Minggu, 14 Juli 2013

Bibong Widyarti Djaprie: Hidup Selaras dengan Alam

BIBONG WIDYARTI DJAPRIE 
Lahir: Bandung, 13 Juli 1964
Suami: Prakoso Sudarman (51)
Anak:
- Dipa Raditya (23)
- Diaz Adhikatama (21)
Pendidikan: Jurusan Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor, lulus 1984
Kegiatan: Ketua Yayasan Alifa dan pegiat Aliansi Organis Indonesia

Bibong Widyarti Djaprie menjalani aktivitas sehari-hari hampir tanpa bersentuhan dengan bahan kimia sintetis. Sebagai gantinya, dia mendayagunakan berbagai bahan organik. Rumahnya di Depok, Jawa Barat, pun dia kelola sedemikian rupa supaya selaras dengan alam.

Ketertarikan Bibong pada produk organik bermula ketika dia membaca artikel di sebuah majalah tentang Agatho Elsener, seorang pastor asal Swiss yang mengembangkan pertanian organik di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jabar, sejak tahun 1984.
   Agatho Elsener dikenal sebagai salah seorang pemula pertanian organik di Indonesia. Selain bercocok tanam, dia juga mengadakan pelatihan pertanian organik secara rutin. Kiprahnya yang panjang dalam budidaya tanaman tanpa bahan kimia membuat dia dihormati kalangan petani organik dan para akademisi pertanian.
   Hal itu pula yang tampaknya memikat Bibong. Kebetulan saat itu dia sedang gelisah karena menemukan residu pestisida dalam sayuran yang sering dibelinya di pasar. "Salah satu anak saya suka sekali makan brokoli, tetapi saya mulai curiga karena brokolinya, kok berbau obat," ungkap Bibong, ibu dua anak itu.
  Merasa ada yang tak beres, Bibong lalu memutuskan beralih ke sayuran organik. Sesudah itu, secara bertahap dia kemudian "berburu" berbagai bahan makanan organik lainnya. Mula-mula dia memilih mengonsumsi beras dan buah-buahan, lalu tempe, telur, dan tepung organik. Belakangan, Bibong juga mengonsumsi teh, kopi, dan gula organik.
   Ketika Kompas mengunjungi rumahnya, Bibong menyuguhkan semangkuk spageti, yang dicampur wortel, jagung, dan keju, serta segelas teh. "Semua bahan makanan ini organik, termasuk garam, cabai, dan spagetinya," kata lulusan Institut Pertanian Bogor itu.
   Sejak tahun 2001, makanan, minuman, dan aneka bumbu di rumah Bibong hampir semuanyaorganik. Dia memang belum mengonsumsi daging sapi dan minyak goreng organik secara rutin karena harganya sangat mahal.
   "Kalau minyak goreng, saya memakai yang bahannya dari kelapa, bukan kelapa sawit, karena lebih ramah lingkungan," kata Bibong memberikan alasan.
   Untuk mendapatkan berbagai jenis bahan makanan organik tersebut, bibong "bergerilya" sampai ke banyak tempat. Ia berkenalan dengan komunitas petani organik di sejumlah wilayah, dari yogyakarta, Bali, Tangerang, sampai Padang, sumatera Barat.
  Dari pengalamannya, Bibong menyimpulkan bahwa harga produk organik tidak selalu mahal seperti yang dipersepsikan masyarakat selama ini. "Kalau kita membeli langsung (produk organik) ke petani, selisih harganya tidak terlalu banyak dengan produk pertanian biasa," ungkapnya.
   Hal yang unik, kadang kala Bibong menjadi "kelinci percobaan" untuk berbagai komunitas petani kenalannya. "Misalnya ada komunitas yang  ngeluarin kecap organik, saya menjadi konsumen yang nyoba, lalu memebri mereka saran, ini kurang manis atau asin," ujarnya sambil tertawa.

Eksperimen

   Sejak tahun 2005, Bibong bergerak lebih jauh dengan memakai bahan organik dalam berbagai aktivitas. Untuk kosmetik, misalnya, dia memilih sejumlah bahan alami seperti minyak kelapa segar (VCO) dan shea butter (sari buah shea), serta produk tabir surya organik.
   Ketika mandi, dia memilih memakai sampo dan sabun organik yang dibeli dari satu komunitas di Bali. Dari komunitas itu pula Bibong membeli detergen khusus yang rendah busa untuk mencuci pakaian berwarna putih.
   Untuk pakaian yang tak berwarna putih, Bibong bereksperimen dengan membuat sabun cuci dari sari buah lerak. Eksperimen juga dilakukannya dengan membuat cairan pembersih lantai dari sari minyak serai, mimba, dan cengkeh.
   Untuk membersihkan kaca, misalnya, Bibong mencampurkan cuka yang sudah dimasak atau sari buah lerak dengan air. "Hasilnya ternyata memuaskan," ucapnya.
   Berbagai eksperimen itu dituturkan Bibong dalam buku Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam yang diterbitkan Aliansi Organis Indonesia pada 2010. Melalui buku itu, dia membagi sejumlah tips praktis dalam mengelola rumah agar selaras dengan alam.
   Selain memakai bahan alamiah dalam aktivitas makan, mandi, dan mencuci, kiat lainnya adalah memisahkan sampah organik dan non organik serta menggunakan peralatan listrik yang hemat energi.
   Bibong juga memelihara berbagai jenis tanaman di rumahnya, antara lain tomat, seledri, dan cabai. Untuk pupuk, dia memakai sampah organik di rumahnya, semisal ampas sisa jus buah. Sebagian dari hasil panen dari kebun kecilnya itu dia konsumsi bersama keluarganya.
   Bagi Bibong, pemakaian bahan organik dalam berbagai aktivitas keluarga sehari-hari bukan hanya demi kesehatan pribadi, melainkan juga untuk pelestarian alam.
   "Kalau kita memakai bahan organik saat mandi dan mencuci, tentu limbah rumah tangga yang dihasilkan juga lebih ramah pada lingkungan," ungkap Bibong.

Nilai-nilai

   Sejak mengonsumsi produk organik beberapa tahun lalu, Bibong juga rajin menularkan gaya hidup organik kepada orang-orang di sekitarnya. Suami dan kedua anaknya jelas tidak luput dari pengaruh itu, demikian pula tetangga dan para kenalannya.
   "Saya dan teman-teman sering membeli produk organik secara berkelompok supaya lebih murah," tutur Bibong.
   Sekarang Bibong bukan sekadar konsumen produk organik. selain aktif dalam Aliansi Organis Indonesia, dia juga sering menjadi narasumber untuk berbagai diskusi berkaitan dengan produk organik, menulis di sejumlah media massa, serta tampil di beberapa acara televisi.
   Pada berbagai kesempatan itu, Bibong selalu menegaskan bahwa mengonsumsi produk organik merupakan laku dalam menghayati nilai-nilai tertentu.
   "Menjadi konsumen organik bukan sebatas gaya hidup yang temporer, tetapi mencakup nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, kesederhanaan, dan saling menghargai," ujarnya.
   Bibong mengaku belajar dari banyak pihak tentang nilai-nilai yang terkandung dalam produk organik. Dari Pastor Agatho Elsener, misalnya, dia belajar bahwa pertanian organik menampik sikap egois dan menganjurkan penyesuaian diri seseorang dengan alam.
   Hal itu, misalnya, tercermin dalam siklus alami tumbuhan yang diikuti petani organik. Petani organik tidak membudidayakan tanaman pada musim yang tak sesuai dengan kondisi alami tanaman itu.
   "Sebagai konsumen, kalau pada satu musim kita enggak bisa makan tomat karena memang lagi enggak bisa tumbuh, ya kita harus terima kondisi itu," kata Bibong. (K02)

Dikutip dari KOMPAS, SELASA 9 JULI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar