moyangnya diyakini sudah ada sejak 50juta tahun lalu.
International Union for Conservation of Nature lalu memberikan perlindungan kepada katak kepala pipih sebagai atwa yang terancam punah. Diperkirakan jumlahnya terbatas dan merupakan endemik di Kalimantan.
Djoko juga menemukan katak unik lain di Sulawesi tahun 1989. Uniknya, katak yang hingga kini belum diberi nama itu tak bertelur, tetapi merupakan katak pertama di dunia yang melahirkan kecebong.

Minim informasi

Keahlian menemukan dan mendeskripsikan berbagai macam katak spesies baru itu tak didapat Djoko dengan mudah. Minimnya data membuat dia harus mengawali studi katak dari penduduk kampung hingga berkorespondensi dengan ahli katak terkemuka dunia.
Satu persatu peneliti katak dunia dia kirimi surat berisi pertanyaan dan penelitian tentang katak di Asia dan Indonesia. Peneliti hewan terkenal yang dihubunginya antara lain RF Inger.
"Jawabannya memakan waktu yang lama. Saat itu teknologi belum maju karena kami hanya memakai jasa pos. Namun, hati saya sangat senang karena data yang diberikan banyak dan lengkap" kata pengajar Sekoah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB ini.
Ia juga banyak belajar dari penduduk lokal. Salah satu pengalamannya ketika mencari katak di hutan Sulawesi tahun 1990-an. Sebagai orang baru di dunia katak, ia bersemangat masuk hutan hendak mencari katak pada siang hari, namun, hal itu justru mengundang tanya penduduk setempat.
Seorang penduduk mengatakan, mencari katak pada siang hari itu tindakan sia-sia. Waktu ideal mencari katak ternyata malam hari. Dia sadar, pengalamannya di dunia katak belum banyak.
Hal serupa dia alami ketika mencari katak kepala pipih di Kalimantan pada 2007. Ia buta tentang tempat tinggal dan cara hidup katak kepala pipih. Satu-satunya informasi adalahkatak yang pernah dibawa temannya, seorang ahli ikan, dari Kalimantan tahun 1978. Jadilah, hingga hari ke 10 ia belum menemukan si kepala pipih. Padahal, biasanya katak dengan informasi lengkap bisa ditemukan dengan segera. Baru pada hari ke 12, timnya menemukan 2 ekor katak kepala pipih yang hidup dibawah batu sekitar sungai. Namun, saat hendak diteliti dan dimasukan ke dalam ember, katak itu mati.
"Sampai mati dua ekor katak. Setelah di bedah, baru diketahui dia tak punya paru-paru. Katak itu ternyata bernapas menggunakan kulit," katanya.
Meski telah menemukan berbagai katak spesies baru, Djoko belum merasa puas. Ia yakin,masih banyak jenis katak lain dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
Minimnya informasi itu adalah ironi. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah spesies katak yang banyak, tetapi tak lebih dari 20 peneliti katak di negeri ini.
"Berbeda dengan negara-negara di eropa. Di tiap negara minimal ada seorang herpetolog. Data yang dimiliki sangat lengkap, dari nenek moyang katak hingga yang kini masih hidup. Padahal, di dataran eropa katak hanya sekitar 40 jenis," ujarnya.

Warisan dunia

Belajar dari pengalamanan itu, Djoko mulai rajin menulis buku dan publikasi di berbgai tempat. Hingga kini 68 publikasi internasional dan sembilan buku telah diterbitkan. Selain itu, 45 publikasi nasional dan 10 buku bisa dinikmati masyarakat.
Bahkan lebih dari 100 presentasi internasional dan nasional telah dia lakukan. Tempatnya pun macam-macam, dari ruang seminar internasional di Singapura hingga kebun binatang di Bandung.
Akan tetapi, menurut Djoko, usaha itu harus ditingkatkan, terutama dengan menambah jumlah peneliti katak. Meski tak berpotensi menambah pundi harta peneliti, peneliti katak adalah usaha pertanggungjawaban pada keaneka ragaman hayati Indonesia. Bahkan, mungkin suatu hari nanti ada kegunaan lain dari hasil penelitian berbagai katak tersebut.
Katak, diyakini Djoko, bisa dipublikasikan, baik sebagai lambang daerah atau taman nasional. Dia berharap setelah dikenal masyarakat, ekosistem dan keberlangsungan hidup katak bisa terjaga.
Selain itu, masih banyak kemungkinan yang bisa digali. Contohnya berbagai pertanyaan pada penelitian katak berkepala pipih.
"Dunia ini masih memiliki banyak ilmu yang belum digali. Tugas semua pihak adalah hadir di sana, mencari ide baru, lantas mengabarkannya kepada semua orang.Itulah inti dari hadirnya ilmu dalam masyarakat," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 MARET 2009

Kamis, 08 Juli 2010

"Pendekar Lingkungan" dari Bima

Hasan Muchtar bolehlah disebut sebagai "pendekar lingkungan". Dia memelopori pembukaan jalan dari tempat tinggalnya di Kelurahan Penanae, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ke lahan garapannya di So Ndano, sepanjang sekitar tiga kilometer. So Ndano adalah lokasi ladang garapan penduduk setempat.

HASAN MUCHTAR

Usia : 60 tahun
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Istri : Hawariah (50 tahun)
Anak :
- Ahmad, SE (29)
- Aisyah, Spd (25)
- Mulyadin (24)
- Nurhidayah, SPd (23)

Oleh KHAERUL ANWAR

Selain itu, Hasan juga menggerakan warga untuk membuka jalan sepanjang sekitar lima kilometer lagi. Hal ini sebagai lanjutan dari jalan yang telah dibuka sebelumnya. Untuk itu dia mengeluarkan biaya dari kocek sendiri.
Demi membuka jalan tersebut, Hasan sampai menjual rumahnya. Tidak hanya itu, dia juga mesti berurusan dengan pengadilan karena ada warga yang keberatan karena lahan garapannya diambil untuk fasilitas jalan tersebut.
"Saya tidak mau ambil pusing, yang penting apa yang saya lakukan itu untuk kepentingan banyak orang" ujar bungsu dari empat bersaudara anak pasangan Muchtar-Hatijah ini.
Hasan memilih mengabaikan protes pemilik lahan tersebut. Jalan itu dia tempuh karena ia merasakan sendiri bagaimana kesulitan yang dihadapi warga untuk menempuh perjalanan dari rumah ke ladang setiap hari. Dia memang lebih banyak tinggal di lahan garapannya seluas sekitar tujuh hektar.
Dia bercerita, kesulitan itu semakin terasa ketika musim petik tiba. Sebab, para peladang harus memikul sendiri hasil panennya. Mereka harus menempuh jalan setapk yang penuh semak belukar. Mungkin karena itulah hasan "rela" divonis empat bulan hukuman percobaan.
Karena sulitnya perjalanan itu, pascapanen biasanya banyak peladang jatuh sakit. "Ada yang pegal linu, encoknya kumat, macam-macamlah sakitnya," kata Hasan yang menduga penyakit itu muncul akibat energi yang terkuras tidak seimbang dengan asupan gizi.

Medan yang sulit

Kondisi itu mendorong hasan berbuat sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Salah satunya dengan membuka jalan guna memudahkan akses warga Penanae ke lahannya di So Ndano. Jalan yang dibangun Hasan menempuh medan yang bisa dikatakan sulit, menelusuri bukit So Ndano setinggi 1.500 meter, berbatu cadas, lereng terjal, dengan hamparan sawah penduduk dibawahnya. Awalnya, jalan sepanjang ssekitar tiga kilometer itu dia kerjakan bersama istri, empat anaknya, dan beberapa warga. Pengerjaan itu berlangsung selama tahun 1987-1992. Pembukaan jalan perintis selebar 8 meter itu tidak mudah. Mereka harus membelah dan mencungkil batu cadas dengan linggis, pahat dan peralatan sederhana. Mereka bekerja dua kali dalam seminggu. Selebihnya Hasan berkonsentarsi di lahan garapannya. Di situ Hasan dan keluarga juga membangun 12 sumur, 10 diantaranya sedalam 3-5 meter. Sumur-sumur itu berderet mengikuti kemiringan lereng bukit untuk menampung air hujan.
Satu sumur berada di deretan terbawah dalamnya 20 meter. Dasar dan dinding sumur dipasangi ijuk, serabut kelapa, dan pasir agar bertahan sebagai sumber air minum selama musim kemarau. Sementara sumur lainnya untuk menampung air guna mengairi tanaman.
Hasan bercerita tentang protes pemilik lahan yang keberatan sebagian tanah garapan mereka diambil untuk jalan. Menurut Hasan, dia bersedia membayar lahan yang terpakai untuk jalan, tetapi pemiliknya enggan menjual. Karena itulah dia mengabaikan keberatan pemilik lahan tersebut.
Ketika pembuatan jalan selesai, pemilik lahan yang protes itu justru diuntungkan. Dia juga bisa ikut memanfaatkan air sumur untuk tanaman di ladang garapannya.

Menanggung logistik

Hasan kemudian melanjutkan perintisan jalan tahap kedua pada 1996-2000. Kali ini lebih banyak warga yang terlibat, 15 sampai 20 orang setiap hari. Pekerjaan gotong royong ini dilaksanakan hari jumat dan hari minggu.
Jalan selebar 5 meter sepanjang 4 kilometer ini, dihitung dari jalan sebelumnya, menembus sampai dusun Kabanta. Medan ini pun relatif sulit karena kemiringan bukit 40 derajat. Pekerjaan harus hati-hati agar bongkahan batu cadas tak menggelinding menimpa pekerja. "kalau sudah terpaksa, batu digelindingkan ke sawah penduduk di bawah bukit," katanya.
Hasan bercerita, satu tanjakan setinggi 200 meter diselesaikan dalam tiga-lima bulan. Di seputar Dusun Ndano-Dusun Kabanta ada tiga tanjakan tajam.
Selain ikut membuka jalan, dia juga menanggung logistik pekerja berupa sarapan, makan siang, dan kopi. Biaya itu didapat dari hasil panen 600 pohon mangga harum manis, pisang, srikaya, kunyit, temulawak, bambu, dan tanaman lain. Dari penjualan mangga saja, ketika itu Hasan mengantongi Rp.15 juta.
Jalan perintis itu memang menjadi sangat berarti bagi para pemilik lahan. Mereka bisa pergi pulang antara rumah dan ladang tanpa kenal waktu. bahkan, sekitar 15 ojek sepeda motor melayani rute Dusun Kabata-Kelurahan Penanae dengan tarif Rp.20.000.-Rp.25.000.
Berbeda dengan sebelumnya, warga "harus" tiba di rumah sekitar pukul 17.00 atau saat hari masih terang tanah. Hal ini karena medan tempuh yang relatifsulit dengan jarak pandang terbatas. Bila lewat dari jam itu warga harus menginap di lahan garapan.
Selain itu, sumur yang dibangun menjadi sumber air bagi 100 pemilik ladang untuk mengairi tanaman pada musim kemarau, juga sebagai air minum. Dulu mereka harus mengambil air dari sumber air sekitar dua kilometer dari lahan garapan.
Hasan kini dapat bernapas lega. Ia telah membuktikan pembukaanjalan itu bukan untuk kepentingan pribadi semata. Hal ini sejalan dengan nama kelompok tani yang didirikannya sekitar 1986, Pahu Rawi Ngawa, dari bahasa etnis Mbojo Bima yang berarti bukti nyata dari kerja keras.
Kerja keras Hasan itu didahului serangkaian kegagalan. Dia, misalnya, bangkrut sebagai pedagang bawang dan kedelai yang menjajakan barangnya hingga Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia juga pernah tertipu sampai puluhan juta rupiah ketika berdagang sapi. Awal 1980-an ketika aktivitas usahanya macet, dia pernah tinggal di Jakarta, Bogor, dan Malang.
Hasan lantas pulang kampung menjual dua rumahnya untuk mencicil hutang dan biaya membuka lahan tidur guna bercocok tanam di lahan yang berat. "Saya harus melubangi batu sedalam sekitar 50 sentimeter, lalu memasukkan tanah untuk ditanami pohon pisang," kata Hasan menyiasati kondisi alam ketika itu.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 JULI 2010.


Rabu, 07 Juli 2010

Hadi Wiyono, Pionir Gitar Baki

Gitar produksi Baki telah merambah seluruh wilayah di Pulau Jawa. Gitar ini juga telah dipetik oleh penduduk di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Tanpa gitar, warga Baki di kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, seperti kehilangan daya.

HADI WIYONO

Lahir : Sukoharjo, 1 September 1940
Istri : Siti Lestari
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat Pondok, Sukoharjo,
- SMP Simpon, Solo
Anak : Tujuh
Cucu : Tujuh

Oleh SRI REJEKI

Sejak awal 1960-an warga setempat yang semula bertani mulai membuat gitar untuk menambah penghasilan. Kini membuat gitar menjadi pekerjaan utama mereka.
Hadi Wiyono (69) adalah orang pertama yang memelopori produksi gitar di Desa Mancasan, Kecamatan Baki. Hadi pernah bekerja pada seorang produsen gitar di Kota Solo selama dua tahun sejak tahun 1959. Saat itu ia masih di bangku sekolah menengah pertama.
Selepas sekolah, Hadi tidak langsung pulang ke rumahnya di Dusun Kembangan, Desa Mancasan, melainkan bekerja sebagai pembuat gitar. Niatnya iseng-iseng saja saat itu, hanya memenuhi ajakan seorang tetangganya untuk ikut bekerja.
Namun, ternya Hadi memperoleh kepercayaan dari si pemilik usaha. Dia bukan hanya mendapat keterampilan membuat gitar, tapi juga pengetahuan tentang bahan baku hingga pemasaran. Hadi pun dibolehkan membawa gitar setengah jadi untuk digarap penyelesaian akhir (finishing). Beberapa tetangganya ikut membantu.
Tidak lama, pemilik pabrik gitar tempat Hadi bekerja bangkrut karena harta yang ditanamkan pada sebuah bank swasta saat itu amblas dibawa kabur oleh pemilik bank. Peristiwa itu menyebabkan Hadi kehilangan pekerjaan. Namun, itu ternyata justru menjadi awal dari sejarah panjang tumbuhnya pusat industri rumah tangga pembuatan gitar.
Dibantu oleh 25 tetangganya, Hadi menjual gitar-gitar buatannya ke toko-toko di Solo. Pasar gitar rupanya tidak pernah sepi. Para pekerjanya yang telah menguasai keterampilan membuat gitar satu demi satu merintis usaha mandiri. Makin lama makin banyak warga yang mengikuti jejak Hadi membuat gitar.
Dari semula muncul di Dusun Kembangan di Desa Mancasan, industri rumahtangga gitar lantas berekmbang ke seluruh wilayah desa, bahkan meluas hingga ke desa tetangga, yakni Desa Ngrombo di Kecamatan Baki dan Desa Pondok di Kecamatan Grogol. Kini, hampir setiap rumah di tiga desa itu terlibat usaha produksi gitar.
Berkembangnya industri gitar berhasil menahan laju warga desa ke kota untuk mencari kerja. Sebelum berkembangnya industri gitar, hampir semua warga bekerja sebagai petani. Sebanyak 90 persen di antaranya hanya buruh tani karena tidak memiliki lahan sehingga penghasilannya sangat kecil. Untuk menambah pendapatan, warga pergi ke kota mencari kerja.
Kini, tidak ada lagi warga desa yang pergi ke kota untuk mencari kerja. Pekerjaan seperti tidak ada habis-habisnya di sentra industri gitar ini sehingga justru menarik datangnya pekerja dari daerah lain, seperti dari Pracimantoro (Wonogiri), Wonosari (Gunung Kidul), Tawangmangu (Karanganyar), dan Blora.
"Dengan adanya industri gitar, masyarakat punya kesibukan. Perekonomian di desa pun berputar. Disini semua orang bikin gitar. Lulusan sarjana pun akhirnya membuat gitar karena sejak kecil telah menjadi pegangannya sehari-hari," kata Hadi. Tiga anak dan seorang menantunya membantu menjalankan roda usaha pproduksi gitar.

Berbagi "kue"

Meski harus berbagi "kue" penjualan gitar, Hadi merasa senang. Sejak awal, ayah tujuh anak ini tidak pernah merasa tersaingi oleh munculnya usaha-usaha baru dari para mantan pekerjanya. Keinginannya memang menularkan keterampilan membuat gitar kepada warga desa dengan harapan dapat dimanfaatkan untuk berwiraswasta.
Hadi juga yang membantu perajin setempat mendapat bantuan permodalan dari bank. Pada tahun 1966, ada 30 perajin yang mendapat pinjaman modal Rp.300.000 - Rp.500.000. per orang. Hadi menjadi jembatan antara perajin, dinas perindustrian setempat, dan bank.
Atas kemampuan dan kepeloporannya, Hadi mendapat kepercayaan, seperti peningkatan kualitas produk, manajemen, hingga pemasaran. Kesempatan ini tidak ia simpan sendiri.
Hadi bersama beberapa orang lainnya membentuk koperasi unit desa yang berasal dari badan usaha unit desa yang bangkrut dan hanya menyisakan aset 1 meja, 4 kursi,mesin pengering, timbangan duduk, dan catatan 125 anggota. Tahun 1983, anggota koperasi telah mencapai 900 orang.
"Tahun 1978-1984 menjadi periode kejayaan gitar Baki. Saat itu perajin sangat diperhatikan . Kerap ada pertemuan untuk meningkatkan kapasitas perajin," kata anak dari pasangan almarhum Wandiyo Harjodiwiryo dan Kasinem ini.
Perkembangan industri gitar semakin meningkat. Gitar yang lebih dikenal sebagai "gitar Baki" ini semakin dikenal masyarakat luas. Pemasarannya tidak lagi sebatas di Kota Solo, tetapi telah merambah kota-kota lainnya.
Gitar Baki juga pernah merambah mancanegar melalui pihak ketiga. Namun, perajin lebih menyukai pemasaran dalam negeri karena produksi gitar yang sebagian besar manual kadang-kaadang sulit dikejar waktu penyelesaiannya.
"Saya pernah ekspor ke Malaysia tahun 1984 dan ke Jerman tahun 2000. Pengalaman saya, kalau kita melanggar tenggat produksi bisa kena penalti. Padahal saat itu semua proses masih manual dan mengandalkan alam untuk menjemur. Itu yang menjadi kendala kami," katanya.
Untuk memmenuhi kebutuhan dalam negeri saja, Hadi memprediksi produksi gitar setiap bulan saat ini rata-rata 2 juta unit yang melibatkan 2.500-an keluarga di tiga desa. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo tahun 2006 mencatat, ada 162 unit usaha produksi gitar dengan produksi 169.700 lusin.
Agar usahanya tetap bertahan, Hadi mengutamakan menjaga kualitas dan kepercayaan pelanggan. Masukan pelanggan menjadi bahan perbaikan mutu produksinya. Kini, tidak hanya gitar akustik yang ia buat, tetapi juga berbagai alat musik petik dan gesek lainnya, seperti biola, cello, bass, hingga gitar elektrik.
Hadi membagi kebutuhan gitar dalam tiga kelompok, yakni orkes Melayu, keroncong dan band. Dalam Orkes Melayu, gitar akan bersama mandolin, gambus, bas gitar, kencring, kendang, banjo, dan bonggo. Dalam orkes keroncong, gitar akan bersama string bass, biola, cello, cak, cuk, suling/flute. Dalam band, ada gitar melodi, gitar rhythm, bass, drum, dan keyboard. Hadi dapat membuat semua alat petik dan gesek tadi. Perajin lain hanya membuat gitar akustik atau ukulele.
Ketekunan dan kecintaan telah membentuk Hadi sebagai perajin gitar yang mumpuni. Kepedulian membentuk Hadi sebagai pengusaha yang tidak lupa sesama.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT,23 OKTOBER 2009



Selasa, 06 Juli 2010

Mang Oman Merasa dengan Tarawangsa

MiringMata Mang Oman hampir selalu terpejam ketika tangan kanannya menggesek dawai tarawangsa. Dalam setiap gesekan yang diselingi petikan, alat musik gesek tertua di Jawa Barat itu mengalunkan irama lengkingan panjang yang menyayat hati. Sungguh, alunan degung sunda sanggup menumpahkan airmata bagi hati yang terluka dan membuncahkan tawa di saat gembira.

OMAN

Usia : 55 tahun
Istri : Enong (50)
Anak :
1. Titin
2. Iin Rustiana
3. Neni Heryani
4. Dian Hernawan
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Penghargaan :
Bersama Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya mendapat penghargaan sebagai pelestari budaya sunda dari Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya (2009)

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK

Hampir setiap hari setelah pulang dari sawah, Mang Oman selalau memainkan alat musik dua dawai yang telah ditekuninya sejak masa remaja itu. Tarawangsa yang diartikannya sebagai alat untuk penerawangan rasa itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Mang Oman.
"Tiap kali menggesek tarawangsa, rasanya enak luar biasa," ungkap Mang Oman saat ditemui di rumahnya, Kampung Cigelap, Parung, Cibalong, Tasikmalaya.
Rasa enak luar biasa inilah yang ingin senantiasa ditularkan oleh Mang Oman kepada semua orang. Selain memainkan alat musik tarawangsa, Mang Oman selalu menularkan kepiawaiannya menggesek tarawangsa kepada para tetangga dan rekan dekatnya. Dari tahun 1980-an Mang Oman sempat membantu mengajar ekstra kurikuler tarawangsa secara cuma-cuma bagi para siswa di sekolah dasar Nangkasari, Kampung Cigelap.
Sejak setahun lalu, Mang Oman tak lagi mengajari siswa SD karena hampir seluruh waktunya tersita untuk menggarap sawah seluas 100 bata (1 bata = 14 meter persegi). Apalagi setelah istrinya, Enong (50), terkena stroke dan tidak bisa lagi menemaninya bertani. Padahal kerinduan untuk menularkan keahlian musik tarawangsa masih melekat di hati Mang Oman.
Pada Sabtu (17/10) lalu, misalnya, sulit sekali menemui Mang Oman yang menghabiskan waktunya dari lepas subuh hingga jelang magrib untuk bertani dan menggembala sapi di pucuk bukit dengan jalan curam mendaki sejauh satu kilometer. Meskipun tubuhnya letih, senyum tak pernah lepas dari wajah Mang Oman.

Calung rantay

Semangatnya pun segera membuncah ketika mulai menggesek dawai tarawangsa yang terbuat dari kawat baja bekas kopling. Alat penggesek tarawangsa dibuat dari bahan yang mudah dicari, seperti ijuk dari pohon aren dengan gagang dari kayu jati. bahan baku utama dri kayu lamek.
Mang Oman terbiasa membuat sendiri alat musik alat musik tarawangsa. Tak hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi , kadangkala Mang Oman juga menerima pesanan pembuatan tarawangsa dari rekan dan tetangga. Alat musik tarawangsa selalu digabungkan dengan permainan alat musik tradisional Sunda lainnya, yaitu kecapi dan calung rantay.
Bersama tiga rekannya, Mak Enar (70), Yayan (37), dan Yana (43), Mang Oman tergabung dalam Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya di bawah pimpinan Aseng Kartija (68). Mereka selalu memainkan lebih dari sepuluh lagu tradisional yang tidak pernah diaransemen ulang seperti lagu bertajuk "Ayun", "Salancar", "Manuk Hejo", "Aleuy", dan "Kang kiai".
Setiap lagu berdurasi lebih kurang lima menit. Mak Enar memetik kecpi atau dikenal juga dengan istilah jentreng sambil menyanyi dalam Bahasa Sunda Buhun atau Sunda Kuno. Petikan jentreng Mak Enar ini menjadi pengiring lagu utama yang dimainkan alat musik tarawangsa.
Dua rekan lainnya, Yana dan Yayan, bertugas memainkan alat musik bambu calung yang dirangkai dengan tali kuat dari tumbuhan merambat. Penampilan musik tarawangsa biasanya diiringi taria-tarian dari pasangan penari pria dan wanita dengan gerakan pelan dan teratur. Penonton tarawangsa pun diperbolehkan turut menari bersama para penari.
Seni musik tarawangsa sarat simbol. Menurut Mang Oman, dua dawai tarawangsa melambangkan paradoks kehidupan. Jika ada siang, maka ada malam; perempuan dilengkapi lelaki; dan ada langit, maka ada bumi. Sementara itu, jentreng berdawai tujuh melambangkan kepenuhan hidup manusia seperti tujuh hari dalam satu pekan.
Bersama grup Dangiang Sunda, Mang Oman telah memainkan alat musik tarawangsa ke berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, bahkan hingga Sumatera. Mereka juga pernah tampil di Universitas Padjadjaran maupun Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Setiap kali bermain di berbagai pementasan di luar Desa Cibalong, Mang Oman dan rekan-rekannya biasa dibayar Rp.100.000. per orang.
Menurut Mang Oman, pendapatan dari pementasan tarawangsa ini tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi dia mengaku bisa memperoleh kepuasan dari setiap gessekan tarawangsa yang dimainkannya.
Masyarakat pedesaaan cenderung masih menyukai tarawangsa sebagai hiburan di hajatan pernikahan, syukuran rumah baru, dan khitanan. Pada bulan-bulan tertentu seperti bulan ruwah, bulan maulid , dan bulan haji, Mang Oman dan Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya selalu tampil di berbagaipesta hajatan setiap hari.
Kehadiran alat musik tarawangsa juga terkait erat dengan tradisi bercocok tanam padi. Tarawangsa biasa dimainkan pada upacara ngalaksa sebagai ucapan syukur terhadap limpahan panen serta penghormatan terhadap Dewi Sri.
Tak sekadar sarana hiburan, tarawangsa juga dipercaya menyimpan fungsi magis. Seringkali, seni musik tarawangsa dilantunkan sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit seperti lumpuh, buta, atau kesurupan. Mang Oman mengaku sering diminta memainkan tarawangsa untuk kesembuhan warga.
Alat musik tarawangsa hanya dijumpai di daerah tertentu di Jabar, seperti Sumedang, Bandung Selatan, dan Tasikmalaya. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan telah memasukan tarawangsa kedalam daftar seni tradisional yang terancam punah karena lemahnya regenerasi. Padahal, alat musik itu merupakan kesenian asli tanah Pasundan. Nama tarawangsa bahkan telah tercantum sebagai alat musik tradisional Sunda pada naskah "kuna sewaka darma" yang ditulis sekitar abad ke 16.
Tarawangsa, lanjut Mang Oman, memang cenderung sulit dipelajari karena mengandalkan olah rasa. Tak ada kunci atau tangga nada yang harus dihapal ketika memainkan tarawangsa. Paling cepat, dibutuhkan satu pekan untuk bisa menggesek tarawangsa.
Mang Oman yang tidak fasih berbahasa Indonesia ini mengaku selalu mengajak "murid-murid" nya untuk mengandalkan ketajaman rasa ketika menggesek tarawangsa. Alat musik yang hidup dan berkembang di kalangan petani itu hingga kini masih bertahan melintasi zaman karena kesetiaan orang-orang seperti Mang Oman.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 3 NOVEMBER 2009

Abah Olot Melestarikan Karinding

Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika Karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. "Saya punya tanggung jawab," katanya.

ENDANG SUGRIWA

Nama lain : Abah Olot
Usia : 46 tahun
Istri : Lina Karlina (4)
Anak :
- Diki Sumbawa (24)
- Erna Oktaviana (17)
- Agin Nur Prosesta (6)
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Perajin alat musik bambu dan seniman
Penghargaan : Juara Awi-Awi Mandiri 2009 yang diselenggarakan Saung Angklung Udjo dan
Bank Mandiri

Oleh RINI KUSTIASIH

Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan Karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga.
"Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun," kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Dirumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah,. namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun, dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebang pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka, pelepah aren terbuang, tidak sempat tua dan mengering.
Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya umur bambu minimal dua tahun. bambu lalu dipotong, dihaluskan dan dibagi menjadi tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakan dimulut, diapit bibir atas dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi randah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, di sebut Genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern mempengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarkat Sunda. karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen.
"Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi," katanya.
Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga.
"Istilahnya ulahnkasilih ku junti, jangan melupakan adat istiadat," katanya.

Mulai bangkit

Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapapun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. "Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding," katanya.
Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
"Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik," kata Abah Olot. Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personil Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap "budak baong"(anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas deathmetal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda.
Banyak diantara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding. Maka setiap rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp.50.000. Pesanan karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
Nama kelompok mereka pun "segar" seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, serta drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding. Ada Abah Olot yang tetap setia di "bengkelnya". Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 7 JULI 2010.

Senin, 05 Juli 2010

Sastro, Ahli Serat Kaca dari Bantul

Meski hanya lulusan SD, nyali Sastro Muarlif tak pernah ciut. semangatnya untuk terus mencoba dan berusaha menjadikannya seorang perajin serat kaca (fiber glass) yang mumpuni. Segala jenis model sanggup ia kerjakan. bahkan, saat ini ia tengah mengerjakan pesanan wahana permainan air atau waterboom, yang akan dibuka di Nanggroe Aceh Darussalam.

SASTRO MUALIF

Lahir : Bantul, 12 Mei 1958
Alamat : Dusun Glagahan, Desa Caturharjo, Kecamatan Pandak, Bantul
Pendidikan : SD Mangiran Bantul
Istri : Surati (34)
Anak :
1. Sigit Sugiarto (25)
2. Cahyo Dwi Saputro (23)
3. Ari Triwibowo (21)
4. Wulan Septiana (17)
5. Nurul Khasanah (15)

Oleh ENY PRIHTIYANI

"Saya tak pernah menolak pesanan meski kelihatannya sulit. Semua saya terima karena saya harus mencobanya terlebih dahulu. Kalaupun susah, saya harus mempelajarinya sampai bisa. saya anggap itu sebagai tantangan sekaligus media untuk belajar," kata Sastro.
Dia bercerita baru saja menerima pesanan wahana permainan air, yang sebelumnya belum pernah dia kerjakan. Tanpa keraguan ia langsung menerimanya.Proyek senilai Rp.1,2 miliar itu rencananya akan dikerjakan selama lebih kurang empat bulan. Ia menyiapkan semuanya di tempat usahanya di Dusun Glagahan, caturharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta. Sesampainya di Aceh, ia tinggal mengesetnya.
Ukuran waterboom yang dibuat Sastro berukuran 163 x 100 meter. Untuk membuatnya ia melibatkan 20 tenaga kerja.baginya, itu adalah pesanan tersulit yang ia terima. Di DIY tidak ada yang berani menerima order tersebut. " Sebenarnya yang dapat order teman saya. Tetapi karena ia tidak sanggup, lalu menyerahkannya ke saya," ujarnya.
Tanpa sertifikat keahlian, Sastro memang tidak bisa menerima pesanan waterboom secara langsung. Kondisi itu pula yang membuatnya tidak bisa menggarap wahana serupa milik investor Bali yang akan membuka wahana permainan air tersebut di komplek Pasar Seni Gabusan.
Ke depan ia sangat berkeinginan untuk mengurus sertifikat. Ia berharap tidak terkendali birokrasi seperti image yang selama ini ditangkapnya. "Sejak awal saya mau mengurus sertifikat ngeri kalau biayanya membengkak karena ada pungutan sana-sini," katanya.
Berbeda dengan perajin fiberglass yang pada umumnya hanya mengandalkan sistem cetakan cor, serat kaca milik Sastro lebih variatif. Ia menambahkan dengan serat mett sehingga strukturnya lebih kuat dan tidak mudah pecah.
Menurut Sastro, pada sistem cor, perajin tinggalmembuat cetakan pola lalu mengisinya dengan serat kaca. adonan serat kaca dibuat dengan bahan utama resin. Ada dua jenis resin, yakni bening dan butek. yang bening dipakai untuk produk-produk seperti gantungan kunci dan imitasi kristal, sementara jenis butek untuk kursi, asbak dan pigura.
Dengan racikan Sastro, serat kaca bisa dibuat menjadi aneka peralatan yang fungsional. Beberapa diantaranya patung manekin (patung untuk contoh baju), tangki air, peralatan salon bak air, seluncuran anak-anak, dan perahu kayuh kaki. Ia juga melayani pembuatan serat kaca untuk variasi sepeda motor, misalnya untuk body atau aksesori.
Di Yogyakarta hampir semua patung manekin di mal-mal dipasok oleh Sastro.Manekin juga dipakai siswa-siswa SMK jurusan Tatabusana. Ia menjual seharga Rp.90.000,- untuk maneken toko, sementara maneken siswa seharga Rp.150.000,- "Untuk siswa memang lebih mahal karena strukturnya lebih kuat sehingga tidak mudah pecah," katanya.
Produk Sastro bahkan sudah menembus ke berbagai kota seperti Temanggung, Pati, Semarang, dan beberpa kota di luar Jawa. Pada tahun ajaran baru biasanya pesanan yang diterima melonjak, khususnya luncuran anak-anak dan patung maneken.
Keberhasilannya menembus pasar ke berbagai kota tidak melalui metode pemasaran khusus. ia percaya dengan hukum "getok tular" atau informasi dari mulut ke mulut.

Kuli serabutan

Kepiawaian Sastro membuat serat kaca berawal dari pengalamannya sebagai buruh pabrik serat kaca di Jakarta. Awal bekerja tahun 1974 ia hanya diterima sebagai kuli serabutan. Lama-kelamaan ia dipercaya untuk membuat serat kaca. Setelah bekerja selama 17 tahun di pabrik tersebut, ia memilih keluar dan pulang ke kampung halaman.
Kondisi orangtua yang sering sakit-sakitan membuatnya tidak tega membiarkan mereka sendirian di Bantul. Alasan inilah yang mendorongnya untuk pulang kampung pada tahun 1991. Sesampainya di rumah, ia tidak berdiam diri. Semua pengalamannya selama bekerja di pabrik ia praktikkan.
Ia mengawalinya deengan modal Rp.200.000,- semuanya dikerjakan sendiri bersama ketiga anaknya. Mereka digembleng Sastro sehingga mewarisi keahliannya. Setelah usahanya maju, Sastro membebaskan anaknya untuk memilih jalur sendiri. Hanya satu orang yang masih terus membantunya, sementara dua yang lain pindah jalur menjadi pengusaha material dan pedagang kelontong.
"Awalnya memang sedikit bingung karena sebelumnya saya hanya menjadi buruh. Tetapi, setelah membuka usaha, saya berperan ganda sebagai buruh sekaligus pengusaha. Sebagai pengusaha, saya dituntut untuk mengelola dengan modal terbatas," katanya.
Pada permulaan usaha, Sastro hanya melayani pembuatan peralatan salon. Alasannya karena belum banyak yang membuatnya. Sejak awal ia memang tidak memilih menggeluti serat kaca sistem cor sederhana karena di Yogyakarta sudah banyak yang melakukannya.
Kemahiran Sastro semakin terasah setelah pesanan berbagai jenis model datang menghampirinya. Setiap kali ada desain baru, ia tak pernah menyerah untuk mencoba meski ada resiko gagal. "Pernah juga gagal sehingga saya rugi, tetapi setelah itu saya semakin menguasai tekniknya," kata pria yang murah senyum itu.
Kini omzet Sastro mencapai Rp.40 juta per bulan dengan keuntungan sekitar 30 persen. Kehadiran Sastro di Dusun Glagahan menjadi angin segar bagi warga sekitar. Pasalnya sebagian dari mereka bisa ikut mengais rejeki dengan bergabung menjadi tenaga kerja.
Dia yakin serat kaca masih akan menjadi tren selama beberapa tahun ke depan karena sifatnya tidak hanya aksesori, tetapi juga fungsional. Keunggulan serat kaca terletak pada karakternya yang fleksibel sehingga bisa diolah menjadi berbagai bentuk barang, sementara kekuatannya bisa mengalahkan kayu atau besi.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 26 OKTOBER 2009

Minggu, 04 Juli 2010

Eddie, Memperkuat Mata Rantai Persatuan

Kenangan akan masa kecil yang indah dengan teman-teman pribumi membuat Eddie Lembong resah melihat ketagangan antara warga pribumi dan warga etnis tionghoa di Jawa. Laki-laki keturunan Tionghoa asal Sulawesi Tengah ini yakin, bangsa Indonesia akan kuat asalkan semua suku bangsa terintegrasi.

EDDIE LEMBONG

Lahir : Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936
Pendidikan : Sarjana Jurusan farmasi, Institut Teknologi bandung, 1965
Istri : Melly Saliman Lembong
Anak :
1. Andre Arief Lembong (44)
2. Raymond Budi Lembong (39)
3. Roy Rahmat Lembong (38)
Hobby : Membaca
Kegiatan antara lain:
- Pendiri dan Ketua yayasan MEL untuk Nation Building, sejak 2006
- Board of Governors Chinese Heritage center Singapore
- Ketua Kehormatan Cendekia/Pendiri Perhimpunan Inti
- Penasihat di berbagai organisasi kemasyarakatan
Organisasi di antaranya :
- Pendiri PT Pharos Indonesia, Century Health Care, Novell Pharmaceutical Laboratories.,
PT Prima Medika Laboratories, PT Daya Sembada Swadarma
- Matan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Pusat
- Mantan Ketua GP Farmasi Indonesia, Bidang industri
- Mantan Ketua Departemen Industri Farmasi, Kadin Indonesia
- Dosen tamu jurusan farmasi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
(kini Makassar),1995-2000
- Pendiri dan Ketua Umum Pertama Perhimpunan Indonesia Tionghoa 1999-2005

Oleh IWAN SANTOSA dan M CLARA WRESTI

Kota bandung membara tanggal 10 Mei 1963 ketika kerusuhan anti Tionghoa melanda ibukota Jawa Barat itu. kampus ITB porak poranda, motor dan skuter dirusak, bahkan, dibakar, kecuali Jurusan Farmasi yang tetap tenteram dan damai.
Kerusuhan tidak merambah kampus Farmasi ITB, karena seorang mahasiswa peranakan Tionghoa telah memupuk persaudaraan sekaligus memupus prasangka antarkelompok etnis di kampus itu.. Mahasiswa tersebut adalah Ong Yue San, yang dikenal sebagai Eddie Lembong.
Dia membantu teman-teman terutama dalam memperbanyak dan pengadaan diktat kuliah, yang waktu itu relatif sulit didapat. Toko buku dan penerbitan terbatas. Meminjam buku dari para senior juga tidak mudah. Di perpustakaan, buku juga sulit didapat karena tmengapa obat ini cocok untuk penyakit ini, sedangkan obat itu tepat untuk penyakit yang lain.elah dipinjam dosen selama bertahun-tahun.
Cara yang ditempuh Eddie Lembong sederhana, dia mengetik ulang buku yang dipinjam, lalu memperbanyak dengan cara stensil. Stensilan itu ia jual murah. Selain itu, dia juga berusaha mendatangkan buku-buku terbaru mengenai farmasi terbitan luar negeri.
Dia melihat peluang mendapatkan buku impor murah, asalkan ada permohonan ke Departemen Pendidikan. Dengan buku impor, pengetahuan mahasiswa farmasi tidak hanya meracik obat, tetapi juga mengetahui mengapa obat ini cocokuntuk penyakit ini, sedangkan obat itu tepat untuk penyakit yang lain.
Kiprah Eddie dalam pengadaan buku-buku kuliah inilah agaknya yang membuat fakultas farmasi terbebas dari kerusuhan anti Tionghoa waktu itu.
Walau tak mengalami kerusuhan, peristiwa tersebut membuat dia resah. Kerusuhan dan diskriminasi di bandung sangat bertolak belakang dengan keakraban dan persaudaraan Tionghoa-Pribumi yang dia rasakan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tempatnya dilahirkan. Dia juga memiliki persaudaraan lintas etnis yang akrab di Gorontalo dan Manado, Sulawesi Utara, tempat dia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja.
"Keluarga kami dengan Pak Achmad gobel-kelak menjadi pengusaha nasional- akrab, seperti sanak saudara sendiri. Masyarakat Gorontalo sangat Islami dan toleran dalam menerima masyarakat Tionghoa. Setiap kali pesta keluarga Tionghoa , berbondong-bondong warga asli Gorontalo datang. Suasana sungguh akrab waktu itu," kenang eddie.

Industri farmasi

Persaudaraan Jurusan Farmasi ITB yang dibangun Eddie ternyata langgeng hingga kini. Saat dia merintis industri obat Pharos awal tahun 1970-an, terjalin sinergi kebijakan dan produksi farmasi secara nasional. Itu karena para industriawan dan birokrat yang sebagian berasal dari ITB memiliki saling percaya.
"Hubungan kami bukan antara cukong dan birokrat yang diwarnai sogok menyogok. Pada 1970-an industri farmasi menjadi contoh bahwa kebijakan sektor farmasi tidak diintervensi oleh militer dan Istana," katanya.
Upaya merintis industri farmasi dan jaringan Apotek Century,kini menyerap 10.000 tenaga kerja. Pada saat krisis ekonomi, Pharos justru menambah karyawan untuk menyerap mereka yang kehilangan pekerjaan.
Misi kemanusiaan melayani masyarakat juga menjadi acuan dalam bisnis Apotek Century. "Kalau mau ambil margin keuntungan, harus diminta dari produsen, bukan dari pasien," kata Eddie menggaris bawahi kebijakan apotek yang dirintisnya.
Keakraban lintas etnik dan agama itu dia aktualkan kembali, misalnya pada 22 Oktober lalu dengan pemberian penghargaan Nabil Award di Hotel Mulia, Jakarta. Para ahli yang puluhan tahun mendalami bidang studi peranakan Tionghoa mendapatkan penghargaan atas upaya mereka mendorong persatuan dalam kebinekaan Indonesia.
Bagi Eddie, Bangsa Indonesia ibarat sebuah rantai besar dan kokoh yang disatukan mata rantai, yaitu suku-suku bangsa. "Kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh semua mata rantai itu. Integrasi antara kaum tionghoa dan pribumi bisa menjadi mata rantai yang lemah jika tidak berjalan dengan benar," katanya.
Pemupukan silang budaya menjadi jawaban untuk memutus budaya kolusi antara pejabat dan cukong yang subur sejak Indonesia merdeka. Dia mengingatkan, korupsi di Indonesia merupakan kolaborasi simultan antara pengusaha "dadakan" dan petinggi birokrasi yang sama-sama mau hidup enak tanpa bekerja keras.
Untuk lebih memperkokoh lagi silang budaya itu, selepas kerusuhan Mei 1998, Eddie ikut mendirikan Perkumpulan Indonesia-Tionghoa (Inti). Tujuannya,membangun keakraban lintas suku dan agama. Waktu itu dia langsung terpilih sebagai ketua umum. Namun, Eddie hanya bersedia dipilih untuk satu periode, karena dia ingin memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kalangan muda etnis Tionghoa.
Dia lalu memfokuskan diri menerbitkan buku-buku sejarah dan kebudayaan serta pemberian penghargaan Nabil (Nation Building) yang dirintisnya sejak tiga tahun lalu.
Bahkan, ia pun tak lagi ikut campur dengan urusan bisnis sejak 10 tahun terakhir. Bisnis obat-obatan diserahkan kepada anak-anaknya untuk dikembangkan.
"Kepuasan dari uang ada batasnya, sementara kita tidak boleh puas dengan pengetahuan yang sudah dimiliki," ujarnya.
Eddie lalu memilih terjun kedalam berbagai kegiatan untuk integrasi dan persatuan , serta peningkatan pengetahuan masyarakat dengan menerbitkan buku-buku di bawah Yayasan Nabil.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 11 NOVEMBER 2009

Kamis, 01 Juli 2010

Semute, Berdialog lewat Komik

Sekitar tiga bulan lalu ada setumpuk komik yang diperbanyak dengan cara fotokopi. Salah satu dari komik itu dijilid rapi, judulnya "Komik Palsu". Salah satu ceritanya berjudul "Konversi Minyak Tanah".

ABDOEL SEMUTE

Nama Asli : Abdullah
Lahir : Bojonegoro, Jawa Tengah, 14 Agustus 1975
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya
Kegiatan : Membuat komik dan mengelola komikpalsu.blogspot.com

OLEH MARIA SERENADE SINURAT

Gambaran cerita dalam "Konversi Minyak Tanah" itu tidak seperti komik-komik yang biasa beredar di toko-toko buku. Konversi minyak tanah di sini digambarkan sebagai barisan orang-orang bersayap tanpa kepala.
Tidak ada panel-panel dalam komik itu, hanya gurtan garis tebal dan tipis yang seakan seperti coretan asal-asalan. Di sini juga tak ada dialog , hanya kalimat-kalimat seperti racauan.
Cerita dalam komik karya Abdoel Semute dan Benny Soekendo itu akan menjadi cermin kebisuan masyarakat. Mereka yang tidak memiliki pilihan lagi, selain mengganti minyak tanah menjadi gas.
Namun, masyarakat hanya bisa diam. Mereka hanya bisa menerima seperti satu gambaran yang diterakan Semute, panggilannya, pada salah satu lembarnya, yakni menutup mata dan menyimpan bom di dada.
Bagi Semute, komik seharusnya menjadi media yang dapat menangkap kegelisahan sehari-hari. "Komik seharusnya tidak eksklusif, tetapi bisa dibuat dan dibaca oleh siapapun, bahkan oleh seorang tukang becak," ujarnya.

Menyatukan

Semute lebih suka bicara tentang esensi daripada menjelaskan tentang definisi komik yang disebut sebagai komik perlawanan atau komik bawah tanah itu. Dia bercerita, semua itu bermula dari kegelisahannya melihat gempuran komik Jepang (manga).
industri komik yang begitu masif membuat komik menjadi sekadar produk bisu. "Seseorang membeli komik dan membacanya sendiri. Dia tidak pernah tahu siapa yang membuat komik itu dan bagaimana prosesnya. Semua selesai di sini, tidak ada dialognya," ujarnya.
Situasi itu, bagi Semute, seakan mencerabut manusia dari dirinya sendiri. Belum lagi di Surabaya, tempat industri melaju cepat dan masyarakat seakan menjadi robot. "Aku rindu pada masa ketika anak-anak masih bermain gambar umbul dan saling berbagi," ujarnya.
Dengan jejaring dan kelihaian dia berkomunikasi, Semute dan para pegiat komik membentuk Oret 101 di Surabaya , tahun 2000. Angka 101 itu merujuk nomor rumah seorang komikus, yang sering digunakan komunitas komik berkumpul.
Mereka mengusung slogan "Manga ora manga, Kumpul". Itu adalah pelesetan dari buku karya Umar Kayam yang berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul.
Semangat mereka kala itu addalah menyatukan pegiat komik dari manapun, baik yang beraliran manga maupun tidak. Mereka bisa membuat karya kolektif yang diproduksi dadn didistribusikan sendiri.
Prinsip yang dipegang teguh di sini adalah membuat komik tanpa didikte penerbit dan menerabas pakem komik pada umumnya. Lewat Oret 101, mereka berhasil membuat tiga jilid komik.
"Tetapi, semakin banyak orang (membuat komik) dan (menghasilkan) duit, malah makin banyak masalah, setelah itu, satu persatu (pegiat komik) malah menghilang," katanya.
Meskipun Oret 101 kemudian meredup, Semute tetap gencar membentuk jejaring sosialnya. Dia, antara lain, turut menghidupkan kelompok Keras Kepala di Jember . Setelah era Keras Kepala, Jember memiliki komunitas Komik Nasi Putih.
Ketimbang menjual komik, para komikus tersebut lebih memilih barter komik. Dari proses itulah Semute melihat bahwa komik telah menjadi ruang atau wadah untuk berdialog dan pertemuan.
"Komik tidak lagi benda mati. Inilah ruang kita untuk sambang-sinambang, saling menyambangi dan berdiskusi," kata ayah dua anak ini.

Wajah kota

Di Surabaya, tempat tinggalnya selama 16 tahun terakhir ini, Semute tetap berusaha memperkuat komunitas komik di sini. Walaupun begitu, dia menolak disebut sebagai pelopor atau pendiri.
"Saya hanya tukang ngomporin 'anak-anak' saja agar memulai membuat komik," katanya beralasan.
Dari hasil ngomporin itu, faktanya para komikus Surabaya kembali giat berkarya. Dalam dua tahun terakhir, pameran-pameran komikdi Surabaya mulai tumbuh. Produk komik pun semakin beragam. Salah satu yang patut dicatat ialah karya kolektif "Area 031" yang digagas Semute, Alfajr X-Go Wiratama, dan Anitha Silvia.
Dibuatnya "Area 031" tergolong penting mengingat Surabaya kerap dinilai "terbelakang" dari segi perkembangan komik. Ide cerita yang muncul dalam kompilasi komik itu menceritakan banyak wajah Kota Pahlawan. Disini ada tentang pecel Semanggi, lokalisasi Dolly, hingga perkembangan industri.
Selain itu, pada Agustus nanti Semute bersama Yayasan Suku Bengi juga akan membuat pameran komik bertema "Sindikat Pasar Gelap". Tema itu dipilih untuk menyikapi wacana komik sebagai barang dagangan. Pameran komik itupenting bagi Semute sebab selama ini komik sudah menjadi ladang penghidupan bagi mayoritas komikus. Karena itu, alur cerita hingga gaya gambar (harus) disesuaikan dengan keinginan penerbit dan industri. Padahal, Semute dan pegiat komik bawah tanah bersepakat untuk menghidupi komik, bukan hidup dari komik. Kemandirian ini membuat mereka bebas menyuarakan apapun lewat karya komik tanpa tekanan.

Menjual jamu

Agar terhindar dari tekanan itu, Semute dan para komikus bawah tanah memilih bekerja di bidang lain. Semute, misalnya menjual jamu tradisionil dirumahnya di kawasan Kremil, Surabaya.
Meskipun berpendidikan hukum di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Semute tidak memilih pekerjaan di bidang hukum. "Saya tidak siap melihat realita hukum dimasyarakat. Saya memilih jadi juragan bagi diri sendiri," katanya.
Dengan menjadi tukang jamu, Semute bisa melihat lebih jelas problem kehidupan pembeli yang mayoritas dari kelas bawah. Hidup yang suram di kawasan rumahnya pun menjadi inspirasi bagi karyanya. Disela-sela berjualan, dia masih sempat mengajari anak-anak di sekitar rumah untuk menggambar.
"Saya berencana membuat workshop komik di lokalisasi," ungkap pria yang memakai nama Semute sejak ia berusia 19 tahun.
Meskipun banyak berbicara soal komik, Semute terkesan "menutup diri" tentang keluarganya. Dia hanya bercerita, menikahi teman sekampus, yang dipanggilnya Genduk. Perempuan itulah ibu dari kedua anaknya, yang disebut Semute sebagai "cah ganteng" dan "cah ayu".

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 JULI 2010.